Logo
>

Kenaikan Suku Bunga BOJ bakal Lebih Cepat

Ditulis oleh KabarBursa.com
Kenaikan Suku Bunga BOJ bakal Lebih Cepat

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Bank sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ) mungkin akan menaikkan suku bunga lebih cepat dari yang diperkirakan pasar saat ini. Menurut Tsutomu Watanabe, mantan pejabat sekaligus profesor ekonomi di Universitas Tokyo, BOJ seharusnya lebih transparan dalam mengkomunikasikan kebijakan ini agar pasar tidak terkejut.

    Watanabe menyatakan, kenaikan suku bunga dua kali lagi tahun ini bukanlah hal yang mustahil. Ia menambahkan bahwa perbedaan antara alasan BOJ menaikkan suku bunga pada 31 Juli lalu dan tren harga saat itu mengisyaratkan bahwa otoritas moneter berusaha menciptakan ruang kebijakan untuk menghadapi kemungkinan penurunan ekonomi, serta menormalkan kebijakan moneter secepat mungkin.

    Watanabe, yang sempat menjadi kandidat gubernur BOJ tahun lalu, juga mengatakan bahwa meskipun inflasi tidak meningkat signifikan, pernyataan BOJ yang menyebut tren harga sesuai dengan proyeksi mereka menunjukkan bahwa bank sentral dapat bertindak kapan saja jika diperlukan.

    DNA BOJ dan Kenaikan Suku Bunga

    "Saya mungkin memiliki DNA yang sama dengan BOJ dalam hal menciptakan suku bunga positif," kata Watanabe. Menaikkan suku bunga untuk memberi ruang manuver saat ekonomi terguncang, menurutnya, adalah kebijakan yang rasional. Namun, BOJ perlu lebih tegas dalam menyampaikan niatnya.

    Kenaikan suku bunga 0,25 persen pada awal Agustus dianggap memicu penurunan besar di pasar global, dengan saham Jepang mengalami penurunan tajam. Hal ini disebabkan oleh penghentian yen-carry trade, yang mengakibatkan investor melarikan diri dari aset berisiko.

    Sebelum keputusan tersebut, Watanabe sempat ragu akan adanya kenaikan suku bunga, mengingat data menunjukkan konsumsi domestik masih lemah akibat inflasi tinggi. Namun, ia memahami bahwa BOJ merasa perlu bergerak untuk menyesuaikan dengan ekspektasi pasar.

    Menurut Watanabe, salah satu cara untuk meningkatkan komunikasi adalah dengan mengadopsi model dot plot seperti yang digunakan oleh Federal Reserve AS. Meski proyeksi ekonomi bisa meleset, hal ini tidak akan mengurangi kredibilitas BOJ.

    Pada sidang parlemen yang digelar setelah gejolak pasar bulan lalu, Gubernur BOJ, Kazuo Ueda, menegaskan bahwa bank sentral akan terus menaikkan suku bunga jika proyeksi inflasi mereka tercapai. Pernyataan ini sejalan dengan wakil gubernur Ryozo Himino dan anggota dewan Hajime Takata, yang sama-sama menyatakan bahwa tidak ada urgensi untuk segera menaikkan suku bunga. Namun, ketiga pejabat tersebut juga menekankan pentingnya memantau stabilitas pasar keuangan.

    Meskipun banyak ekonom memperkirakan BOJ tidak akan mengubah suku bunga pada pertemuan dewan yang akan berlangsung pada 20 September mendatang, sebagian pengamat memperkirakan kenaikan suku bunga lainnya mungkin terjadi pada Januari.

    Watanabe menambahkan, meski BOJ menaikkan suku bunga setiap kuartal, hal tersebut tidak akan membahayakan ekonomi Jepang. Menurutnya, inflasi dan pertumbuhan upah tidak sepenuhnya bergantung pada kebijakan moneter longgar dari BOJ.

    "Jika suku bunga naik hingga 1 persen, saya rasa itu tidak akan menciptakan masalah besar bagi upah dan inflasi," ujarnya. Yang lebih penting, menurut Watanabe, adalah negosiasi upah pada musim semi tahun depan, yang akan memberikan dampak lebih signifikan terhadap perekonomian Jepang dibandingkan dengan kebijakan suku bunga BOJ.

    Ekonomi Global bikin Cemas

    Penurunan tajam di pasar global pada Senin, membuat investor gemetar. Ketakutan ini dipicu oleh kecemasan bahwa Amerika Serikat, ekonomi terbesar di dunia, mungkin sedang menuju resesi setelah angka pengangguran yang mengejutkan di bulan Juli.

    Di Asia, kekhawatiran semakin memuncak akibat keputusan Bank of Japan (BoJ) yang menaikkan suku bunga acuan, membuat yen—mata uang favorit carry trade menguat tajam. Langkah BoJ ini tak disukai oleh investor, menyebabkan aksi jual besar-besaran di saham bank-bank besar yang pendapatannya terancam. Hasilnya, indeks saham Jepang terjun bebas lebih dari 12 persen, penurunan terdalam sejak krisis keuangan global 2008.

    Namun, mari menelisik lebih dalam. Apakah benar Amerika Serikat sedang menuju resesi? Seorang ekonom terkemuka, yang indikatornya kerap dijadikan acuan resesi, menyatakan bahwa AS belum resmi berada dalam resesi, meski kondisinya sudah mendekati.

