Logo
>

Laba Empat Bank Besar Terkoreksi di 8M25, BBCA Tetap Primadona

Laba bersih empat bank besar nasional turun 4 persen jadi Rp115,7 triliun per Agustus 2025, tertekan penurunan NIM meski likuiditas longgar dan kualitas aset tetap terjaga.

Ditulis oleh Yunila Wati
Laba Empat Bank Besar Terkoreksi di 8M25, BBCA Tetap Primadona
Ilustrasi sektor perbankan Indonesia. Foto: AI untuk KabarBursa.

KABARBURSA.COM – Industri perbankan tanah air kembali menghadapi tantangan berat pada delapan bulan pertama 2025. Riset Indo Premier Sekuritas mencatat laba bersih konsolidasi empat bank besar nasional—BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI—turun sekitar 4 persen secara tahunan menjadi Rp115,7 triliun. 

Angka ini sejatinya masih sejalan dengan ekspektasi konsensus pasar yang memperkirakan kontraksi laba di kisaran 2–3 persen sepanjang tahun. Meski demikian, pelemahan margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) menjadi benang merah yang menekan kinerja keempat bank tersebut.

Secara keseluruhan, NIM sektor perbankan turun 33 basis poin menjadi 5,2 persen. Hal ini disebabkan adanya penurunan imbal hasil aset yang lebih dalam, sementara biaya dana relatif stabil. 

Kondisi ini menunjukkan bahwa daya ungkit bunga kredit mulai terkikis, meski perbankan masih mampu menjaga kualitas dana pihak ketiga. Kredit tumbuh 8 persen, sedikit lebih rendah dibanding pertumbuhan dana pihak ketiga 10 persen, yang akhirnya menurunkan loan-to-deposit ratio (LDR) ke 87,4 persen.

BCA Stabil, BRI dan Mandiri Tertekan

Dari keempat bank, Bank Central Asia (BBCA) tetap menonjol. Laba bersih bank-only mencapai Rp39,1 triliun, tumbuh 9 persen year-on-year, meski secara bulanan turun 10 persen. Kontribusi utama datang dari pendapatan non-bunga yang melesat 18 persen, sementara biaya operasional hanya naik tipis.

Namun, lonjakan provisi hingga dua kali lipat menekan pertumbuhan laba lebih jauh. NIM BBCA relatif stabil di 5,9 persen, menandakan ketahanan model bisnis yang kuat di tengah tren pelemahan sektor.

Bank Rakyat Indonesia (BBRI) justru tertekan oleh biaya pencadangan yang tetap tinggi. Laba bersihnya terkoreksi 10 persen menjadi Rp32,6 triliun, dengan cost of credit (CoC) mencapai 3,3 persen, lebih tinggi dari panduan 3,0–3,2 persen. 

Penurunan imbal hasil aset yang signifikan membuat NIM BBRI turun 39 basis poin ke 6,6 persen. Meski kredit tumbuh 6 persen, pertumbuhan dana pihak ketiga 9 persen membuat LDR turun ke 86,5 persen, mengindikasikan likuiditas cukup longgar namun tidak diiringi dengan profitabilitas yang solid.

Sementara itu, Bank Mandiri (BMRI) membukukan laba Rp30,7 triliun, turun 9 persen secara tahunan. Tekanan utama datang dari lonjakan biaya operasional sebesar 42 persen. Meski demikian, provisi justru turun sehingga CoC merosot menjadi 0,5 persen, jauh di bawah panduan 0,8–1,0 persen. 

Hal ini membuat laba tetap relatif terjaga. Kredit BMRI tumbuh sehat 11 persen, sedikit melampaui pertumbuhan dana pihak ketiga, yang membuat LDR naik tipis ke 94 persen.

Adapun Bank Negara Indonesia (BBNI) membukukan laba Rp13,4 triliun, turun 6 persen year-on-year. Pertumbuhan net interest income (NII) yang lesu menjadi kendala utama, hanya turun tipis 1 persen, sementara pendapatan non-bunga juga melemah. 

Provisi naik 4 persen, dengan CoC berada di 0,9 persen, sesuai panduan tahunan. Namun, NIM terkoreksi ke 3,6 persen, penurunan terdalam di antara bank besar. Pertumbuhan dana pihak ketiga mencapai 17 persen, ditopang kenaikan CASA 21 persen, yang menekan LDR ke 88,4 persen.

Secara garis besar, riset Indo Premier menegaskan bahwa sektor perbankan Indonesia saat ini berada dalam fase penyesuaian marjin, di mana pertumbuhan kredit tidak sepenuhnya mampu mengimbangi tekanan pada pendapatan bunga. 

Meski demikian, fundamental tetap solid dengan likuiditas yang longgar dan kualitas aset terjaga, sebagaimana tercermin dari pencadangan yang masih sesuai dengan panduan manajemen.

Bagi investor, BBCA tetap menjadi pilihan unggulan karena kinerja yang lebih defensif dan profitabilitas stabil, meski harus diwaspadai kenaikan provisi. BBRI, BMRI, dan BBNI masih menghadapi tekanan, tetapi ruang pemulihan terbuka jika NIM mulai stabil dan pertumbuhan kredit kembali menguat di kuartal keempat. 

Dengan kondisi ini, prospek sektor perbankan hingga akhir tahun lebih condong ke arah moderasi, bukan ekspansi agresif, sambil menanti katalis berupa penurunan suku bunga yang bisa memperbaiki margin dan mendorong permintaan kredit.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79