Logo
>

Krisis Kemanusiaan Global saat Donasi Dunia Makin Menyusut

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Krisis Kemanusiaan Global saat Donasi Dunia Makin Menyusut

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Persamaan sederhana tapi menyakitkan sedang terjadi, yakni jumlah orang yang kelaparan atau kesulitan di seluruh dunia terus meningkat, sementara bantuan dana dari negara-negara kaya justru semakin berkurang.

    Hasilnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memprediksi hanya akan mampu membantu sekitar 60 persen dari 307 juta orang yang diperkirakan membutuhkan bantuan kemanusiaan tahun depan. Artinya, setidaknya 117 juta orang tak akan mendapatkan makanan atau bantuan lain pada 2025.

    Data PBB menunjukkan mereka hanya berhasil mengumpulkan 46 persen dari target dana sebesar USD49,6 miliar (sekitar Rp793 triliun) untuk bantuan kemanusiaan global di 2024. Ini menjadi tahun kedua berturut-turut PBB gagal mencapai setengah dari target yang ditetapkan. Kekurangan dana memaksa lembaga-lembaga kemanusiaan membuat keputusan berat, seperti mengurangi jatah makanan bagi yang membutuhkan dan membatasi jumlah penerima bantuan.

    Mengambil dari yang lapar untuk memberi makan yang kelaparan

    Dampaknya sudah terasa di banyak tempat, termasuk Suriah. World Food Program (WFP)--lembaga utama PBB untuk distribusi makanan–dulunya membantu 6 juta orang di negara itu. Namun, dengan proyeksi donasi yang terus menurun, jumlah penerima bantuan terpaksa dipangkas menjadi sekitar 1 juta orang.

    Asisten Direktur Eksekutif WFP untuk kemitraan dan mobilisasi sumber daya, Rania Dagash-Kamara, menceritakan kunjungannya ke staf WFP di Suriah pada Maret 2024 lalu. “Mereka bilang, ‘Kami sekarang mengambil dari yang lapar untuk memberi makan yang kelaparan,’” ungkapnya, dikutip dari Reuters di Jakarta, Rabu, 25 Desember 2024.

    Optimisme para pejabat PBB surut di tengah konflik, kerusuhan politik, dan cuaca ekstrem yang memicu bencana kelaparan. Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk urusan kemanusiaan, Tom Fletcher, mengatakan, “Kami terpaksa mengurangi bantuan untuk mereka yang paling membutuhkan.”

    Keputusan negara-negara kaya untuk mengurangi dana bantuan dipengaruhi oleh tekanan finansial dan politik domestik. Jerman, salah satu donor terbesar PBB, memangkas USD500 juta (sekitar Rp8 triliun) dari anggaran bantuan 2023 ke 2024. Kabinetnya bahkan merekomendasikan pemotongan tambahan sebesar USD1 miliar (sekitar Rp16 triliun) untuk 2025. Keputusan akhir akan diambil parlemen baru setelah pemilu Februari mendatang.

    Di sisi lain, perhatian kini tertuju pada rencana Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, yang akan memulai masa jabatan keduanya pada Januari 2025. Meski belum ada pernyataan resmi, Trump pernah berusaha memangkas dana bantuan luar negeri pada masa jabatan pertamanya dan kini didukung penasihat yang menganggap anggaran ini masih bisa dikurangi.

    [caption id="attachment_108686" align="alignnone" width="1200"] Seorang pekerja WFP berdiri di samping truk yang membawa bantuan dari Pelabuhan Sudan menuju Sudan, 12 November 2024. Foto: WFP/Abubakar Garelnabei.[/caption]

    Amerika Serikat selama ini menjadi aktor utama dalam mencegah dan mengatasi kelaparan dunia. Dalam lima tahun terakhir, AS telah menyumbang USD64,5 miliar (sekitar Rp1.032 triliun) untuk bantuan kemanusiaan, atau sekitar 38 persen dari total kontribusi global yang tercatat oleh PBB.

    Dana Kemanusiaan, Beban yang Ditanggung Segelintir Negara

    Mayoritas dana kemanusiaan global datang hanya dari tiga donor kaya, yakni Amerika Serikat, Jerman, dan Komisi Eropa. Dalam periode 2020 hingga 2024, ketiga negara ini menyumbang 58 persen dari total USD170 miliar (sekitar Rp2.720 triliun) yang tercatat oleh PBB untuk menangani berbagai krisis kemanusiaan.

