Logo
>

Penyaluran Kredit Baru Melambat pada Triwulan I 2025

Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso mengatakan hal ini tecermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) penyaluran kredit baru triwulan I 2025 sebesar 55,07 persen.

Ditulis oleh Hutama Prayoga
Penyaluran Kredit Baru Melambat pada Triwulan I 2025
Logo Bank Indonesia. Foto: Abbas/KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Hasil Survei Perbankan Bank Indonesia (BI) melaporkan penyaluran kredit baru terindikasi tetap tumbuh pada triwulan I 2025. Meski begitu, penyarulan kredit terbilang melambat dibanding triwulan IV 2024.

    Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso mengatakan hal ini tecermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) penyaluran kredit baru triwulan I 2025 sebesar 55,07 persen. 

    "Pertumbuhan penyaluran kredit baru tersebut didorong oleh seluruh jenis kredit," ujarnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin, 28 April 2025.

    Ramdan menyebut pihaknya memprediksi pada triwulan II 2025 penyaluran kredit baru diprakirakan meningkat dengan SBT prakiraan penyaluran kredit baru sebesar 81,99 persen. 

    Menurutnya, standar penyaluran kredit pada triwulan I 2025 diindikasikan lebih longgar dibandingkan triwulan IV 2024, tecermin dari Indeks Lending Standard (ILS) negatif sebesar 1,32. 

    "Kebijakan penyaluran kredit diindikasikan lebih longgar, antara lain pada aspek agunan. Ke depan, pelonggaran standar penyaluran kredit diprakirakan berlanjut pada triwulan II 2025, dengan ILS negatif sebesar 1,39," jelasnya. 

    Ramdan melanjutkan, aspek kebijakan penyaluran kredit juga diprakirakan lebih longgar, antara lain berasal dari suku bunga kredit dan persyaratan administrasi.

    Hasil survei menunjukkan, dikatakan Ramdan, responden memprakirakan outstanding kredit sampai dengan akhir tahun 2025 terus tumbuh.

    "Kondisi tersebut antara lain didorong oleh prospek kondisi moneter dan pertumbuhan ekonomi yang tetap baik, serta relatif terjaganya risiko dalam penyaluran kredit," pungkasnya. 

    BI Suntik Likuiditas Ratusan Triliun

    Di tengah tekanan global yang belum juga reda, BI menggelontorkan ratusan triliun rupiah ke sistem perbankan. Bukan tanpa alasan, langkah ini diambil untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional yang dikhawatirkan tersendat.

    Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa bank sentral kini mengandalkan pelonggaran kebijakan makroprudensial sebagai tumpuan utama. Lewat skema insentif likuiditas, BI berharap bank-bank lebih leluasa menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor prioritas.

    “Insentif likuiditas makroprudensial ditingkatkan dari paling besar 4 persen menjadi sampai dengan 5 persen dari dana pihak ketiga. Hingga minggu ke-2 April 2025 Bank Indonesia telah memberikan insentif kebijakan likuiditas makroprudensial dengan jumlah sebesar Rp370,6 triliun. Jumlah itu meningkat sebesar Rp78,3 triliun dari minggu ke-4 Maret 2025 yang sebesar Rp292,3 triliun,” kata Perry dalam konferensi pers KSSK di Jakarta, Kamis, 24 April 2025.

    Salah satu fokus utama pelonggaran ini adalah sektor perumahan, yang menurut BI perlu dorongan ekstra. Namun, kebijakan ini juga sekaligus membuka pertanyaan: apakah dorongan moneter saja cukup ketika problem struktural di sektor perumahan masih menumpuk?

    “Khusus sektor perumahan, insentif kebijakan likuiditas makroprudensial meningkat sebesar Rp84 triliun dari minggu ke-4 Maret 2025 seiring dengan implementasi penguatan kebijakan likuiditas makroprudensial pada 1 April 2025,” jelas Perry.

    Insentif yang diberikan BI disebar ke berbagai kelompok bank: bank BUMN menerima Rp161,7 triliun, bank swasta nasional Rp167,4 triliun, Bank Pembangunan Daerah Rp35,7 triliun, dan bank asing Rp5,8 triliun. Tapi publik patut bertanya: bagaimana efektivitas distribusi ini dalam mendorong ekonomi riil?

    Sektor yang jadi target antara lain pertanian, real estate, perdagangan, manufaktur, transportasi, ekonomi kreatif, hingga UMKM ultra mikro. Tapi tak sedikit yang menilai kebijakan ini belum cukup menjawab persoalan ketimpangan distribusi kredit dan pembiayaan yang masih timpang di lapangan.

    Dari sisi aturan, BI juga melonggarkan sejumlah rasio penting. Pendekatannya sangat permisif, dengan rasio penyangga modal 0 persen, uang muka properti dan kendaraan bermotor 0 persen, hingga kelonggaran intermediasi kredit.

    “Kedua, di bidang kebijakan makroprudensial Bank Indonesia juga mempertahankan rasio countercyclical capital buffer sebesar 0 persen, rasio intermediasi makroprudensial (RIM) pada kisaran 84–94 persen, rasio loan to value financing to value ratio atau yang sering disebut kebijakan uang muka, kredit pembiayaan properti yaitu tetap uang mukanya 0 persen, dan uang muka kredit pembiayaan kendaraan bermotor 0 persen,” papar Perry.

    “Pemberlakunya diperpanjang efektif 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2025 dan pada waktunya kami akan tetap review terus,” imbuhnya.

    Kelonggaran ini diperkuat dengan rasio penyangga likuiditas (PLM) tetap di angka 5 persen, serta versi syariahnya di angka 3,5 persen. Fleksibilitas diberikan lewat mekanisme repo dan RIPO.

    BI juga mulai melirik pendanaan dari luar negeri sebagai alternatif sumber likuiditas. Tapi ini juga mengandung risiko baru, terutama di tengah volatilitas global dan ketergantungan terhadap modal asing.

    “Dengan implementasi kebijakan ini, pendanaan perbankan dapat diperluas tidak hanya pada dana pihak ketiga, tetapi juga sumber-sumber lain termasuk penerbitan sekuritas maupun dari pinjaman luar negeri,” kata Perry.

    Tak berhenti di sana, BI turut memperluas transparansi data suku bunga kredit dasar (SPDK) berdasarkan sektor prioritas. Namun, sejauh mana kebijakan ini berdampak langsung pada penurunan suku bunga kredit bagi pelaku usaha kecil, masih belum terlihat jelas.

    Di bidang sistem pembayaran, BI juga terus mendorong digitalisasi. Salah satu gebrakannya adalah peluncuran QRIS Tap yang diklaim akan memudahkan transaksi digital. Tapi tetap saja, keberhasilan digitalisasi belum tentu menyentuh sektor informal yang minim akses teknologi.

    “Dalam mendukung layanan publik dan transaksi retail secara digital, Bank Indonesia meluncurkan QRIS tanpa pindai, QRIS Tap pada 14 Maret 2025 sebagai perluasan alternatif pembayaran yang cepat mudah murah aman dan andal bagi masyarakat,” terang Perry.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Hutama Prayoga

    Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

    Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.