KABARBURSA.COM - Pakar Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi, menyoroti kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen belum mampu mengimbangi potensi kenaikan beban masyarakat, terutama jika rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen terealisasi.
"Secara teoritis, kenaikan ini hanya terasa di Desember. Tapi jika PPN benar-benar naik pada Januari, daya beli masyarakat akan kembali tergerus, dan kenaikan upah ini tidak akan memiliki dampak nyata," jelas Tadjuddin kepada Kabarbursa.com, Sabtu, 30 November 2024.
Menurut Tadjuddin, kenaikan UMP 6,5 persen setara dengan tambahan 3,5 persen pendapatan riil bagi pekerja setelah memperhitungkan inflasi. Namun, ia mencatat bahwa daya beli masyarakat saat ini sudah berada pada titik rendah.
"Pasar-pasar sepi, belanja masyarakat menurun drastis. Ini menunjukkan daya beli sudah melemah. Jika PPN naik, dampaknya akan semakin parah," ungkapnya.
Tadjuddin memperingatkan bahwa penurunan daya beli akan berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi.
"Konsumsi menyumbang sekitar 55-60 persen terhadap PDB kita. Jika daya beli melemah, pertumbuhan ekonomi yang sekarang stabil di 5,25 persen bisa turun di bawah 5 persen tahun depan," ujarnya.
Ia menambahkan, kondisi ini dapat memperlebar kesenjangan ekonomi.
"Masyarakat kelas menengah ke bawah terkena dampak kenaikan PPN, sementara perusahaan besar justru menikmati keuntungan dari kebijakan seperti tax amnesty," paparnya.
Menurut Tadjuddin, langkah pemerintah yang memberikan pengampunan pajak kepada perusahaan besar justru akan memperdalam ketimpangan sosial.
"Perusahaan besar bisa mengurangi beban pajak mereka, sementara masyarakat umum menghadapi kenaikan harga pada hampir semua barang dan jasa akibat PPN. Kesenjangan ekonomi kemungkinan akan semakin tajam," katanya.
Lanjutnya Tadjuddin juga mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan kenaikan PPN agar tidak menjadi beban tambahan bagi masyarakat kecil.
"Kenaikan UMP harus diimbangi dengan stabilitas harga kebutuhan pokok. Jika tidak, tujuan meningkatkan kesejahteraan pekerja justru gagal tercapai," tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya menjaga daya beli sebagai penopang utama ekonomi nasional.
"Kebijakan fiskal harus lebih adil. Jangan sampai masyarakat kecil yang menjadi tumpuan pembangunan justru semakin tertekan," pungkasnya.
Buruh Terima Ketetapan Prabowo
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama serikat buruh lainnya menyepakati usulan kenaikan Upah Minimum Provinsi atau UMP 2025 sebesar 6,5 persen. Kesepakatan ini dicapai setelah pertemuan antara perwakilan buruh dan Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, pada 29 November 2024.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan agenda tersebut tidak hanya mempertemukan buruh dengan presiden, tetapi juga melibatkan sejumlah pejabat penting, seperti Menteri Ketenagakerjaan Yassirlie, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, Sekretaris Kabinet, serta Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sufmi Dasco Ahmad.
Dalam pertemuan itu, Yassierli awalnya mengusulkan kenaikan upah minimum sebesar 6 persen. Usulan tersebut didasarkan pada perhitungan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan sejumlah indeks tertentu. Namun, setelah melalui diskusi yang melibatkan berbagai pihak, angka tersebut direvisi menjadi 6,5 persen.
“Setelah dimasukkan formula inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu, ketemulah 6 persen,” kata Said dalam konferensi pers virtual, Jumat, 29 November 2024.
Kendati begitu, Said menyebut Prabowo mengemukakan keberpihakan terhadap nasib buruh. Pada kesempatan itu, Prabowo pun menggunakan haknya untuk menaikan upah minimum sebesar 0,5 persen menjadi 6,5 persen di tahun 2025.
Serikat buruh menerima usul tersebut. Menurut Said, kenaikan 6,5 persen mendekati usulan awal upah minimum yang dikehendaki para buruh.
“Buruh harapannya 8 persen sampai dengan 10 persen. Karena 6,5 persen mendekati 8 persen, maka buruh menyatakan menerima keputusan Presiden Republik Indonesia, Bapak General Prabowo Subianto,” kata Said.
Silang Sengketa Upah Minimum
Anggota Komisi IX DPR RI, Zainul Munasichin, sebelumnya menyatakan dukungan penolakan buruh atas draf Peraturan Menteri Tenaga Kerja atau Permenaker perihal rumus perhitungan upah minimum 2025. Ia menilai, aturan tersebut tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023, yang bersifat final dan mengikat.
Putusan MK tersebut telah menghapus aturan lama dalam Undang-Undang Cipta Kerja, termasuk ketentuan soal penetapan upah minimum. Rumus perhitungan upah minimum 2025 dinilai harus menyesuaikan dengan keputusan hukum tersebut.
Sementara itu, buruh mengusulkan formula perhitungan upah minimum yang berbasis nilai inflasi ditambah indeks tertentu (α) dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi. Rumus tersebut dirumuskan dalam bentuk inflasi + (α x pertumbuhan ekonomi). Untuk 2025, mereka mengajukan indeks α sebesar 1,0 hingga 1,2, yang berlaku seragam untuk semua jenis industri, tanpa membedakan antara sektor padat karya dan padat modal.
“Pemerintah harus tunduk pada putusan MK dalam menentukan upah minum. Putusan itu menghapus aturan lama yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja,” kata Zainul dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 26 November 2024.
Zainul mengatakan penetapan upah juga perlu memperhatikan proporsionalitas kebutuhan hidup layak (KHL). Jika pemerintah merujuk pada putusan tersebut, para buruh pasti akan menerima penetapan upah minimum yang ditetapkan. “Sebaliknya, kalau pemerintah menentukan rumusan di luar yang ditetapkan MK, maka pasti akan menimbulkan penolakan,” katanya.
Zainul menilai, draf Permenaker relatif membuat posisi buruh lemah. Dalam draf Permenaker Upah Minimum 2025 kenaikan upah dibedakan menjadi dua kategori, yakni kenaikan upah minimum untuk industri padat karya, dan kenaikan upah minimum industri padat modal.
Menurutnya, draf Permenaker menetapkan aturan perusahaan yang tidak mampu membayar kenaikan upah minimum dapat dirundingkan di tingkat bipartit perusahaan. “Buruh jelas menolak, karena penetapan upah minimum diputuskan oleh Dewan Pengupahan Daerah seperti yang diatur dalam putusan MK” tegasnya.
Zainul pun mendesak pemerintah bijak dalam menentukan upah. Menurutnya, wajar jika para buruh meminta kenaikan upah hingga 10 persen. “Kami berharap pemerintah segera menentukan Upah Minimum 2024 yang sesuai dengan aspirasi guru,” katanya. (*)