Logo
>

Kerja Sama dengan Negara Pasifik, Indonesia Kembali Buang Dolar

Ditulis oleh Yunila Wati
Kerja Sama dengan Negara Pasifik, Indonesia Kembali Buang Dolar

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Indonesia kembali membuang kesepakatan untuk mengurangi transaksi menggunakan dolar. Kali ini, Indonesia menjalin kerja sama dengan negara-negara Selatan dalam pertemuan High-Level Forum on Multi-Stakeholders Partnerships (HLF-MSP) 2024 yang digelar di Bali pada 1-3 September 2024. Begitu diungkap Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Bogat Widyatmoko.

    Bogat menyatakan bahwa potensi untuk 'membuang' dolar dari transaksi perdagangan internasional akan ditelaah lebih lanjut oleh Global South Centre, sebuah organisasi non-pemerintah yang berbasis di Jenewa dan berfokus pada kajian negara-negara berkembang.

    "Kami telah meminta Global South Centre di Jenewa untuk mengkaji lebih dalam mengenai penggunaan alat tukar dalam perdagangan yang tidak hanya bergantung pada dolar, tetapi juga mencakup mata uang yang dapat diterima oleh negara-negara di kawasan Selatan-Selatan," ungkapnya.

    High-Level Forum on South-South and Triangular Cooperation (HLF-MSP) 2024 diselenggarakan di Bali pada 1-3 September 2024, dihadiri oleh kepala negara dan delegasi dari Afrika, negara-negara Pasifik, Asia, serta perwakilan masyarakat sipil. Forum ini bertujuan untuk memperkuat kerja sama di antara negara-negara berkembang dalam menghadapi tantangan ekonomi hingga perubahan iklim.

    Dalam forum tersebut, negara-negara Selatan-Selatan sepakat untuk merombak platform Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST), mengarahkan fokus pada kerja sama di bidang perdagangan dan investasi. Perspektif baru ini menggantikan pendekatan sebelumnya yang lebih menekankan pada bantuan, menuju sinergi yang lebih seimbang dan saling menguntungkan.

    Rajin Buang Dolar

    Bank Indonesia (BI) memang sedang memperluas kerja sama dalam transaksi mata uang lokal (Local Currency Transactions/LCT) untuk mengurangi ketergantungan pada dolar Amerika Serikat. Meskipun demikian, rupiah masih memerlukan waktu untuk sepenuhnya terlepas dari pengaruh dolar AS.

    Sebagai bagian dari inisiatif ini, BI, Bank of Korea (BOK), dan Kementerian Keuangan Korea Selatan baru-baru ini menyetujui kerangka kerja sama LCT untuk transaksi perdagangan antara Indonesia dan Korea Selatan pada Jumat, 30 Agustus 2024. Kesepakatan ini melanjutkan memorandum of understanding (MoU) yang ditandatangani pada Mei 2023 dan kerangka operasional yang ditetapkan pada Juni 2024. Implementasi kerangka LCT ini akan berlaku efektif mulai 30 September 2024.

    Sutopo Widodo, Presiden Komisioner HFX International Berjangka, menilai langkah BI dalam memperluas penggunaan transaksi mata uang lokal sebagai langkah positif untuk nilai tukar rupiah. Dengan adanya transaksi nilai tukar langsung, selisih (spread) dalam transaksi dapat diminimalkan.

    Keuntungan dari implementasi kerangka LCT ini meliputi peningkatan transaksi perdagangan bilateral, pengurangan risiko nilai tukar, serta peningkatan efisiensi dalam transaksi antara kedua negara. Namun, perubahan nilai tukar tetap sangat dipengaruhi oleh pasar yang saling terkait.

    “Kerja sama ini akan mendorong kuotasi nilai tukar langsung antara IDR dan KRW, serta merelaksasi ketentuan yang diperlukan untuk mendorong pemanfaatan LCT,” ungkap Sutopo, dikutip Selasa, 3 September 2024.

    LCT Diperkenalkan pada 2018

    LCT telah diperkenalkan sejak 2018 oleh BI bersama dengan Bank Sentral Malaysia dan beberapa bank sentral Asia lainnya. Saat ini, LCT telah meluas ke berbagai negara, termasuk Malaysia, Thailand, Jepang, dan Tiongkok.

    Sejak peluncurannya pada 2018, total transaksi LCT pada semester pertama 2024 mencapai USD 4,7 miliar, diperkirakan meningkat 1,5 kali lipat dari total transaksi LCT tahun 2023 yang mencapai USD 6,29 miliar.

    Setelah Korea Selatan, BI berencana memperluas kerja sama LCT dengan Uni Emirat Arab. Pada Juli lalu, BI dan Bank Sentral Uni Emirat Arab (CBUAE) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) untuk membentuk kerangka kerja sama bilateral dalam sistem pembayaran.

    Namun, Sutopo menegaskan bahwa meskipun transaksi LCT meluas, nilai tukar belum sepenuhnya lepas dari ketergantungan dolar AS. Saat ini, hampir 60 persen perdagangan global masih menggunakan dolar AS.

    Dolar dianggap masih sulit untuk digantikan, meski prospeknya mungkin melemah seiring dengan pemangkasan suku bunga acuan. Federal Reserve (the Fed) diperkirakan akan memangkas suku bunga pada pertemuan 18 September mendatang.

    “Penurunan suku bunga pasti akan melemahkan dolar, tetapi ini juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Saya rasa dolar tidak akan melemah secara signifikan,” kata Sutopo.

    Sutopo berpendapat bahwa posisi dolar saat ini tetap stabil meskipun banyak negara mencoba menerapkan langkah dedolarisasi dan mencari alternatif. Untuk menggantikan dolar AS, mungkin masih diperlukan waktu puluhan tahun.

    BRICS dijadwalkan akan menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kazan, Rusia, pada 22-24 Oktober mendatang, diikuti oleh sekitar 126 negara. Konferensi ini akan membahas kemungkinan mata uang baru.

    “Mungkin BRICS belum akan menerbitkan mata uang baru dalam waktu dekat. Ini karena proses kajiannya memerlukan waktu lama, mengingat kepentingan yang beragam dari masing-masing anggotanya,” jelas Sutopo.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79