    Secara teori, resesi ditandai oleh kontraksi ekonomi yang berlangsung dua kuartal berturut-turut, dengan ciri PDB negatif, peningkatan pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi riil yang melambat. Indonesia pernah terperosok ke dalam resesi selama pandemi Covid-19 pada 2020-2021, serta krisis moneter 1997-1998.

    Sementara itu, ekonomi AS sejauh ini masih menunjukkan pertumbuhan. Pada kuartal II-2024, PDB AS tumbuh 2,8 persen year-on-year (yoy), naik dari 1,4 persen yoy pada kuartal sebelumnya. Namun, tingkat pengangguran mulai merangkak naik, diduga akibat kebijakan pengetatan moneter The Fed sejak 2022 yang bertujuan meredam inflasi.

    Pada Juli, angka pengangguran AS naik tiba-tiba menjadi 4,3 persen, dari 4,1 persen di bulan sebelumnya. Sementara penciptaan lapangan kerja baru melemah, dengan hanya 114.000 pekerjaan tercipta bulan itu.

    Kekhawatiran Resesi 

    Data pengangguran ini membuat pasar khawatir bahwa ekonomi AS mungkin sedang menuju resesi. Claudia Sahm, ekonom terkemuka AS yang mencetuskan 'Aturan Sahm', berpendapat bahwa meski AS belum mengalami resesi, kondisi saat ini sudah mendekati. Menurutnya, lonjakan angka pengangguran ini konsisten dengan pola awal resesi berdasarkan pengalaman sebelumnya.

    Sahm, yang pernah menjadi ekonom di Federal Reserve, memprediksi bahwa The Fed mungkin akan menyesuaikan strategi mereka, mengingat risiko resesi yang kian meningkat.

    Angka pengangguran 4,3 persen ini telah mendorong rata-rata pergerakan tiga bulan tingkat pengangguran melebihi titik terendah dalam 12 bulan sebesar setengah poin persentase. Ini memicu 'Aturan Sahm', yang membantu pemerintah memutuskan kapan waktu yang tepat untuk memberikan stimulus fiskal guna menghadapi resesi.

    Secara keseluruhan, Sahm menilai bahwa meski kondisi ekonomi saat ini masih kokoh, The Fed harus bertindak hati-hati dalam menghadapi risiko yang meningkat. Menurutnya, pendekatan yang lamban namun penuh pertimbangan dari The Fed adalah keputusan yang bijaksana.

    Respon The Fed 

    Sahm, yang kini menjadi Kepala Ekonom di New Century Advisors, menyebut bahwa The Fed berada dalam posisi yang memungkinkan mereka untuk merespon dengan tepat sesuai kebutuhan.

    Sementara itu, ada indikasi lain bahwa kekhawatiran terhadap resesi AS mungkin dilebih-lebihkan, yakni pergerakan saham-saham siklikal. Bila kita menilik kinerja saham-saham ini, tampaknya ketakutan terhadap resesi masih terlalu dini.

    Stanley Druckenmiller, seorang investor legendaris, pernah mengatakan bahwa saham siklikal adalah barometer ekonomi yang paling baik. Pada Desember 2018, ia memperingatkan bahwa penjualan besar-besaran di sektor otomotif, pembangunan rumah, perbankan, dan ritel menandakan The Fed mungkin terlalu agresif dalam pengetatan kebijakan moneternya. Tak lama kemudian, The Fed memang berbalik arah, mengakhiri siklus pengetatan tersebut.

    Kini, saham-saham siklikal memang telah turun dari level tertinggi, tetapi masih jauh dari titik tekanan berat. Saham perusahaan pembangunan rumah, misalnya, naik 16 persen tahun ini, sementara saham sektor perbankan AS melonjak 8 persen.

    Penjualan besar-besaran di pasar saham akhir-akhir ini telah memperketat kondisi keuangan secara signifikan. Para analis memperkirakan The Fed mungkin akan merespon situasi ini dengan menurunkan suku bunga lebih cepat guna mengurangi risiko resesi.

    Lebih jauh, menurut analisis Bahana Sekuritas, revisi data tenaga kerja bulan Juli yang lebih rendah menjadi 114.000 pekerjaan sebenarnya tidak terlalu mengkhawatirkan. Dalam sejarahnya, AS bahkan pernah mengalami nonfarm payroll di bawah 100.000 pekerjaan pada 2012, 2013, dan 2015, tanpa mengalami resesi. Hal serupa terjadi pada 2018-2019 ketika The Fed dianggap terlalu hawkish dalam kebijakannya.

    Selain itu, revisi kecil pada data nonfarm payroll April-Juni, hanya 27.000 hingga 67.000 pekerjaan, dengan revisi positif pada bulan Maret, menunjukkan pasar tenaga kerja AS masih kuat.

    Dalam pandangan kami, inflasi perdagangan belum mereda, karena AS kemungkinan besar akan memompa lebih banyak uang guna menstimulasi ekonomi menjelang Pemilu November.

    Penurunan pasar akhir-akhir ini kemungkinan lebih disebabkan oleh yen sebagai mata uang carry trade ketimbang kekhawatiran resesi AS. Ini memberikan peluang besar untuk mengumpulkan saham-saham komoditas yang diuntungkan oleh permintaan global yang tetap solid, jelas Satria. (*)

     

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi