Logo
>

Krisis Timur Tengah Memanas: Investor Waspadai Lonjakan Harga Minyak

Harga minyak mentah WTI melonjak sekitar 10 persen dalam sepekan terakhir, sementara Brent menyentuh level tertinggi lima bulan di atas USD79 per barel.

Ditulis oleh Yunila Wati
Krisis Timur Tengah Memanas: Investor Waspadai Lonjakan Harga Minyak
Ilustrasi: Konflik Timur Tengah, keterlibatan AS, dan potensi naiknya harga minyak dunia. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

KABARBURSA.COM - Ketegangan antara Iran dan Israel yang kian memanas kini menjadi perhatian utama para pelaku pasar global. Setelah kedua negara saling melancarkan serangan rudal, kekhawatiran meningkat bahwa konflik ini bisa melibatkan Amerika Serikat secara langsung. 

Jika itu terjadi, pasar finansial dunia diperkirakan akan menghadapi gelombang reaksi yang luas. Mulai dari anjloknya pasar saham, melonjaknya harga minyak, hingga potensi naiknya inflasi yang menggerus daya beli masyarakat.

Langkah Washington mengirim pembom siluman B-2 ke Guam akhir pekan lalu, memperkuat spekulasi tersebut. Walau belum ada konfirmasi bahwa pengerahan itu berkaitan langsung dengan krisis di Timur Tengah, banyak analis melihatnya sebagai sinyal bahwa AS tengah menyiapkan opsi militer jika diperlukan.

“Sinyal ini menunjukkan kesediaan pemerintahan AS untuk terlibat lebih jauh. Kondisi ini semakin menciptakan tekanan naik yang cukup kuat bagi harga minyak,” ujar Mark Spindel, Chief Investment Officer di Potomac River Capital LLC. 

Pasar Minyak Bergerak Lebih Dulu

Sejauh ini, dampak terbesar konflik memang paling terasa di pasar energi. Harga minyak mentah WTI melonjak sekitar 10 persen dalam sepekan terakhir, sementara Brent menyentuh level tertinggi lima bulan di atas USD79 per barel. 

Lonjakan ini sebagian besar didorong oleh kekhawatiran bahwa pasokan minyak dari kawasan Timur Tengah, khususnya Iran, bisa terganggu jika konflik melebar.

“Jika sampai serangan menargetkan infrastruktur minyak Iran, barulah pasar saham akan bereaksi lebih keras. Pasar sejauh ini belum memasukkan skenario disrupsi pasokan minyak global secara penuh dalam harga,” kata Art Hogan, Kepala Strategi Pasar di B Riley Wealth. 

Lembaga riset Oxford Economics bahkan telah memproyeksikan tiga skenario eskalasi. Dalam skenario terburuk, di mana produksi minyak Iran berhenti total dan Selat Hormuz ditutup, harga minyak global bisa melonjak hingga USD130 per barel. 

Akibatnya, inflasi di Amerika Serikat bisa melesat hingga mendekati 6 persen pada akhir tahun. Kondisi ini akan memperumit peluang pemangkasan suku bunga oleh The Fed.

Saham Masih Tahan, Tapi Sampai Kapan?

Meskipun harga energi melonjak, indeks saham AS sejauh ini relatif stabil. S&P 500 tidak banyak berubah meski sebelumnya sempat melemah usai serangan pertama Israel. Namun, banyak pengamat percaya bahwa ketenangan ini bisa jadi hanya sementara.

“Pasar saham saat ini hanya fokus pada satu hal, yaitu apakah dan kapan AS akan turun tangan secara langsung,” kata Spindel. 

Ia menilai pasar belum sepenuhnya menghargai risiko geopolitik, tetapi semakin hari, perhatian ke arah Timur Tengah makin besar.

Sejarah menunjukkan bahwa gejolak geopolitik semacam ini memang sering memicu tekanan jangka pendek, namun tak selalu menyebabkan penurunan jangka panjang. 

Data dari Wedbush Securities mencatat, dalam krisis-krisis sebelumnya seperti invasi Irak 2003 dan serangan fasilitas minyak Arab Saudi 2019, indeks S&P 500 hanya turun sekitar 0,3 persen dalam tiga minggu pertama konflik, namun justru naik rata-rata 2,3 persen dua bulan setelahnya.

Dolar AS: Diuntungkan atau Dirugikan?

Konflik juga memberi dampak ganda terhadap dolar AS. Dalam jangka pendek, mata uang ini bisa menguat karena meningkatnya permintaan akan aset-aset safe haven. 

Namun dalam jangka panjang, potensi keterlibatan AS dalam perang berkepanjangan, seperti yang terjadi di Afghanistan dan Irak,bisa membuat nilai dolar tergerus.

“Pelaku pasar akan lebih khawatir terhadap dampak ekonomi di Eropa, Inggris, dan Jepang, yang lebih bergantung pada impor energi, ketimbang di AS, yang notabene adalah produsen energi utama,” ujar Thierry Wizman, analis di Macquarie Group.

Meski begitu, jika ketegangan berubah menjadi intervensi militer jangka panjang, pasar cenderung mencerminkan pesimisme. Seperti yang terjadi setelah 9/11, dolar AS saat itu sempat melemah selama bertahun-tahun di tengah operasi militer yang berlangsung lama.

Semua Mata Tertuju ke Harga Energi

Secara keseluruhan, lonjakan harga minyak menjadi indikator paling jelas dari keresahan pasar terhadap konflik ini. Meski volatilitas di pasar saham dan obligasi masih terkendali, lonjakan tajam ekspektasi volatilitas di pasar energi menunjukkan bahwa investor menempatkan risiko geopolitik sebagai faktor utama dalam pengambilan keputusan.

Analis dari Citigroup dalam laporannya menyebut bahwa selama ini pasar ekuitas cenderung “mengabaikan” risiko geopolitik, namun kali ini energi bisa menjadi titik balik. 

“Kunci pergerakan pasar saham saat ini ada di harga komoditas energi,” tulis mereka.

Jadi, keputusan Presiden AS untuk terlibat atau tidak dalam konflik ini diperkirakan akan diambil dalam dua pekan ke depan. Namun pejabat Israel telah mengindikasikan bahwa mereka bisa bertindak lebih dulu, bahkan sebelum tenggat itu tercapai.

Artinya, ketidakpastian masih akan mendominasi pasar dalam waktu dekat. Satu hal yang pasti adalah jika ketegangan ini benar-benar merembet ke rantai pasok energi dunia, pasar global harus bersiap menghadapi badai baru, bukan hanya di bursa, tetapi juga di kantong konsumen.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79