    Sebaliknya, tiga kekuatan besar lainnya – China, Rusia, dan India – secara kolektif menyumbang kurang dari 1 persen untuk pendanaan kemanusiaan yang dilacak oleh PBB selama periode yang sama. Data ini, berdasarkan tinjauan kontribusi PBB oleh Reuters, memperlihatkan ketimpangan besar dalam upaya global mengatasi kelaparan dan mencegah kelaparan massal.

    Kesenjangan pendanaan ini menjadi salah satu alasan utama mengapa sistem global untuk menangani kelaparan berada di ambang kehancuran. Kurangnya dana yang memadai, ditambah dengan tantangan logistik untuk menilai kebutuhan dan mengirimkan bantuan makanan ke zona konflik–tempat sebagian besar krisis kelaparan terjadi–membuat upaya penyelamatan semakin tertekan. Pada 2023, hampir 282 juta orang di 59 negara menghadapi tingkat kerawanan pangan akut yang sangat tinggi.

    Kegagalan negara-negara besar untuk berkontribusi secara proporsional terhadap inisiatif global telah lama menjadi keluhan Donald Trump. Dalam proposal kebijakan yang disebut Project 2025, pendukung Trump menyerukan agar badan-badan kemanusiaan lebih aktif mengumpulkan dana dari donor lain. Mereka juga mengusulkan permintaan pendanaan tambahan dari Amerika Serikat harus disertai dengan bukti upaya pendanaan dari negara lain.

    [caption id="attachment_108689" align="alignnone" width="3400"] Tren penduduk kekurangan gizi di dunia menunjukkan penurunan signifikan di berbagai wilayah sejak tahun 2000. Meski demikian, Sub-Sahara Afrika tetap memiliki persentase tertinggi, sementara Asia Tenggara dan Asia Tengah menunjukkan penurunan tajam. Sumber: Our World ini Data.[/caption]

    Selama kampanye, Trump berusaha menjauhkan diri dari proposal kontroversial Project 2025. Namun, setelah memenangkan pemilu, ia justru memilih Russell Vought–salah satu perancang utama kebijakan itu–untuk memimpin Kantor Manajemen dan Anggaran AS, badan yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan prioritas presiden dan cara pembiayaannya.

    [caption id="attachment_108692" align="alignnone" width="1161"] Indeks Kelaparan Global (GHI) menunjukkan penurunan tingkat kelaparan di semua wilayah antara tahun 2000 hingga 2024. Wilayah Sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan tetap dalam kategori serius meski mencatat perbaikan signifikan. Sementara itu, Amerika Latin, Asia Timur, dan Eropa berhasil mempertahankan skor rendah. Sumber: Global Hunger Index.[/caption]

    Untuk jabatan menteri luar negeri, Trump menunjuk Senator Marco Rubio dari Florida, yang dikenal memiliki rekam jejak mendukung bantuan luar negeri. Dengan kombinasi kebijakan dan figur politik ini, arah pendanaan kemanusiaan dunia dari AS kemungkinan akan menghadapi perubahan besar di masa mendatang.

    Sementara itu, di tengah tantangan global seperti di Sudan, Myanmar, dan Afghanistan, upaya untuk memberikan bantuan kemanusiaan harus terus berjalan meski dengan sumber daya yang semakin terbatas. Beban besar ini tetap ditanggung oleh segelintir negara kaya, sementara sebagian besar dunia hanya menonton.

    Bicara soal kelaparan global, Project 2025 yang dirancang untuk pemerintahan kedua Donald Trump punya sudut pandang yang menarik. Dalam dokumen itu disebutkan, konflik adalah salah satu pendorong terbesar krisis kelaparan saat ini. Namun, solusi yang diusulkan justru berupa pemangkasan drastis bantuan kemanusiaan di wilayah yang dikuasai oleh “aktor jahat.”

    “Bantuan kemanusiaan mendukung ekonomi perang, menciptakan insentif finansial bagi pihak-pihak yang berkonflik untuk terus berperang, mendorong pemerintah menghindari reformasi, dan menopang rezim yang merusak,” tulis Project 2025.

    Masalahnya, siapa yang memutuskan mana rezim jahat dan mana yang tidak?

    Elon Musk dan Efisiensi Pemerintah

    Salah satu langkah paling kontroversial Trump adalah menunjuk Elon Musk untuk memimpin Department of Government Efficiency (DOGE) – badan baru yang akan mengkaji pengeluaran pemerintah, termasuk dana bantuan asing. Lewat media sosialnya, X, Musk mengisyaratkan DOGE akan fokus mengkaji efisiensi pengeluaran, termasuk pada bantuan luar negeri.

