KABARBURSA.COM - Pemerintah lewat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa pinjaman sebesar 500 juta dolar AS (sekitar Rp7,55 triliun) dari Bank Pembangunan Asia (ADB) akan digunakan untuk mempercepat transisi energi di Indonesia, termasuk program pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Salah satu tujuan utama dari pinjaman ini adalah untuk mendukung percepatan penghentian pengoperasian PLTU guna mengurangi emisi karbon dan mendukung komitmen Indonesia dalam transisi ke energi bersih. Meski demikian, Airlangga menegaskan bahwa ada mekanisme yang perlu didalami terkait implementasi program ini. Seperti pernyataannya di Jakarta, Selasa 24 September 2024.
Ia juga menyebut bahwa bunga pinjaman dari ADB umumnya lebih rendah, meskipun perlu dicek kembali besaran bunga yang berlaku.
Program pensiun dini PLTU menghadapi tantangan besar terkait biaya yang diperlukan. Berdasarkan kajian dari Institute for Essential Services Reform (IESR), diperkirakan biaya untuk memensiunkan PLTU hingga tahun 2030 mencapai 4,6 miliar dolar AS, dan hingga tahun 2050 mencapai 27,5 miliar dolar AS.
Sejalan dengan rencana ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengidentifikasi 13 PLTU batu bara yang masuk dalam daftar untuk pensiun dini. Daftar ini disusun berdasarkan hasil studi internal bersama Institut Teknologi Bandung (ITB) dan United Nations Office for Project Services (UNOPS). Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa studi tersebut telah mengidentifikasi PLTU di luar wilayah Cirebon yang akan ditargetkan untuk program pensiun dini.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk mempercepat transisi energi dan mencapai target net zero emission pada tahun 2060.
Bank Pembangunan Asia (ADB) telah menyetujui pinjaman berbasis kebijakan senilai USD500 juta untuk Indonesia guna mendanai program transisi energi. Indonesia yang kini menargetkan nol emisi karbon pada 2060, tengah berupaya mengurangi penggunaan batu bara dengan dukungan keuangan dari Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP) yang dipimpin oleh negara-negara G7.
ADB menyoroti ketergantungan Indonesia pada batu bara dan menyebut program ini berfokus pada pembentukan kerangka kebijakan dan regulasi yang kuat untuk transisi energi bersih, memperkuat tata kelola sektor, dan keberlanjutan keuangan.
“Indonesia berada di titik kritis dalam perjalanan transisi energi,” kata Direktur Negara ADB untuk Indonesia, Jiro Tominaga, dikutip dari Reuters, Sabtu, 21 September 2024.
Ia menambahkan, pinjaman ini mendukung upaya Indonesia untuk mempercepat peralihannya menuju energi yang berkelanjutan dan bersih. ADB menjelaskan pinjaman ini dimaksudkan untuk mendukung pengembangan kebijakan sektor, bukan hanya satu proyek atau lingkup tertentu.
Program ini, menurut ADB, mencakup pengembangan rencana investasi dan kebijakan yang didukung oleh JETP, serta peningkatan kapasitas energi terbarukan. Mitra pendanaan bersama untuk program ini termasuk badan pengembangan Prancis, Agence Française de Développement (AFD), dan lembaga keuangan negara Jerman, KfW.
Dana senilai USD20 miliar telah dijanjikan dalam rencana JETP untuk Indonesia guna membatasi emisi di sektor listrik pada 290 juta metrik ton karbon pada 2030. Namun, pencairan dana berjalan lambat.
Ketika ditanya soal lambannya implementasi JETP, Menteri Pembangunan Inggris, Anneliese Dodds, mengatakan kepada Reuters pekan ini bahwa JETP adalah kemitraan jangka panjang yang membutuhkan perubahan besar dalam infrastruktur.
“Ini tidak akan terjadi dalam semalam,” ujarnya. “Inggris benar-benar bekerja untuk memperbarui pendekatan itu, sehingga kita dapat bersama-sama fokus pada pertumbuhan hijau dan pembangunan ekonomi.”
Dodds mengimbuhkan, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi penyerap karbon bagi kawasan ini. Inggris pun berencana bekerja sama dengan mitra JETP lainnya untuk mempercepat upaya seperti pengentasan kemiskinan dan penanggulangan deforestasi.
Kurang Niat Transisi Energi
Meskipun dukungan keuangan dari lembaga internasional seperti ADB terus mengalir untuk mempercepat transisi energi di Indonesia, masalah alokasi anggaran dalam negeri masih menjadi sorotan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tetap menghadapi tantangan dalam mempercepat pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Anggaran yang dialokasikan untuk sektor EBT dinilai masih jauh di bawah kebutuhan, memicu pertanyaan mengenai komitmen pemerintah dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Mengacu pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 Kementerian ESDM, tercatat masing-masing pagu anggaran Direktorat Jenderal (Dirjen) dengan rincian Minyak dan Gas (Migas) sebesar Rp4,8 triliun, Ketenagalistrikan Rp550 miliar, Mineral dan Batu Bara (Minerba) Rp713 miliar hingga Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rp657 miliar.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mempertanyakan niat transisi energi yang kerap digaungkan pemerintah. Apalagi, pagu anggaran sektor EBTKE jauh di bawah Migas.
“Kalau anggaran Ditjen EBTKE terlalu kecil jadi pertanyaan, sebenarnya serius tidak pemerintah lakukan transisi energi?” kata Bhima kepada KabarBursa.com, Minggu, 15 September 2024.
Bhima menegaskan, alokasi anggaran Dirjen EBTKE penting untuk mendorong pengembangan EBT berbasis komunitas di seluruh wilayah Indonesia. Untuk mendukung hal tersebut, dia menilai perlu biaya untuk mendorong infrastruktur, teknologi, hingga pelatihan teknisi.
Bhima menilai, sektor dengan produksi rendah mestinya tidak diberi anggaran besar, sebagaimana alokasi Dirjen Migas. Baiknya, anggaran sektor Migas dipangkas untuk memacu pengembangan EBT.
“Sekarang lifting minyak kan terus turun bahkan cuma dapat 580 ribu barrel per hari. Sektor yang sedang turun jangan dikasih anggaran terlalu banyak, kecuali soal pengawasan. Sementara sektor ebt butuh komitmen anggaran lebih besar,” jelasnya.
Bhima khawatir, minimnya anggaran EBTKE akan mempengaruhi minat investor. Alokasi anggaran yang minim, kata dia, seolah menandakan ketidakberpihakan pemerintah terhadap transisi energi.(*)