KABARBURSA.COM – Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menegaskan pentingnya konsistensi sinyal kebijakan fiskal dan moneter untuk menjaga stabilitas rupiah di tengah penguatan dolar AS dan gejolak pasar global. Ia menilai instrumen Bank Indonesia (BI) dan pemerintah sudah memadai, tetapi koordinasi dan komunikasi perlu diperkuat agar ekspektasi pasar terkendali.
Dalam laporan Reuters pekan terakhir hingga 28 September 2025, BI menegaskan penggunaan seluruh instrumen stabilisasi nilai tukar—mulai intervensi spot, Non Deliverable Forward (NDF) onshore atau offshore, hingga pembelian Surat Berharga Negara (SBN). Rupiah sempat menyentuh Rp16.762–16.790 per USD, melemah lebih dari 3 persen secara year-to-date.
Di sisi bantalan eksternal, cadangan devisa Agustus tercatat USD150,7 miliar, turun dari Juli karena pembayaran utang pemerintah dan langkah stabilisasi, namun masih jauh di atas standar kecukupan internasional. Dari sisi fiskal, defisit APBN Januari hingga Agustus mencapai 1,35 persen PDB atau Rp321,6 triliun dengan penerimaan turun 7,8 persen (yoy) dan belanja naik 1,5 persen (yoy).
Pada ranah perbankan, empat bank BUMN mengumumkan bunga deposito USD 4 persen efektif 5 November, meski Menteri Keuangan menyatakan tidak ada instruksi pemerintah dan menyarankan evaluasi kebijakan tersebut.
Syafruddin menyoroti pula penurunan BI-Rate 25 bps ke 4,75 persen pada 16 hingga 17 September sebagai sinyal pelonggaran terukur dengan fokus stabilitas nilai tukar. Menurutnya, langkah ini menunjukkan BI tetap berhati-hati di tengah tekanan global, sembari menjaga ruang pertumbuhan domestik.
“Instrumen kita tidak kurang, yang perlu diperkuat adalah koherensi sinyal,” ujar Syafruddin pada Senin, 29 September 2025.
Ia merekomendasikan agar pemerintah dan BI menerapkan pola announce-and-execute, mengumumkan kebijakan hanya saat siap dijalankan sehingga pasar tidak menunda konversi. Selain itu, joint statement antara Menkeu, BI, dan OJK dianggap penting agar publik mendengar satu suara mengenai prioritas stabilisasi.
Syafruddin juga menilai perlu ada guardrails pada penempatan kas pemerintah agar likuiditas benar-benar mengalir ke kredit produktif rupiah. Produk USD bank BUMN sebaiknya difokuskan pada kebutuhan lindung nilai korporasi dengan underlying jelas. “Perlu dorongan DNDF onshore untuk memperdalam likuiditas lindung nilai domestik, mempersempit basis NDF, dan menurunkan biaya intervensi,” lanjutnya.
Lebih jauh, ia menyarankan pengukuran keberhasilan kebijakan tidak hanya pada kurs nominal, tetapi juga pada menyusutnya volatilitas, normalisasi premi risiko, dan kembalinya minat investor pada SBN. Bila hal itu bergerak serentak, ekspektasi pasar berbalik konstruktif, kredibilitas kebijakan menguat, dan rupiah memperoleh ruang bernapas lebih panjang.
“Pasar tidak butuh retorika, yang dibutuhkan adalah disiplin eksekusi yang konsisten,” kata Syafruddin.
Dengan koordinasi fiskal–moneter yang solid, rupiah diyakini mampu bertahan menghadapi gejolak eksternal. Indonesia juga berpeluang menjaga momentum pemulihan ekonomi domestik meski tekanan global terus berlanjut.(*)