Logo
>

Merananya 100 Hari Trump Dihantui Inflasi dan Serbuan Produk

Di tengah upaya menerapkan kebijakan proteksionis dan perang dagang, justru barang-barang impor—termasuk dari Indonesia—membanjiri pasar AS.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Merananya 100 Hari Trump Dihantui Inflasi dan Serbuan Produk
Presiden Amerika Serikat Donald Trump memperlihatkan daftar tarif resiprokal.

KABARBURSA.COM - Pemerintahan Presiden Donald Trump baru saja melewati 100 hari pertamanya dengan berbagai gejolak yang mengguncang baik dalam negeri Amerika Serikat maupun dunia internasional.

Ditengah upaya menerapkan kebijakan proteksionis dan perang dagang, justru barang-barang impor—termasuk dari Indonesia—membanjiri pasar AS. Hal ini berpotensi menekan ekonomi domestik dan memperburuk tingkat kepuasan publik terhadap kepemimpinan Trump.

Pengamat Politik AS, Andi Mallarangeng, menyoroti kondisi politik dan ekonomi AS saat ini dengan menekankan bahwa meskipun Amerika Serikat merupakan negara demokrasi, sistem akuntabilitas harus tetap dijunjung tinggi, termasuk oleh presiden. 

“Amerika adalah sebuah negara demokrasi, karena itu juga mestinya hukum-hukum dalam konteks demokrasi, liberal di Amerika itu masih tetap berlaku,” ujarnya dalam diskusi yang bertajuk 100 Hari Trump Tsunami Geopolitik dan Ekonomi Bagi Indonesia? secara daring, Jumat 2 Mei 2025.

Menurut Andi, 100 hari pertama pemerintahan Trump mencatatkan salah satu tingkat approval rating terendah dalam sejarah modern kepresidenan AS. 

“Approval rating dari Trump ini adalah yang terburuk dari 70 tahun lebih,” katanya.

 Ia menambahkan, sejak Trump dilantik pada Januari, telah terjadi penurunan hampir 10 poin dalam tingkat kepuasan publik. “Terburuk dari semua presiden-presiden,” tegasnya.

Salah satu penyebab utama dari penurunan tersebut adalah persoalan ekonomi, terutama terkait inflasi yang mulai merangkak naik. Meski sempat terbantu oleh turunnya harga bahan bakar minyak, tren inflasi tetap menunjukkan lonjakan. 

“Inflasi juga naik, walaupun ada penurunan karena bahan bakar minyak… tetapi juga naik,” ujar Andi.

Ekspektasi inflasi pun tidak menggembirakan. Setelah sempat berada di angka 2,5 persen, ekspektasi inflasi tahun ini diperkirakan bisa melampaui 4 persen. “Karena ketika perang tarif dilakukan otomatis, maka terutama kepada Cina, barang-barang di Amerika Serikat pasti akan menjadi mahal,” jelasnya.

Andi juga mengingatkan bahwa dampak nyata dari perang tarif terhadap harga barang akan terasa dalam jangka tiga bulan ke depan, ketika stok barang impor yang sudah masuk mulai menipis. 

“Kalau Anda ke Amerika, masuk ke Walmart, masuk ke supermarket, hampir semua barang-barang itu barang-barang import,” ujarnya.

Ia menyebut bahwa mulai dari sepatu, elektronik, hingga tekstil, sebagian besar produk di pasar AS berasal dari luar negeri—termasuk Indonesia. “Mau beli sepatu dari made in Indonesia, Cina, segala macam. Pasti itu semua dari asing,” katanya.

Ketika stok barang impor habis dan harga barang naik, Andi menegaskan bahwa hal itu akan berdampak langsung pada approval rating presiden. “Dan ketika kenaikan barang di Amerika yang terjadi pasti adalah approval rating akan menurun lagi,” katanya.

Ia menambahkan bahwa dalam konteks politik elektoral AS, inflasi memiliki korelasi paling kuat terhadap tingkat dukungan publik terhadap presiden yang sedang menjabat. 

“Bagi incumbent, kalau inflasi naik biasanya approval rate turun. Itu yang korelasinya paling tinggi dalam berbagai macam indikator,” tuturnya.

Penutupan perdagangan bebas lewat tarif justru membuat pelaku usaha dalam negeri menanggung beban tambahan, yang kemudian dilimpahkan kepada konsumen. “Ketika dengan tarif, maka yang kita lihat adalah inflasi langsung naik, harga-harga langsung naik,” pungkas Andi.

Kinerja Trump Dan Pengaruh di Wall Street

 Bursa saham Amerika Serikat mencatat penutupan yang bervariasi pada Rabu, 30 April 2025, dengan indeks Dow Jones dan S&P 500 berhasil bertahan di zona hijau berkat reli menjelang akhir sesi. 

