KABARBURSA.COM - Keuntungan industri di China kembali turun pada November 2024, meski penurunannya lebih lambat dibandingkan Oktober. Dilansir dari scmp yang mengutip data resmi pemerintah China, Jumat, 27 Desember 2024, hal ini terjadi di tengah janji para pembuat kebijakan untuk memberikan dukungan lebih kuat guna mendorong pemulihan ekonomi negara tersebut.
Sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, China masih berjuang memulihkan diri setelah pandemi. Selera belanja dan investasi dari kalangan bisnis maupun rumah tangga masih lesu, tertekan oleh krisis properti yang berkepanjangan dan risiko perdagangan baru dari administrasi presiden terpilih AS, Donald Trump.
Pada November, keuntungan industri turun 7,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sedikit membaik dari penurunan 10 persen pada Oktober. Sepanjang 11 bulan pertama tahun ini, keuntungan industri tercatat turun 4,7 persen, memperpanjang penurunan 4,3 persen dari periode Januari hingga Oktober, menurut data dari Biro Statistik Nasional (NBS).
Beragam indikator ekonomi yang dirilis bulan ini menunjukkan hasil yang campur aduk. Produksi industri mengalami percepatan pada November, sementara harga rumah baru turun dengan laju paling lambat dalam 17 bulan terakhir.
Dalam pertemuan kebijakan kunci bulan ini, para pemimpin China berkomitmen untuk meningkatkan defisit, menerbitkan lebih banyak utang, dan melonggarkan kebijakan moneter guna menjaga pertumbuhan ekonomi tetap stabil. Pemerintah juga baru-baru ini menjanjikan dukungan fiskal langsung yang lebih besar kepada konsumen dan peningkatan jaminan sosial.
Siapkan Utang Terbesar Sepanjang Sejarah
China tengah bersiap menerbitkan obligasi khusus senilai 3 triliun yuan, setara dengan sekitar Rp6.557 triliun, tahun depan. Jika benar terlaksana, langkah ini akan menjadi sejarah sebagai penerbitan utang terbesar yang pernah dilakukan negara tersebut. Kebijakan ini muncul sebagai bagian dari strategi agresif untuk menggairahkan ekonomi di tengah tekanan domestik dan ancaman tarif tinggi dari Amerika Serikat.
Dilansir dari Reuters, sumber yang terlibat dalam diskusi terkait menyebutkan, dana dari obligasi ini akan digunakan untuk berbagai program, mulai dari subsidi konsumsi hingga pembaruan peralatan industri. Investasi juga akan diarahkan ke sektor-sektor strategis seperti kendaraan listrik, robotika, semikonduktor, dan energi hijau. Lebih dari 1 triliun yuan akan dialokasikan untuk inisiatif yang disebut sebagai “kekuatan produktif baru” di sektor-sektor ini.
Program yang diberi nama “dua baru” dan “dua besar” ini juga akan menerima sebagian alokasi dana tersebut. “Dua baru” mencakup subsidi untuk barang tahan lama seperti mobil dan peralatan rumah tangga, serta insentif pembaruan peralatan untuk bisnis. Sementara “dua besar” berfokus pada proyek infrastruktur strategis, termasuk rel kereta, bandara, dan pengembangan lahan pertanian.
Berdasarkan dokumen resmi, tahun ini 70 persen penerbitan obligasi khusus sebesar 1 triliun yuan telah diarahkan ke proyek “dua besar,” sedangkan sisanya untuk “dua baru.” Tahun depan, alokasi untuk program ini diperkirakan akan lebih besar demi menjaga momentum pertumbuhan.
Langkah besar ini juga bertujuan mengantisipasi tarif tinggi yang kemungkinan diberlakukan pemerintahan Donald Trump pada 2025. Dengan ancaman tarif hingga 60 persen pada ekspor China, Beijing kini memutar fokus ke pertumbuhan domestik. Namun, masalah tetap ada. Tekanan ekonomi, harga properti yang anjlok, dan minimnya jaminan sosial membuat banyak rumah tangga merasa kehilangan daya beli.
Penerbitan obligasi ini diperkirakan mencapai 2,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) China pada 2023, angka yang jauh lebih besar dibandingkan penerbitan serupa di 2007, yang mencapai 5,7 persen dari PDB. Ini menunjukkan Beijing serius melawan deflasi dan menjaga stabilitas ekonomi sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.
Kepala penelitian makro Asia di OCBC Bank, Tommy Xie, mengatakan langkah ini melebihi ekspektasi pasar dan menegaskan kapasitas pemerintah pusat untuk mengambil risiko tambahan demi stabilitas ekonomi.
Pada 2025, pemerintah China juga akan meningkatkan defisit anggaran hingga empat persen dari PDB, level tertinggi dalam sejarah. Langkah ini diambil untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen, di tengah tekanan tarif impor dari AS.
Defisit tersebut telah disepakati dalam pertemuan Central Economic Work Conference beberapa waktu lalu, meski angka resminya belum diumumkan. Rencana ini lebih besar dibanding target awal tiga persen untuk 2024, menunjukkan Beijing tidak main-main menghadapi tantangan ekonomi global yang kian menekan.
Menghadapi Tekanan Tarif AS
Dorongan fiskal yang lebih kuat ini menjadi bagian dari strategi China untuk mengantisipasi lonjakan tarif AS yang diprediksi melebihi 60 persen terhadap impor China. Jika janji kampanye Trump direalisasikan, tarif ini akan menekan industri China yang mengekspor barang senilai lebih dari USD400 miliar (Rp6.400 triliun) per tahun ke AS.
Para eksportir memperingatkan tarif tersebut akan memangkas margin keuntungan, mengganggu lapangan kerja, serta menahan laju investasi dan pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh, langkah ini juga berpotensi memperburuk masalah kelebihan kapasitas industri dan tekanan deflasi yang saat ini membayangi perekonomian China.
Sumber resmi menyebutkan China akan mempertahankan target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen pada 2025. Ringkasan hasil CEWC menegaskan perlunya menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil, meningkatkan rasio defisit fiskal, dan menerbitkan lebih banyak utang pemerintah.(*)