Logo
>

Kebijakan Gabah Semua Kualitas: Perlindungan Petani atau Perangkap Baru?

Keragaman kualitas yang terlalu besar menyebabkan ongkos pengelolaan meningkat tajam

Ditulis oleh Pramirvan Datu
Kebijakan Gabah Semua Kualitas: Perlindungan Petani atau Perangkap Baru?
Ilustrasi Petani di Indonesia. Foto: Dok KabarBursa.com

KABARBURSA.COM – Kebijakan penyerapan gabah kering panen (GKP) semua kualitas oleh Perum BULOG menuai kritik tajam. 

Pengamat pangan sekaligus Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Khudori, menilai kebijakan yang diatur dalam Keputusan Kepala Bapanas No. 14 Tahun 2025 dan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2025 itu berisiko besar terhadap mutu beras, keberlanjutan swasembada, hingga reputasi BULOG.

Data per 20 September 2025 menunjukkan BULOG telah menyerap 4.238.262 ton GKP. Dari jumlah itu, hanya 1.460.974 ton atau 34,47 persen yang sesuai standar kualitas, sedangkan 2.777.288 ton atau 65,53 persen dikategorikan tidak memenuhi standar. Variasi kualitas sangat lebar: kadar air gabah tercatat ada yang hanya 19,36 persen, namun ada yang mencapai 33,63 persen. Demikian juga kadar butir hampa berkisar 2,63 hingga 18,32 persen, sementara butir hijau antara 1,01 hingga 11,88 persen.

Menurut Khudori, keragaman kualitas yang terlalu besar menyebabkan ongkos pengelolaan meningkat tajam. “Gabah dengan kadar air tinggi perlu segera dikeringkan agar tidak membusuk dan berkecambah. Bisa dibayangkan betapa rumit dan sulitnya menangani kualitas gabah yang tidak homogen dalam jumlah jumbo. Kalau tidak segera ditangani, kualitas gabah yang rendah akan kian memburuk. Ketika diolah, beras hasil olahan pasti tidak baik,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com pada Rabu, 1 Oktober 2025.

Kapasitas pengolahan BULOG juga dinilai tidak sebanding dengan beban kebijakan baru ini. Dengan hanya 10 sentra pengolahan padi dan 7 sentra pengolahan beras, total kapasitas produksi BULOG sekitar 306 ribu ton per tahun, setara 10 persen dari target pengadaan atau hanya 1 persen dari konsumsi nasional.

Akibatnya, BULOG harus menggandeng mitra penggilingan dan memanfaatkan sistem maklon.

Namun praktik ini justru menimbulkan risiko baru. Data per 20 September 2025 menunjukkan rerata rendemen hanya 50,8 persen. Alhasil, harga beras hasil pengadaan BULOG melonjak menjadi Rp14.404 per kilogram, lebih tinggi dari HPP beras di gudang BULOG yang ditetapkan Rp12.000 per kilogram.

 “Ujungnya, harga beras pengadaan BULOG jadi mahal. Hampir bisa dipastikan Harga Pokok Beras BULOG akan amat mahal, karena mencakup biaya pengolahan, distribusi, bunga bank, penyimpanan, hingga biaya manajemen,” tegas Khudori.

Kapasitas Terbatas, Biaya Menggunung

Lebih jauh, ia memperingatkan kebijakan ini membuka peluang moral hazard. Beberapa petani memilih memanen dini sehingga banyak gabah mengandung butir hijau, sementara penggilingan besar yang semula membina petani justru kehilangan mitra karena gabah kualitas buruk tetap bisa terserap BULOG dengan harga seragam. “Muncul praktik: gabah buruk buat BULOG, gabah baik untuk penggilingan swasta,” katanya.

Khudori menegaskan, konsekuensi paling serius dari penyerapan gabah semua kualitas adalah turunnya kualitas beras nasional. Hal itu bukan hanya membebani anggaran, tetapi juga mengancam reputasi BULOG yang dalam dua tahun terakhir membaik berkat kehadiran beras SPHP berkualitas. “Seperti di bidang lain, di industri perberasan pun berlaku kaidah GIGO (garbage in garbage out). Gabah kualitas rendah akan menghasilkan beras bermutu rendah juga. Beras seperti ini tidak bisa disimpan lama. Dengan stok beras di gudang BULOG 3,9 juta ton, ada kebutuhan mendesak segera disalurkan,” jelasnya.

Salahi Prinsip Dasar Perdagangan

Ia mengingatkan bahwa kebijakan ini menyalahi prinsip dasar perdagangan.

 “Satu yang pasti, kebijakan penyerapan GKP semua kualitas menyalahi sunnatullah. Di mana-mana berlaku kaidah ‘barang dihargai berdasarkan kualitas’. Bukan dipukul rata harganya sama untuk semua kualitas. Itu tidak adil dan tidak mendidik,” ungkap Khudori.

Diketahui, pemerintah melalui BULOG kembali melanjutkan program penyerapan gabah dengan skema harga Rp6.500 per kilogram selama periode panen gadu September–Desember 2025. Kebijakan ini dijalankan berdasarkan mandat Inpres 6/2025, dengan tujuan menjaga harga di tingkat petani sekaligus memperkuat stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Meski memberi kepastian pasar bagi petani, skema pembelian tanpa syarat mutu atau any quality menimbulkan tantangan besar.

Sejumlah laporan menyoroti risiko teknis maupun pasar dari kebijakan ini. Variasi kualitas gabah yakni mulai dari kadar air yang tinggi, banyaknya butir hampa, hingga keberadaan butir hijau atau membuat proses pengeringan, penggilingan, dan penyimpanan menjadi lebih rumit. Dengan kapasitas pengeringan dan gudang terbatas, BULOG harus menanggung ongkos tambahan, termasuk risiko gabah rusak jika terlambat diolah. Kondisi ini berpotensi menurunkan rendemen, meningkatkan biaya pengadaan, serta memengaruhi kualitas beras yang dihasilkan.

Dari sisi pasar, kebijakan harga seragam tanpa membedakan kualitas memunculkan potensi distorsi. Petani cenderung tergoda memanen lebih dini demi menjual cepat, meski kualitas gabah belum optimal. Praktik semacam ini dapat melemahkan insentif untuk menjaga kualitas produksi.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Pramirvan Datu

Pram panggilan akrabnya, jurnalis sudah terverifikasi dewan pers. Mengawali karirnya sejak tahun 2012 silam. Berkecimpung pewarta keuangan, perbankan, ekonomi makro dan mikro serta pasar modal.