KABARBURSA.COM - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada tahun 2024, jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 17,13 persen atau sekitar 46,85 juta orang dari total populasi penduduk.
Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan tahun 2019, di mana proporsi kelas menengah mencapai 21,45 persen atau 57,33 juta jiwa. Selanjutnya, pada tahun 2021, angka tersebut kembali menurun menjadi 19,82 persen atau 53,83 juta penduduk.
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyatakan bahwa banyak anggota kelas menengah kini telah terperosok ke tingkat yang lebih rendah, menuju kategori rentan miskin.
“Beberapa orang mengalami penurunan satu tingkat, sementara yang lain bahkan dua tingkat. Tingkatan terendah adalah miskin, diikuti oleh rentan miskin, dan kemudian menuju kelas menengah,” kata Tauhid, Minggu, 6 Oktober 2024.
Sementara itu, data BPS menunjukkan bahwa ketika jumlah kelas menengah mengalami penurunan, populasi yang berada pada kategori menuju kelas menengah dan rentan miskin justru mengalami peningkatan.
Pada tahun 2019, jumlah orang yang berada dalam kategori rentan miskin tercatat sebanyak 54,97 juta atau 20,56 persen. Angka tersebut meningkat pada tahun 2021 menjadi 21,47 persen atau 58,32 juta orang, dan pada tahun 2024 menjadi 24,23 persen dengan total 67,69 juta orang.
Selain itu, jumlah penduduk yang masuk ke kategori menuju kelas menengah pada tahun 2019 memiliki proporsi 48,20 persen atau sekitar 128,85 juta orang. Pada tahun 2021, angka ini sedikit meningkat menjadi 48,17 persen atau 130,8 juta orang, dan pada tahun 2024 menjadi 49,22 persen atau 137,5 juta orang.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, bahwa pengeluaran terbesar dari kelas menengah adalah untuk makanan, yang mencapai 41,67 persen dari total pengeluaran. Sementara itu, pengeluaran terbesar kedua adalah untuk perumahan sebesar 28,5 persen, dan hiburan hanya sebesar 0,38 persen.
Pengeluaran untuk kelas menengah berkisar antara Rp1,9 juta hingga Rp9,3 juta per bulan untuk masing-masing individu. Sementara itu, untuk kelas menengah bawah, pengeluaran berkisar antara Rp825.000 hingga Rp1,9 juta, dan untuk kategori rentan miskin, antara Rp550.000 hingga Rp825.000 per bulan.
Menurut data BPS, dalam sepuluh tahun terakhir, yaitu dari tahun 2014 hingga 2024, proporsi pengeluaran untuk makanan menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Untuk kelas menengah, proporsi pengeluaran untuk makanan pada tahun ini adalah 41,67 persen. Sebaliknya, proporsi pengeluaran untuk hiburan mengalami penurunan menjadi 28,52 persen pada tahun 2024, dibandingkan dengan 34,36 persen pada tahun 2014.
Selain itu, pengeluaran untuk kendaraan juga menurun dari 7,27 persen pada tahun 2014 menjadi 3,99 persen pada tahun 2024.
Jika dibandingkan dengan pengeluaran kelas atas, proporsi untuk makanan dan kendaraan hampir setara. Misalnya, pengeluaran untuk makanan pada tahun ini tercatat sebesar 26,24 persen, sedangkan untuk kendaraan mencapai 15,29 persen.
Di sisi lain, pengeluaran untuk pakaian meningkat signifikan dari 8,44 persen pada tahun 2014 menjadi 18,54 persen pada tahun ini. Kenaikan lainnya terlihat pada pengeluaran untuk barang dan jasa lainnya, yang meningkat dari 4,74 persen pada tahun 2014 menjadi 11,26 persen pada tahun 2024.
Penyebab Menurunnya Jumlah Kelas Menengah di RI
Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan penyebab menurunnya jumlah kelas menengah di Indonesia.
Dia menyebut penurunan jumlah kelas menengah karena tertekan oleh kenaikan harga atau inflasi yang sempat tinggi.
“Penurunan kelas menengah biasanya karena inflasi. Dengan inflasi tinggi, maka garis kemiskinan naik, mereka tiba-tiba akan jatuh ke bawah,” kata Sri Mulyani saat ditemui di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Kamis, 4 Oktober 2024.
Meski begitu, lanjut Sri Mulyani, ada juga dari kelompok miskin yang naik menjadi kelompok menuju kelas menengah atau aspiring middle class.
“Jadi dalam hal ini kita melihat adanya dua indikator, yang miskin naik, tapi yang kelas menengah turun,” ujarnya.
Namun, Sri Mulyani, tidak menyebutkan secara rinci berapa jumlah atau persentase kelas menengah yang turun dan berapa jumlah kelas miskin yang naik menuju kelas menengah.
Dirinya melihat, kondisi ekonomi saat ini telah mengalami transformasi. Meski banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di suatu sektor, tapi banyak juga lowongan kerja terbuka di sektor lainnya.
“Menurut statistik, 11 juta lebih dalam kurun waktu tiga tahun terakhir angkatan kerja baru atau lapangan kerja baru terbuka, tapi ada PHK. Jadi ini semuanya harus dilihat secara keseluruhan,” ujarnya.
“Kalau sekarang banyak FDI pada area hilirisasi, itu mungkin area yang job creation-nya berbeda dengan area di mana labour intensive seperti alas kaki, tekstil, garmen, yang dulu memang menjadi area penciptaan kesempatan kerja. Another think munculnya kesempatan kerja baru karena sektor digital,” jelas Sri Mulyani menambahkan.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono mengatakan masalah penurunan kelas menengah akan menjadi pekerjaan rumah (PR)=besar pemerintahan mendatang. Katanya, sampai saat ini pemerintah terus mencermati fenomena ini.
“Ini memang menjadi suatu hal yang harus benar-benar dicermati. Saya rasa ini menjadi PR pemerintahan Pak Prabowo. Utamanya bagaimana kita mencari solusi jangka panjang untuk kembali ke level pra pandemi,” kata Thomas dalam acara Media Gathering di Anyer, Banten, Kamis, 26 September 2024.
Menurut Tommy, panggilan akrab keponakan Prabowo ini, fenomena merosotnya kelas menengah tidak terlepas dari dampak pandemi COVID-19 yang menyebabkan peningkatan angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Saya mau menggarisbawahi bahwa tantangan yang dihadapi kelas menengah bukan karena kebijakan yang kurang, kita harus melihat ini dari konteks pandemi,” ujarnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.