    Namun, rencana pemotongan anggaran bantuan luar negeri Trump pada masa jabatan pertamanya gagal melewati Kongres. Senator Lindsey Graham, sekutu dekat Trump, bahkan pernah menyebut rencana pemotongan anggaran 23 persen untuk bantuan luar negeri sebagai sesuatu yang “gila” dan “pendek akal.” Kini Graham akan menjadi ketua komite Senat yang mengawasi anggaran sehingga menjadikan posisi Trump dan Musk tidak sepenuhnya bebas.

    Sementara itu, ada satu ironi yang tidak bisa diabaikan. Donor besar dunia merasa frustrasi dengan negara-negara ekonomi raksasa yang kontribusinya untuk bantuan kemanusiaan sangat kecil. Mantan kepala kemanusiaan PBB, Jan Egeland, menyebut situasi ini “gila.”

    Norwegia, negara kecil dengan pendapatan nasional bruto (GNI) yang kurang dari 2 persen GNI Amerika Serikat, justru menjadi salah satu donor terbesar. Pada 2023, Norwegia menyumbang lebih dari USD1 miliar (sekitar Rp16 triliun). Sebaliknya, China–dengan GNI terbesar kedua di dunia–hanya menyumbang USD11,5 juta (sekitar Rp184 miliar) dan berada di peringkat ke-32. India, dengan GNI terbesar kelima, bahkan lebih kecil lagi: USD6,4 juta (sekitar Rp102 miliar), di posisi ke-35.

    Yang lebih mencengangkan, kedua negara ini justru menggelontorkan dana besar untuk proyek ambisius yang menarik perhatian dunia. Beijing menghabiskan miliaran dolar untuk Olimpiade Musim Dingin 2022. India mengalokasikan USD75 juta (sekitar Rp1,2 triliun) untuk mendaratkan pesawat luar angkasa di bulan pada 2023.

    “Bagaimana mungkin mereka lebih tertarik pada spaceship daripada memberi makan anak-anak kelaparan?” kata Egeland.

    Namun, dari pihak China, ada argumen lain. Juru bicara Kedutaan Besar China di Washington, Liu Pengyu, mengatakan negaranya telah mendukung World Food Programme (WFP) dan memberi makan 1,4 miliar orang di dalam negerinya sendiri. “Ini sendiri adalah kontribusi besar bagi keamanan pangan dunia,” katanya.

    India, sayangnya, memilih diam dalam laporan ini.

    Menurut analisis Reuters, data dari U.N.’s Financial Tracking Service menunjukkan pola kontribusi yang mencolok. Meskipun Saudi Arabia melaporkan tambahan USD255 juta (sekitar Rp4 triliun) yang disalurkan melalui King Salman Humanitarian Aid & Relief Centre, sebagian besar kontribusi besar datang dari negara-negara Barat, meninggalkan ekonomi raksasa seperti China dan India jauh di belakang.

    Meskipun bantuan kemanusiaan sering digadang-gadang sebagai penyelamat di tengah krisis, kenyataan di lapangan jauh dari ideal. Bantuan kerap datang terlambat, lengkap dengan sederet syarat yang membuat lembaga kemanusiaan sulit merespons dengan fleksibel.

    “Bantuan biasanya tiba saat hewan-hewan sudah mati, orang-orang mulai mengungsi, dan anak-anak mengalami malnutrisi parah,” kata Julia Steets, Direktur Global Public Policy Institute, sebuah lembaga kajian kebijakan publik berbasis di Berlin, Jerman.

    [caption id="attachment_108687" align="alignnone" width="1200"] Seorang dokter mengukur lengan atas Habib, seorang bocah laki-laki berusia tiga tahun yang menderita malnutrisi akut parah, di desa Yaka Dokan, Herat, Afghanistan, 23 Oktober 2024. Foto: REUTERS/Charlotte Greenfield.[/caption]

    Steets telah terlibat dalam beberapa evaluasi yang disponsori PBB terkait respons kemanusiaan. Salah satu laporan yang ia pimpin menyoroti krisis kelaparan akibat kekeringan di Ethiopia pada 2015-2018.

    Meski bencana kelaparan berhasil dihindari, laporan itu menyimpulkan pendanaan datang terlalu terlambat untuk mencegah lonjakan kasus malnutrisi akut pada anak-anak. Padahal, riset menunjukkan malnutrisi dapat menimbulkan efek jangka panjang seperti pertumbuhan terhambat dan kemampuan kognitif yang menurun.

    Bukan hanya terlambat, bantuan juga sering datang dengan banyak syarat dari donor-donor besar. Donor biasanya menentukan secara rinci ke mana bantuan harus disalurkan, bahkan sampai detail kecil seperti logo yang harus dipasang di tenda, toilet, atau tas ransel bantuan.

