KABARBURSA.COM - Di era yang serba teknologi seperti sekarang, Artificial Intelligence (AI) semakin masif digunakan di berbagai bidang.
Bahkan sejumlah kalangan memprediksikan hilangnya berbagai jenis pekerjaan karena sudah tergantikan oleh kecerdasan buatan ini.
Meski begitu, kehadiran AI memberikan peluang ekonomi baru. Artinya, kita harus mengikuti perkembangan teknologi yang semakin canggih.
Ketua Umum Asosiasi Pengguna Artificial Intelligence Indonesia (APAII) Dian Martin mengatakan, AI sudah menjadi salah satu tren teknologi terbesar dalam beberapa tahun terakhir.
"AI menciptakan perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Tidak hanya di dalam kegiatan sehari-hari, tapi juga di dunia bisnis," kata Dian Martin, Minggu, 25 Agustus 2024.
Karena itu, lanjut Dian, kita harus memahami bagaimana memanfaatkan AI secara efektif agar kita tidak sekadar jadi penonton atau objek saja.
Lanjut Dian Martin, diperlukannya pelatihan AI dalam digital marketing dengan tujuan agar masyarakat mendapatkan pengetahuan seputar AI dan mampu memanfaatkan kehadiran teknologi ini dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk bisnis.
Dengan begitu, masyarakat mampu meningkatkan kemampuan beradaptasi dalam dunia yang makin terhubung dan berubah dengan cepat.
Dia memberi contoh tentang penggunaan ChatGPT yang kini lebih banyak dipahami sekadar untuk bertanya atau membuat tulisan. Padahal, aplikasi berbasis AI ini punya banyak kemampuan lain yang mungkin sebelumnya tidak terpikirkan.
"Misalnya di bidang kesehatan, peningkatan akurasi diagnostik model GPT-4 Mrdprompt ini memiliki tingkat akurasi 90,2 persen untuk melakukan diagnosa dari skor tertinggi pada 2022," jelasnya.
Contoh lain, kata Dian lagi, AI PANDA, aplikasi lain berbasis AI, juga memiliki sistem yang lebih baik untuk mendeteksi kanker pankreas dengan sensitivitas sampai 92,9 persen, dan juga melampaui radiolog rata-rata dalam sensitivitas sebesar 34,1 persen.
"Jadi, dalam diagnosa-diagnosa bidang kesehatan, sangat luar biasa perkembangan penggunaan AI," tuturnya.
Potensi Bisnis AI di Indonesia Rp6.000 Triliun
Potensi bisnis dari kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) di Indonesia sangat besar nilainya. Tinggal bagaimana caranya agar kita bisa "memanen" dan digunakan untuk kemajuan bangsa ini.
Ketua Kagama AI Ajar Edi mengungkapkan kegelisahan komunitas yang dipimpinnya, yaitu bagaimana menggabungkan potensi masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan AI untuk kemajuan bangsa.
"Kegelisahan kami sederhana, yakni kami yakin akan potensi UGM, para alumni, yang tersebar di industri, pemerintahan, civil society, dan kita melihat potensi ini bisa digabungkan," kata Ajar Edi.
Dia menjelaskan bahwa potensi ekonomi dari AI di Indonesia itu sangat besar, yakni mencapai USD366 miliar atau nyaris menyentuh Rp6.000 triliun, tepatnya sekitar Rp5.829,5 triliun.
Menurutnya, dengan potensi yang sangat besar itu, bagaimana berbagai pemangku kepentingan di Indonesia bisa menggali dan memanfaatkannya demi kemajuan bangsa.
"Yang ingin kami coba lebih dalam adalah bagaimana menyiapkan talenta kuat karena ekosistem ini harus dibangun. Bagaimana memanen potensi AI ini dengan mempersiapkan talenta yang kuat,” kata alumni Fakultas Filsafat UGM ini.
Ajar pun mengutip data Microsof, yang menyebutkan pengembang AI di Indonesia mencapai 3,1 juta orang. “Kita nomor lima terbesar di Asia Pasifik dan lima tahun lagi jumlahnya bisa meningkat,” ucap Ajar.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika yang juga Ketua Dewan Pembina Kagama AI, Nezar Patria, mengatakan, Indonesia harus mempersiapkan diri dalam menghadapi transformasi digital.
Dia memberitahu, bahwa saat ini di tataran global, ada fenomena global raise (peningkatan global) dalam digitalisasi, karena proyeksi 15 hingga 30 tahun ke depan, akan terjadi pergeseran ekonomi (economic shifting) menuju ekonomi digital.
Kemudian Nezar Patria mengutip riset McKinsey bahwa pertumbuhan bisnis digital di Indonesia pada tahun 2030 diproyeksi mencapai USD366 miliar atau setara Rp 5.829,5 triliun. Sementara total nilainya kawasan Asia Tenggara yaitu USD1 triliun atau Rp 15.926,3 triliun.
"Ini artinya, Indonesia menyumbang 40 persen pertumbuhan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara," imbuhnya.
Menurut Nezar, angka pertumbuhan ekonomi digital tersebut bisa dicapai jika Indonesia bisa menyiapkan 9 juta digital talent. Namun sampai saat ini jumlahnya belum sampai. Tahun ini, kata Nezar Patria, Indonesia baru memiliki 2,5 juta digital talent.
"PR (pekerjaan rumah) kita masih panjang. Tanpa talent digital, kita mustahil bisa menopang pertumbuhan sedemikian besar itu. Kalau kita gagal, maka kita akan kehilangan kesempatan cukup baik dalam mendongkrak ekonomi digital," tegas Nezar.
Oleh karena itu, lanjut Nezar, saat ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sedang menyiapkan sejumlah program untuk persiapan digital talent. Salah satunya adalah program beasiswa dengan menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi di dunia yang memiliki reputasi dalam teknologi digital. Misalnya, Massachusetts Institute of Technology (MIT), Oxford University, Stanford Unversity, dan universitas lain di Asia Tenggara, Australia, serta di Eropa.
Dia berharap bidang ilmu seperti data science, internet of thing dan lainnya bisa dikuasai dengan baik oleh para talenta ini.
Namun demikian, teknologi AI ini selain memberi dampak positif, tetapi juga menimbulkan efek negatif, terutama terkait dengan tenaga kerja yang mulai tergantikan oleh AI. Contohnya, tol yang kini menggunakan sistem pembayaran non tunai. Saat awal sistem itu diadopsi, sekitar 2.000 karyawan terpaksa di-PHK. Namun setelah itu, Jasa Marga merekrut 1.500 orang untuk mengelola sistem digital.
Koordinator Staf Khusus Presiden yang juga Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat (PP) Kagama AAGN Ari Dwipayana menyatakan, Indonesia sudah menyiapkan berbagai infrastruktur dalam menopang pengembangan ekonomi. Salah satunya adalah infrastruktur teknologi digital. Hal itu dilakukan karena Indonesia memiliki keinginan besar menjadi negara yang tidak tertinggal dalam transformasi teknologi. Namun, pekerjaan rumah Indonesia saat ini adalah bagaimana memperkuat talenta dalam mengisi dan memanfaatkan infrastruktur digital ini.
"Tentu ini bukan pekerjaan mudah dan bukan yang sekali waktu kita lakukan. Membutuhkan kolaborasi, banyak pihak sehingga kita bisa membangun ekosistem lebih baik sehingga bisa memanfaatkan kemajuan teknologi ini," kata Ari. (*)