Pergerakan ini terjadi meski sebagian besar sesi diwarnai tekanan setelah rilis data ekonomi yang menunjukkan kontraksi ekonomi AS pada kuartal pertama 2025. Ini menjadi yang pertama sejak tiga tahun terakhir.

Indeks Dow Jones Industrial Average menguat 141,74 poin atau 0,35 persen ke level 40.669,36, sedangkan S&P 500 naik 8,23 poin atau 0,15 persen ke posisi 5.569,06. Di sisi lain, Nasdaq Composite justru terkoreksi tipis, melemah 14,98 poin atau 0,09 persen menjadi 17.446,34.

Selama perdagangan intraday, Dow sempat anjlok hingga 1,9 persen, S&P 500 turun 2,3 persen, dan Nasdaq menyusut 2,9 persen sebelum akhirnya pulih menjelang penutupan. Pemulihan ini mencerminkan sentimen yang dinamis dan sensitivitas tinggi pelaku pasar terhadap sinyal-sinyal makroekonomi.

Laporan lanjutan produk domestik bruto (PDB) AS mencatat kontraksi tahunan sebesar 0,3 persen pada kuartal I 2025, jauh di bawah ekspektasi konsensus yang memperkirakan pertumbuhan 0,3 persen. Kontraksi ini, menurut Departemen Perdagangan AS, sebagian disebabkan oleh lonjakan impor yang dilakukan korporasi untuk mengantisipasi tarif baru dari pemerintahan Trump.

Namun, laporan belanja konsumen yang menyumbang dua pertiga aktivitas ekonomi AS justru menunjukkan lonjakan sebesar 0,7 persen pada Maret, mengungguli ekspektasi sebesar 0,5 persen. Hal ini mengindikasikan daya beli masyarakat masih kuat meski pertumbuhan ekonomi menyusut.

Data lainnya memperlihatkan perlambatan pasar tenaga kerja. Laporan ketenagakerjaan dari ADP menunjukkan hanya ada tambahan 62.000 pekerjaan di sektor swasta pada April, jauh di bawah estimasi sebelumnya sebesar 115.000. Pelemahan ini memperkuat ekspektasi bahwa Federal Reserve dapat memangkas suku bunga hingga satu persen poin sebelum akhir tahun, meski pernyataan dari Ketua Fed Jerome Powell mengindikasikan langkah tersebut akan diambil secara hati-hati.

Beberapa sektor saham mencatat performa positif. Saham consumer staples naik 0,7 persen, dipimpin oleh Mondelez International yang melonjak 3,8 persen setelah laporan kinerja kuartalan melebihi ekspektasi analis. Setelah jam perdagangan berakhir, saham Meta Platforms dan Microsoft masing-masing melesat lebih dari 4 persen dan 6 persen karena laporan keuangan yang mengesankan, terutama dari segmen kecerdasan buatan (AI).

Sementara itu, saham teknologi lain seperti Super Micro Computer dan Snap mengalami tekanan signifikan. Super Micro anjlok 11,5 persen setelah memangkas proyeksi kuartalan akibat penundaan belanja pelanggan. Snap juga terperosok 12,4 persen setelah mengumumkan tidak akan memberikan proyeksi keuangan untuk kuartal berikutnya.

Saham Caterpillar yang merupakan komponen Dow Jones sempat bergerak liar akibat hasil kuartalan yang mengecewakan, meski akhirnya ditutup naik 0,6 persen.

Meski berhasil bangkit, kinerja indeks secara bulanan menunjukkan hasil yang beragam. Dow mencatat penurunan bulanan sebesar 3,17 persen, S&P 500 terkoreksi 0,76 persen, sementara Nasdaq berhasil mencetak kenaikan tipis 0,85 persen.

Penutupan perdagangan ini sekaligus menandai 100 hari pertama pemerintahan Trump sejak menjabat, di mana kebijakan perdagangan dan tarif yang fluktuatif telah meningkatkan ketidakpastian pasar, menutupi harapan awal atas deregulasi dan pemangkasan pajak yang sempat disambut positif oleh pasar.

Dalam catatan teknikal, di Bursa New York (NYSE), saham yang turun lebih banyak dari yang naik dengan rasio 1,19 banding 1. Di Nasdaq, rasio saham turun dibanding naik sebesar 1,28 banding 1. Volume perdagangan tercatat 16,97 miliar saham, sedikit lebih rendah dari rata-rata 20 hari terakhir sebesar 19,57 miliar.

Dengan prospek pertumbuhan yang melambat, tekanan inflasi yang mulai mereda, dan ketidakpastian tarif yang berlanjut, investor akan terus mencermati rilis data makro selanjutnya sebagai penentu arah pasar saham dan potensi pemangkasan suku bunga oleh The Fed.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.