    Bagi pekerja kemanusiaan, kondisi ini memaksa mereka mengambil keputusan sulit. Ada yang terpaksa memotong jatah ransum, bahkan menghentikan bantuan sama sekali.

    Amerika Serikat, misalnya, sudah lama memiliki kebijakan membatasi hampir semua kontribusinya ke WFP, salah satu penyedia bantuan pangan terbesar di dunia. Data WFP yang ditinjau oleh Reuters menunjukkan lebih dari 99 persen donasi AS ke WFP dalam 10 tahun terakhir disertai dengan pembatasan.

    Ketika dimintai tanggapan soal pembatasan ini, juru bicara U.S. Agency for International Development (USAID), badan yang mengawasi pengeluaran kemanusiaan Amerika, menyatakan agensi mereka bertindak “sesuai dengan kewajiban dan standar yang ditetapkan oleh Kongres.”

    Menurut USAID, standar ini bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektivitas bantuan kemanusiaan serta memastikan penggunaan dana pembayar pajak AS secara bertanggung jawab.

    Beberapa pejabat donor, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, membela kebijakan pembatasan ini. Mereka berargumen bahwa pengawasan ketat diperlukan untuk mencegah pencurian dan korupsi yang telah lama menggerogoti sistem bantuan pangan global.

    Namun, bagi lembaga kemanusiaan di lapangan, pembatasan ini sering kali terasa lebih seperti birokrasi yang menghambat daripada upaya memastikan efisiensi. Ketika bantuan datang terlambat dan penuh syarat, harapan untuk membantu mereka yang paling membutuhkan sering kali terkubur di balik logo-logo dan laporan formal yang harus diserahkan ke donor.

    Bantuan PBB Dikorupsi: Dari Ethiopia Hingga Sudan

    Ketika dunia mengandalkan WFP dari PBB untuk mengatasi kelaparan, laporan Reuters menunjukkan bantuan besar-besaran yang disalurkan ke Ethiopia justru berakhir di tangan yang salah. Salah satu penyebabnya adalah kontrol administratif yang longgar di dalam organisasi itu sendiri.

    Sudan menjadi bukti lain bagaimana sistem ini bermasalah. Dalam laporan internal WFP yang diungkap Reuters bulan ini, tanggapan terhadap krisis kelaparan ekstrem di negara tersebut dinilai kurang memadai. Bahkan, laporan itu mengungkap adanya tantangan besar dalam menangani penipuan.

    Juru bicara U.N. Office for the Coordination of Humanitarian Affairs, Jens Laerke, menegaskan PBB memiliki kebijakan nol toleransi terhadap segala bentuk intervensi yang mengganggu distribusi bantuan. PBB kini bekerja sama dengan para donor untuk mengelola risiko tersebut.

    Martin Griffiths, mantan kepala bantuan kemanusiaan PBB yang mundur pada Juni lalu, mengatakan tantangan yang lebih besar ada pada model pendanaan organisasi itu sendiri. Menurutnya, PBB membutuhkan sumber pendanaan yang berbeda untuk mengatasi masalah ini.

    Pada 2014, Antonio Guterres—yang saat ini menjadi Sekretaris Jenderal PBB dan kala itu menjabat sebagai kepala badan pengungsi—mengusulkan perubahan besar. Ia menyarankan agar negara-negara anggota PBB dikenakan biaya wajib untuk mendanai inisiatif kemanusiaan, mirip dengan sistem biaya yang digunakan untuk mendanai misi perdamaian PBB. Pendanaan ini akan memberi badan-badan kemanusiaan fleksibilitas lebih besar dalam merespons kebutuhan mendesak.

    Namun, ide tersebut tidak disambut baik. Ketika dieksplorasi pada 2015, negara-negara donor lebih memilih sistem saat ini, yang memungkinkan mereka memutuskan secara kasus per kasus ke mana kontribusi mereka akan dialokasikan.

    Jenis Laerke menambahkan, PBB sedang bekerja untuk mendiversifikasi basis donornya. “Kami tidak bisa hanya bergantung pada klub donor yang sama, seberapa pun murah hati dan besar apresiasi kami terhadap mereka,” katanya.

    Meskipun sistem saat ini memberikan donor keleluasaan, kasus-kasus seperti di Ethiopia dan Sudan menegaskan perlunya reformasi yang lebih mendalam. Tanpa itu, upaya untuk menyelamatkan jutaan jiwa dari kelaparan akan terus dirundung masalah, baik oleh korupsi maupun sistem yang usang.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).