KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan bahwa Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) mengenai transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) bagi Bank Umum Konvensional (BUK) sedang dalam tahap akhir harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa regulasi ini diharapkan dapat segera diterbitkan.
SBDK merupakan suku bunga terendah yang mencerminkan kewajaran biaya yang dikeluarkan oleh bank, termasuk ekspektasi keuntungan yang akan diperoleh. Komponen SBDK terdiri dari Harga Pokok Dana Kredit (HPDK), biaya overhead, dan marjin keuntungan bank.
Per Mei 2024, Net Interest Margin (NIM) perbankan berada pada angka 4,56 persen, sama seperti pada April 2024. Pengungkapan suku bunga kredit (SBK) kepada OJK juga mencakup estimasi premi risiko yang disesuaikan dengan profil risiko masing-masing debitur.
Dian berharap, kebijakan ini akan mendorong persaingan suku bunga antar bank menjadi lebih sehat dan memacu bank untuk semakin efisien dalam menawarkan suku bunga yang lebih kompetitif. Bagi masyarakat, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan literasi keuangan, sehingga mereka dapat memahami dan membandingkan SBDK antar bank, yang pada akhirnya akan menciptakan mekanisme pasar yang lebih baik.
OJK juga akan terus mengawasi tata kelola pelaporan dan perhitungan komponen pembentuk SBDK. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) mengamanatkan perbankan untuk transparan dalam penetapan suku bunga kredit. Oleh karena itu, OJK menyiapkan aturan turunan melalui Peraturan OJK (POJK).
Biaya Operasional Meningkat
Tingginya suku bunga acuan mencapai level 6 persen telah mengakibatkan biaya dana atau cost of fund (CoF) meningkat, mengakibatkan biaya operasional bank meningkat. Sebagai respons, sejumlah bank di Indonesia mulai menaikkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) pada kuartal I/2024.
Keputusan untuk menaikkan SBDK ini merupakan upaya untuk menyeimbangkan biaya daya yang tinggi dan mempertahankan profit dari sisi margin bunga bersih (NIM) agar tetap tinggi.
Industri perbankan Indonesia memiliki NIM tertinggi di Asia Tenggara. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rata-rata NIM perbankan Indonesia per Januari 2024 adalah 4,54 persen, meskipun ini turun dari 4,81 persen pada Desember 2023.
Penurunan ini dipengaruhi oleh biaya dana yang meningkat. Oleh karena itu, kenaikan SBDK dan suku bunga kredit menjadi langkah yang tidak terhindarkan untuk menjaga NIM agar tetap menguntungkan.
Beberapa bank telah menaikkan SBDK mereka pada awal tahun 2024. Bank CIMB Niaga Tbk adalah salah satunya, yang telah menaikkan SBDK di semua segmen kreditnya sejak Februari.
Presiden Direktur CIMB Niaga, Lani Darmawan, menjelaskan bahwa keputusan ini dipertimbangkan dengan cermat, mengingat kondisi bunga pasar dan biaya dana yang tinggi.
OCBC Indonesia juga telah mengumumkan kenaikan SBDK pada Maret, terutama di segmen kredit ritel. Sedangkan Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank BTPN Tbk juga telah melakukan penyesuaian serupa pada SBDK mereka.
Penting untuk dicatat bahwa SBDK digunakan sebagai dasar untuk menetapkan suku bunga kredit yang akan dikenakan bank kepada nasabah. Namun, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan belum tentu sama dengan SBDK karena belum memperhitungkan premi risiko yang bersifat estimatif.
Alami Pertumbuhan Kredit
Bank Indonesia (BI) mencatat mengenai perbankan yang alami pertumbuhan kredit dan transaksi pada April 2024. Secara spesifik, pertumbuhan transaksi ini dialami oleh perbankan platform digital.
ubernur BI Perry Warjiyo, dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur BI Bulan Mei 2024, menyampaikan bahwa kredit perbankan tumbuh tinggi yakni sebesar 13,09 persen secara year on year (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan pada Maret 2024, yang tumbuh 12,40 persen (yoy). Pertumbuhan didorong sektor industri, jasa dunia usaha, dan perdagangan, sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Menurut Perry, tingginya permintaan kredit dipengaruhi oleh sisi penawaran, sejalan dengan terjaganya appetite perbankan yang didukung oleh tingginya permodalan, berlanjutnya strategi realokasi aset ke kredit oleh perbankan, dan diterapkannya kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) yang menjaga kecukupan likuiditas perbankan. Pertumbuhan kredit itu juga ditopang oleh pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang terus meningkat, yang mencapai 8,21 persen (yoy) pada April 2024.
Dari sisi permintaan, ia menuturkan pertumbuhan kredit didukung oleh kinerja korporasi dan rumah tangga yang tetap terjaga baik. Berdasarkan kelompok penggunaan, pertumbuhan kredit ditopang oleh kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit konsumsi yang masing-masing tumbuh sebesar 15,69 persen (yoy), 13,25 persen (yoy), dan 10,34 persen (yoy).
Pembiayaan syariah juga tumbuh tinggi sebesar 14,88 persen (yoy), sementara kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) tumbuh sebesar 7,30 persen (yoy). Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan kredit 2024 akan terus meningkat menuju batas atas kisaran prakiraan 10-12 persen.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.