KABARBURSA.COM - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri menyarankan agar Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, melakukan perombakan kebijakan tax holiday atau intensif pajak.
Menurut Faisal, bahwa kebijakan tax holiday selama ini seolah-olah tidak memberikan keuntungan bagi negara. Sebagai contoh, dia mengungkapkan bahwa pemerintah pernah memberikan insentif pajak kepada perusahaan smelter nikel asal China.
“Yang bangun (smelter) di Indonesia harus kasih negara dong,” kata Faisal Basri dalam sebuah diskusi bertema ‘Reviu RAPBN 2025: Ngegas Utang’ di Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024.
Kata dia lagi, bijih nikel yang diolah menjadi feronikel tersebut hampir 100 persen diekspor kembali ke China. Menurut Faisal, hal ini membuat negara tidak mendapatkan keuntungan yang signifikan dari kebijakan tersebut.
“Kita enggak dapat apa-apa, kita minus,” ujarnya.
Lanjut Faisal Basri, kebijakan tax holiday sebenarnya bertujuan untuk menarik investor membangun pabrik di Indonesia. Dengan begitu harus ada perhitungan yang jelas dalam memberikan insentif pajak ini.
“Ada dong hitungannya, insentif pajak dikasih 10 tapi nanti nilai tambahnya 20, jadi netto-nya positif. That’s tax holiday yang benar,” ucap Faisal.
Dia menekankan, tax holiday seharusnya lebih tepat ditujukan kepada industri manufaktur, bukan industri pertambangan atau sumber daya alam.
“Tax holiday biasanya diberikan kepada industri manufaktur. Ini industri tambangnya ada di sini kok dikasih tak holiday,” tukasnya.
Menurut Faisal Basri, investor pasti akan datang dengan sendirinya jika Indonesia memiliki sumber daya seperti nikel. “Karena itu tax holiday tujuannya untuk pancingan, kalau enggak dikasih tax holiday itu, investor enggak datang,” imbuhnya.
Anggaran Belanja Lain-lain Disoroti
Faisal Basri kemudian menyoroti alokasi anggaran Pemerintah Pusat untuk belanja “lain-lain” senilai Rp631,8 triliun atau 23,5 persen dari total belanja APBN 2025.
Dia menyebutkan, alokasi belanja jenis ini menjadi yang tertinggi dari alokasi anggaran tujuh sektor belanja lainnya.
“Pembayaran bunga utang senilai Rp552.854,3 triliun, belanja pegawai Rp513.229,5 triliun, belanja barang Rp342.610,4 triliun, subsidi Rp309.052,1 triliun, belanja modal Rp190.637,5 triliun, bantuan sosial Rp120.035,2 triliun, dan belanja hibah Rp202,7 triliun,” papar Faisal Basri.
“Pengeluaran lain-lain itu sudah ciri khas era Jokowi, bukan hanya rancangan. Karena realisasinya begitu, Terlihat selama 10 tahun,” ujar Faisal Basri.
Berdasarkan catatannya, alokasi belanja lain-lain setiap tahun cenderung meningkat. Tercatat pada 2021, alokasi belanja lain-lain sebesar 4,0 persen dari total belanja APBN. Dan, naik menjadi 17,7 persen pada tahun 2022.
“Kemudian alokasi belanja lain-lain pada 2023 turun menjadi 10 persendari total belanja APBN. Namun kembali naik menjadi 13,9 persen pada tahun 2024,” paparnya.
Masalahnya, kata Faisal Basri, belanja lain-lain tersebut bisa digunakan untuk apa saja oleh Pemerintah Pusat tanpa persetujuan DPR. Oleh sebab itu, potensi penyalahgunaan anggaran menjadi semakin besar.
“Oleh karena itu, besarnya anggaran belanja lain-lain tidak hanya untuk menciptakan fleksibelitas, tapi dijadikan ruang untuk suka-suka,” ungkap Faisal.
Kembali dia melanjutkan, merujuk pada data, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) kerap menaikkan alokasi anggaran untuk belanja lain-lain dari tahun ke tahun.
Pada 2014 atau tahun pertama berkuasa, Jokowi mengalokasikan anggaran belanja lain-lain sebesar Rp11,7 triliun dari APBN, namun pada 2024 atau tahun terakhir berkuasa, Jokowi mengalokasikan anggaran belanja lain-lain dalam outlook senilai Rp355,4 triliun.
“Terjadi peningkatan sebesar 2.950,4 persen alokasi anggaran belanja lain-lain selama 2014 hingga 2024,” jelasnya.
Faisal menduga, belanja lain-lain itu digunakan untuk membayar utang maupun beban utang pemerintah. Pasalnya, pengambil kebijakan tidak pernah mengungkap tujuan dan penggunaan dana dari pos belanja lain-lain tersebut.
“Jadi memang disembunyikan, seolah-olah subsidi mengecil, APBN makin sehat. Dimasukkan ke lain-lain itu supaya fleksibel. Padahal nyatanya ini tidak sehat. Ini akuntabilitas terganggu,” pungkas Faisal Basri.
Indonesia Sulit Kurangi Utang
Sebelumnya, Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Didik J Rachbini menyakini Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan sulit mengurangi beban utang pemerintah Indonesia.
Awalnya, Didik menyoroti Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Sejumlah aspek menjadi perhatian Didik, salah satunya menyangkut defisit yang terus berlanjut dan terus meningkat.
Kata dia, defisit anggaran RAPBN 2025 yang direncanakan sebesar Rp616,2 triliun, seperti tahun-tahun sebelumnya, sangat besar dan akan ditambah dengan utang.
“Selama 10 tahun masa pemerintahan (Jokowi) ini, kebijakan utang ugal-ugalan, sehingga warisannya akan terbawa pada masa pemerintahan Prabowo,” kata Didik secara tertulis, Sabtu, 17 Agustus 2024.
Apalagi, lanjut Didik, dengan janji politik yang banyak sekali, sulit bagi pemerintahan ke depan dapat mengurangi ketergantungan pada utang dengan mengoptimalkan penerimaan negara. Sehingga laju penerbitan surat utang negara akan terus meningkat dan merusak iklim makro karena suku bunga akan didorong naik terus.
Sampai pertengahan Tahun 2024 ini telah ditawarkan setidaknya hampir Rp1.000 triliun Surat Berharga Negara (SBBN), tetapi laku di pasar hanya separuhnya, sekitar Rp517 triliun.
Dan, pada 2023, SBN yang ditawarkan di pasar mencapai Rp1.800 triliun, tetapi laku di pasar sebesar Rp807 triliun.
“Jadi, selama 10 tahun ini pemerintah Jokowi sudah mendorong ekonomi utang masuk jurang sehingga harus gali lubang tutup lubang,” ucap Didik.
Dia pun membandingkan dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mewariskan utang sekitar Rp2.608 triliun. Sepuluh Tahun berikutnya di masa pemerintahan Jokowi utang mencapai Rp8.338 triliun, naik tiga kali lipat dengan pembayaran bunga yang sangat tinggi, yaitu sebesar Rp497 triliun.
“Beban bunga utang ini jauh lebih besar dari pos anggaran kementerian, sektor maupun provinsi mana pun. Jika dibandingkan, misalnya dengan APBN provinsi, pembayaran utang ini 1.600 persen lebih tinggi total APBD rakyat Jawa Barat,” pungkasnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.