KABABURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja merilis Laporan Surveillance Perbankan Indonesia (LSPI) Triwulan II-2024, yang menyajikan gambaran menyeluruh serta analisis mendalam terkait kondisi perekonomian global dan domestik. Laporan ini juga mengaitkan dinamika tersebut dengan kinerja sektor perbankan, termasuk penyaluran kredit dan pembiayaan, serta profil risiko yang dihadapi oleh lembaga-lembaga keuangan.
Selain memberikan ikhtisar perkembangan ekonomi, laporan ini juga mencakup kebijakan perbankan yang diterbitkan OJK, evolusi kelembagaan perbankan, serta koordinasi antar lembaga terkait. Salah satu topik penting yang diangkat dalam laporan ini adalah pembahasan mengenai interkoneksi kebijakan moneter The Fed dengan stabilitas makroekonomi dan kondisi perbankan di Indonesia.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan pada Senin 18 November, OJK menjelaskan bahwa kondisi perekonomian global selama triwulan II-2024 terpantau stagnan. Ketidakpastian di pasar keuangan global masih cukup tinggi, dan pertumbuhan ekonomi antar negara juga terbilang terdivergensi. Ekonomi AS, Eropa, dan Inggris menunjukkan angka pertumbuhan yang positif dibandingkan triwulan sebelumnya, sementara ekonomi Tiongkok menghadapi tekanan akibat lemahnya permintaan domestik dan berlanjutnya kesulitan di sektor properti.
Ketidakpastian pasar keuangan global sebagian besar dipengaruhi oleh laju inflasi yang masih tinggi, yang mendorong The Fed untuk mempertahankan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) pada level tinggi dalam jangka panjang, setidaknya hingga Juni 2024. Pemangkasan FFR diperkirakan baru akan dilakukan pada pertemuan FOMC September 2024.
Selain faktor inflasi, kondisi geopolitik yang terus berkembang, termasuk ketegangan di Timur Tengah dan Ukraina serta gangguan pada jalur perdagangan Laut Merah, turut memberikan dampak signifikan terhadap ketidakpastian pasar. Di samping itu, ancaman perubahan iklim yang dapat memicu lonjakan harga komoditas dan inflasi global semakin memperburuk prospek ekonomi global.
Kekhawatiran pasar juga semakin diperburuk oleh ketidakpastian politik di AS menjelang Pemilu Presiden 2024. Meskipun begitu, perekonomian domestik Indonesia masih mampu mempertahankan momentum pertumbuhannya pada triwulan II-2024, meskipun sedikit melambat. Penurunan konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah yang lebih moderat dibandingkan tahun sebelumnya, dapat dijelaskan oleh berakhirnya efek dari stimulus Pemilu dan Ramadan, serta belum pulihnya kondisi pasar tenaga kerja.
Meskipun ada pelambatan pada beberapa sektor, perekonomian domestik Indonesia masih menunjukkan ketahanan yang baik, tercermin dari kinerja sektor perbankan. Kredit yang disalurkan oleh bank umum tercatat tumbuh 12,36 persen (yoy), meningkat signifikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tercatat 7,76 persen (yoy). Peningkatan ini terutama dipicu oleh permintaan yang kuat dari segmen korporasi, didorong oleh kinerja penjualan yang solid dan kapasitas bayar yang cukup baik. Dana Pihak Ketiga (DPK) juga menunjukkan pertumbuhan yang positif, yaitu 8,45 persen (yoy), jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu yang hanya 5,79 persen (yoy).
Likuiditas perbankan pun terjaga dengan baik, tercermin dari rasio AL/NCD dan AL/DPK masing-masing sebesar 112,33 persen dan 25,37 persen—kedua rasio ini jauh melampaui ambang batas minimal yang ditetapkan, yakni 50 persen dan 10 persen. Rasio permodalan perbankan juga tetap solid, dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) sebesar 26,09 persen, meskipun sedikit mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam hal risiko kredit, rasio Non-Performing Loan (NPL) tercatat meningkat sedikit menjadi 2,26 persen (gross) dan 0,78 persen (net). Meskipun demikian, tren membaiknya kualitas kredit tetap terlihat. Kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) juga relatif positif, meskipun pertumbuhan kredit/pembiayaan dan DPK mengalami pelambatan dibandingkan tahun sebelumnya. Rasio CAR BPR dan BPRS tercatat masing-masing sebesar 31,75 persen dan 23,09 persen, menunjukkan ketahanan modal yang baik di kedua sektor ini.
Ke depan, risiko-risiko yang perlu diwaspadai oleh sektor perbankan antara lain adalah risiko pasar dan risiko likuiditas, mengingat ketidakpastian global yang masih tinggi, seperti fluktuasi suku bunga, perkembangan ekonomi Tiongkok, dan eskalasi ketegangan geopolitik. OJK juga mengingatkan agar restrukturisasi kredit yang dilakukan oleh bank diperhatikan dengan seksama, untuk menghindari penurunan kualitas kredit yang berpotensi meningkat.
Sebagai langkah preventif, OJK terus mendorong perbankan untuk memperkuat permodalan dan menjaga kecukupan pencadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang memadai. OJK juga meminta bank untuk rutin melakukan uji ketahanan (stress test) untuk menilai daya serapnya terhadap potensi penurunan kualitas kredit restrukturisasi.
Dalam hal penguatan regulasi, OJK telah menerbitkan ketentuan baru terkait Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah, yang merupakan penyempurnaan dari tiga peraturan sebelumnya. OJK juga aktif berkoordinasi dengan Pemerintah dan lembaga terkait untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Selain itu, OJK berperan aktif dalam forum internasional seperti Basel Committee on Banking Supervision (BCBS), Working Committee-ASEAN Banking Integration Framework (WC-ABIF), dan Financial Sector Assessment Program (FSAP) Review Indonesia 2023/2024, yang bertujuan untuk menganalisis sektor keuangan Indonesia secara komprehensif.
Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, menegaskan bahwa pihaknya terus memantau dampak volatilitas ekonomi global terhadap perekonomian domestik serta sektor perbankan Indonesia. Pengawasan yang ketat dan berkelanjutan diharapkan dapat menjaga stabilitas sistem keuangan dan perbankan Indonesia untuk tahun-tahun mendatang. OJK juga mengimbau bank-bank untuk selalu mengutamakan prinsip kehati-hatian, profesionalisme, inovasi, dan integritas dalam meraih pertumbuhan yang sehat dan berkelanjutan.