KABARBURSA.COM – Harga batu bara global kembali suram. Pembatasan produksi China menjadi alasan kejatuhan harga batu bara dalam tiga hari berturut-turut.
Berdasarkan data Refinitiv, harga batu bara pada perdagangan Selasa, 21 Oktober 2025, ditutup di level USD106,5 per ton, turun 0,23 persen dibandingkan hari sebelumnya. Pelemahan ini memperpanjang tren negatif tiga hari berturut-turut dengan akumulasi penurunan 1,75 persen.
Secara bulanan, harga batu bara hanya naik tipis 0,10 persen, dan jika dibandingkan secara tahunan harganya anjlok sekitar 28,57 persen dari level tahun lalu.
Pelemahan harga ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan respons pasar terhadap kombinasi faktor fundamental, struktural, dan kebijakan, terutama yang berasal dari China sebagai konsumen dan produsen batu bara terbesar di dunia.
Data terbaru menunjukkan bahwa produksi batu bara China pada September 2025 mencapai 411,51 juta ton, turun 1,8 persen secara tahunan (year-on-year). Penurunan ini disebabkan oleh kebijakan pembatasan produksi yang diberlakukan pemerintah dalam rangka kampanye “anti-involution”.
Kebijakan tersebut merupakan upaya menekan kelebihan kapasitas di sektor-sektor berat seperti batu bara, baja, dan semen, yang selama ini menimbulkan distorsi harga dan margin keuntungan yang tipis akibat persaingan berlebihan.
Selain dari sisi pasokan, pelemahan harga juga dipengaruhi oleh sisi permintaan, terutama dari segmen batu bara kokas yang menjadi bahan baku utama dalam produksi baja. Saat ini, industri baja sedang menghadapi tekanan cukup berat akibat melambatnya aktivitas konstruksi dan pelemahan sektor properti, terutama di China.
Permintaan baja yang lesu berimbas langsung pada permintaan kokas, dan pada akhirnya menekan konsumsi batu bara kokas di pasar internasional.
Meskipun demikian, masih terdapat permintaan “rigid” atau tetap dari pabrik-pabrik baja yang enggan menurunkan kapasitas produksi secara drastis karena faktor efisiensi dan rantai pasok yang sudah terbentuk. Hal ini menyebabkan harga batu bara kokas cenderung stabil di kisaran tertentu dan tidak jatuh terlalu dalam.
Harga Batu Bara Kokas Rekatif Stabil
Namun, di sisi lain, produsen kokas juga mengalami tekanan margin karena biaya produksi meningkat, terutama akibat kenaikan harga batu bara kokas sebagai bahan baku utama. Dalam kondisi ini, terjadi tarik-menarik kepentingan antara produsen kokas yang ingin menaikkan harga untuk menjaga profitabilitas, dan produsen baja yang menolak kenaikan karena akan mempersempit margin produksi mereka.
Kondisi “terkunci” seperti ini membuat harga batu bara kokas sulit bergerak secara signifikan, baik naik maupun turun, dalam jangka pendek. Jika produksi baja kembali menurun atau kebijakan emisi karbon dan efisiensi energi diperketat, maka tekanan terhadap harga kokas dan batu bara akan meningkat.
Sebaliknya, jika pasokan kokas terganggu akibat pembatasan produksi atau biaya produksi naik tajam, harga batu bara kokas berpotensi mengalami rebound sementara.
Dari sisi pasar energi global, meski dunia terus mendorong transisi menuju energi bersih, batu bara masih memainkan peran penting dalam bauran energi global. Menurut laporan International Energy Agency (IEA), sekitar 35 persen listrik dunia pada 2025 masih bersumber dari pembangkit berbasis batu bara, dengan lebih dari 2.500 unit pembangkit masih beroperasi di seluruh dunia.
Kapasitas baru bahkan masih terus dibangun, terutama di negara-negara Asia seperti China, India, dan sebagian kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini menandakan bahwa permintaan batu bara termal untuk pembangkit listrik belum akan lenyap dalam waktu dekat, meskipun arah kebijakan energi global perlahan bergeser ke sumber yang lebih ramah lingkungan.
Perhatikan Saham-saham Sektor Pertambangan
Dalam konteks domestik, kinerja harga batu bara global yang stagnan ini akan berpengaruh terhadap emiten-emiten batu bara di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Emiten besar seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Indika Energy Tbk (INDY), dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menjadi yang paling sensitif terhadap fluktuasi harga batu bara acuan.
PTBA sebagai produsen batu bara milik negara relatif memiliki posisi yang lebih kuat berkat biaya produksi rendah dan permintaan domestik yang stabil dari PLN. Namun, prospek ekspor bisa terdampak jika harga global tetap lemah.
ADRO memiliki diversifikasi melalui lini bisnis energi terbarukan dan aluminium yang memberi bantalan terhadap fluktuasi harga batu bara, namun tetap bergantung pada pasar ekspor Asia. INDY dan BUMI, dengan struktur utang yang lebih besar, akan lebih rentan terhadap tekanan harga yang berkepanjangan karena margin mereka lebih tipis.
Selain itu, investor juga perlu memperhatikan emiten yang terkait dengan rantai industri hilir batu bara, seperti PT Bayan Resources Tbk (BYAN) yang memiliki fokus pada batu bara kalori tinggi dan ekspor ke pasar premium seperti Jepang dan Korea Selatan.
Harga batu bara yang stabil di level menengah akan tetap menguntungkan bagi perusahaan dengan efisiensi tinggi dan portofolio pelanggan jangka panjang seperti BYAN.
Secara keseluruhan, performa harga batu bara saat ini menunjukkan pasar sedang berada pada fase konsolidasi setelah dua tahun penuh volatilitas ekstrem. Sentimen yang mendominasi lebih bersifat hati-hati (cautious sentiment), dengan prospek jangka pendek masih lemah akibat tekanan permintaan dan kebijakan lingkungan.
Namun dalam jangka menengah, potensi pemulihan tetap terbuka apabila ada kebijakan stimulus ekonomi dari China atau kenaikan biaya produksi di sisi pasokan yang membatasi output.
Dengan demikian, arah pasar batu bara dalam waktu dekat kemungkinan masih akan bergerak dalam rentang sempit, sementara pelaku pasar akan menunggu sinyal yang lebih jelas dari pergerakan industri baja dan kebijakan energi China.
Investor domestik disarankan untuk mencermati kinerja kuartalan emiten batu bara besar seperti PTBA dan ADRO sebagai indikator utama arah fundamental sektor energi Indonesia ke depan.(*)