KABARBURSA.COM - Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Oktober 2024 berada pada posisi kontraksi dengan level yang sama dengan bulan sebelumnya, yaitu 49,2. S&P Global menyebut, PMI manufaktur 2024 dipengaruhi oleh penurunan output dan pesanan baru.
Adapun bulan Oktober ini menandai periode penurunan output dan pesanan di industri manufaktur yang terjadi sejak empat bulan terakhir. Sedangkan merosotnya PMI Oktober disinyalir akibat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif, menilai kontraksi PMI manufaktur Indonesia akan terus berlanjut selama tidak ada kebijakan yang signifikan untuk mendukung sektor manufaktur dan melindungi pasar dalam negeri, seperti revisi Peraturan Menteri Perdagangan No 8/2024.
“PMI Indonesia bulan Oktober 2024 oleh S&P Global merupakan bukti konkrit dampak dari Permendag 8/2024,” ujar Febri dalam keterangan tertulisnya, dikutip Minggu, 3 November 2024.
Febri menyebut, Permendag No 8/2024 menjadi salah satu penyebab merosotnya kinerja manufaktur lantaran pasar domestik Indonesia dibanjiri oleh produk jadi impor. Hal itu mudah terjadi lantaran Permendag No 8/2024 tidak memuat aturan penerbitan Persetujuan Teknis (Pertek) dari Kementerian Perindustrian untuk produk pakaian jadi.
Dari 518 kode HS kelompok komoditas yang direlaksasi impornya dalam kebijakan tersebut, Febri menyebut sekitar 88,42 persen atau 458 komoditas merupakan kode HS barang jadi yang sudah bisa diproduksi oleh industri dalam negeri. Dia menyebut, Permendag No. 8/2024 telah membuka pintu seluas-luasnya bagi produk jadi impor dan telah membanjiri pasar Indonesia.
“Jadi, kami mempertanyakan pernyataan Menteri Perdagangan bahwa Permendag No. 8/2024 bertujuan melindungi industri dalam negeri, terutama industri tekstil. Fakta yang terjadi justru sebaliknya," tegas Febri.
"Permendag No. 8/2024 tidak mensyaratkan Pertek atau rekomendasi untuk mengimpor barang jadi ke pasar domestik Indonesia. Akibatnya, semua produk TPT, terutama produk jadi, dibukakan pintu impor seluas-luasnya oleh kebijakan tersebut,” sambungnya.
Kendati begitu, Febri menegaskan, Kemenperin tidak bisa bertindak sendiri dalam menjaga iklim yang kondusif bagi industri dalam negeri agar terus tumbuh dan menjadi tulang punggung untuk pencapai target pertumbuhan ekonomi 7-8 persen yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto.
Pasalnya, Febri menyebut kebijakan Kementerian/Lembaga lain sangat menentukan kinerja manufaktur. Karenanya, dia meminta stakeholder pemerintah terkait untuk bisa menurunkan ego sektoralnya demi keberlanjutan nasib industri manufaktur.
“Kami meminta pada Kementerian/Lembaga lain untuk menurunkan ego sektoral masing-masing dalam rangka melindungi industri manufaktur dalam negeri. Kemenperin sudah meng-exercise semua tugas Pokok dan Fungsi kami sebagai Pembina Industri demi mendongkrak pertumbuhan industri, guna mencapai pertumbuhan ekonomi 7-8 persen," tegasnya.
Adapun salah satu kebijakan dari kementerian dan lembaga lain yang juga dibutuhkan dan mendesak saat ini oleh Kemenperin dan industri adalah pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) pakaian jadi. Sebelumnya, Kemenperin sudah mengusulkan BMTP pakaian jadi dan dibahas di Bandung beberapa waktu lalu.
“Namun Kementerian/Lembaga terkait masih menolak usulan tersebut. Sektor industri benar-benar membutuhkan perlindungan pada pasar produk jadi atau produk hilir. Sehingga perlu segera ada tindakan nyata agar industri manufaktur bisa bertahan,” pungkasnya.
Sritex dan Runtuhnya Manufaktur RI
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Charles Meikyansah, mendukung upaya pemerintah dalam menyusun kebijakan perlindungan bagi industri tekstil. Hal itu dia ungkap menyusul nasib pahit PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang dinyatakan pailit.
Charles menilai, status pailit terhadap Sritex bisa berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Apalagi dengan adanya potensi massal badai pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap puluhan ribu karyawan Sritex.
“Kita mendukung upaya Pemerintah yang sekarang tengah berjibaku berusaha memberi penyelamatan untuk Sritex. Karena kalau Sritex sampai bangkrut, pastinya bisa berpengaruh terhadap perekonomian nasional,” kata Charles dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 1 November 2024.
Untuk itu, Charles menyebut DPR siap bekerja sama dengan Pemerintah untuk menyelamatkan Sritex yang merupakan perusahan tekstil terbesar se-Asia Tenggara itu. “Negara perlu membantu Sritex dengan tujuan agar tidak ada PHK massal kepada para karyawannya. Dan tentunya juga agar industri tekstil kita tidak terdampak,” tuturnya.
Charles pun mendukung upaya Pemerintah yang menyiapkan berbagai langkah penyelamatan untuk Sritex. Mulai dari kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atau safeguard. Dia menilai, kebijakan tersebut tidak hanya menyelamatkan Sritex, melainkan juga industri tekstil secara keseluruhan.
Di sisi lain, Charles juga mendorong Pemerintah untuk menciptakan terobosan agar industri tekstil dalam negeri kembali lagi pada masa kejayaannya. “Karena kita tahu beberapa waktu belakangan banyak perusahaan tekstil dan garmen yang kesulitan karena beberapa faktor,” jelasnya.
Salah satu faktor yang membuat industri tekstil Indonesia lesu, tutur Charles, karena membanjirnya barang impor dengan harga kompetitif atau murah. Dia menyebut, industri tekstil lokal menjadi kalah saing hingga membuat beberapa perusahaan gulung tikar atau melakukan efisiensi dengan pengurangan karyawan sehingga terjadi badai PHK di industri tekstil serta garmen.
Dia berharap Pemerintah memberi kebijakan stimulus bagi para pelaku usaha tekstil. Sebab, kata Charles, industri tekstil juga banyak menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. “Industri tekstil ini kan industri padat karya yang menyerap jutaan tenaga kerja dan berkontribusi besar terhadap PDB (produk domestik bruto),” paparnya.
Charles menyatakan, DPR siap mengawal kebijakan-kebijakan yang mendukung daya saing industri domestik seperti industri tekstil ini. Misalnya dengan pengetatan impor dan insentif bagi produksi lokal. Terkait hal ini, pengusaha menilai salah satu penyebab banjirnya barang impor adalah karena ada Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan pengaturan impor. Pihak pengusaha berharap Pemerintah bisa merevisi aturan ini.
“Pada intinya kita ingin agar industri di dalam negeri, termasuk industri tekstil dapat dijaga dari persaingan tidak sehat. Jadi memang harus ada intervensi yang mendukung dan menjaga iklim industri di Indonesia,” tutup Charles.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.