KABARBURSA.COM - Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin dengan tegas menyuarakan kekhawatirannya atas langkah pemerintah Indonesia yang secara tiba-tiba membuat kebijakan soal diperbolehkannya kembali melakukan ekspor pasir laut setelah 20 tahun dilarang.
Parid mengingatkan kembali, di era pemerintahan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri silam, dilarangnya penambangan dan ekspor pasir laut karena menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan yang masif, pulau-pulau kecil tenggelam, mengganggu aktivitas nelayan tradisional, hingga ekosistem rusak.
"Dibukanya kembali keran ekspor pasir laut ini merupakan sebuah kemunduran yang sangat jauh. 20 tahun lalu itu Megawati mengeluarin Keppres (Keputusan Presiden) yang menghentikan penambangan dan ekspor pasir laut," kata Parid kepada Kabar Bursa, Senin, 16 September 2024.
Namun, diakuinya, Walhi tidak pernah menerima laporan resmi terkait dampak positif dengan dilarangnya melakukan kegiatan ekspor pasir laut.
"Selama 20 tahun itu enggak ada laporan dampak positif hasil dari dilarangnya penambangan dan ekspor pasir laut," ujarnya.
Padahal, seharusnya laporan dampak lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, terutama nelayan, seharusnya bisa menjadi dasar sebelum pemerintah tiba-tiba mengizinkan kembali ekspor pasir laut.
"Harusnya pemerintah itu mengeluarkan laporannya sebelum mengeluarkan izin memperbolehkan kembali ekspor pasir laut. Nah ini yang kita desak," jelas Parid.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut
Namun, Parid berpandangan, judul regulasi tersebut dengan sengaja mengaburkan tujuan sebenarnya.
"Ini keliru, PP ini sengaja menggunakan frasa 'pengelolaan sedimentasi' padahal yang dimaksud adalah penambangan pasir laut," ungkapnya.
Artinya, ada upaya untuk memanipulasi pemahaman publik. Hal itu karena dalam faktanya pengambilan material dari dasar laut dengan cara dikeruk atau menggunakan kapal isap telah terbukti merusak ekosistem perairan.
Jika dibaca lebih dalam disebutkan material yang diambil adalah lumpur dan pasir. hal tersebut memunculkan pertanyaan besar, mana yang lebih bernilai secara ekonomi, lumpur atau pasir. "Jelas pasir," tegasnya.
Oleh karena itu, menurutnya, regulasi ini seakan-akan memberi jalan bagi perusahaan untuk menghindari tanggung jawab atas dampak sedimentasi yang mereka timbulkan dan bahkan mengundang perusahaan lain untuk terjun ke bisnis yang merusak tersebut.
"Jadi justru regulasi ini akan melanggengkan dan memperluas kerusakan," pungkas Parid.
Penjelasan Pemerintah
Setelah 20 tahun dilarang, praktik ekspor pasir laut kembali diizinkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023, tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Regulasi tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023, menganulir peraturan sebelumnya yang diterbitkan pada 2002.
Dan pada hari ini, 10 September 2024, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim, mengatakan bahwa pemerintah memutuskan untuk membuka keran ekspor pasir laut, menyusul diterbitkannya dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) baru terkait ekspor.
Kedua peraturan tersebut adalah Permendag No 20/2024 tentang Perubahan Kedua atau Permendag No 22/2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor. Kemudian, Permendag No 21/2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag No 23/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Kedua Permendag ini diundangkan di Jakarta pada 29 Agustus 2024 dan akan berlaku setelah 30 hari kerja, terhitung sejak tanggal diundangkan. Aturan-aturan ini akan berlaku mulai akhir September 2024.
“Revisi dua Permendag ini merupakan amanah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 serta merupakan usulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai instansi pembina atas pengelolaan hasil sedimentasi di laut,” kata Isy dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa, 10 September 2024.
Walau begitu, ada beberapa syarat bagi pelaku usaha untuk melakukan ekspor pasir laut ini, mengacu pada Permendag No 21/2024, di antaranya:
- Ekspor pasir laut hanya dapat dilakukan setelah memenuhi kebutuhan di dalam negeri dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Eksportir Terdaftar (ET). Pelaku usaha dan eksportir wajib memperoleh Izin Pemanfaatan Pasir Laut dari KKP serta Izin Usaha Pertambangan untuk Penjualan dari Kementerian ESDM. Pelaku usaha dan eksportir wajib membuat surat pernyataan bermaterai yang menyatakan pasir hasil sedimentasi di laut yang diekspor berasal dari lokasi pengambilan sesuai titik koordinat yang telah diizinkan, berdasarkan peraturan perundang-undangan.
- Memiliki Persetujuan Ekspor (PE). Pelaku usaha dan eksportir dapat melengkapi persyaratan sebagai berikut: memiliki Rekomendasi Ekspor Pasir Hasil Sedimentasi di Laut dari KKP dan telah memenuhi kebutuhan dalam negeri melalui mekanisme domestic market obligation (DMO).
- Laporan Surveyor (LS).
Jenis pasir laut yang boleh diekspor diatur dalam Permendag No 21/2024, yang merujuk pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47 Tahun 2024 tentang Spesifikasi Pasir Hasil Sedimentasi di Laut untuk Ekspor. Sedangkan jenis pasir laut yang dilarang diekspor diatur dalam Permendag No 20/2024.
“Kami harap pelaku usaha dapat menjalankan peraturan ini dengan sebaik-baiknya, sehingga berdampak baik terhadap perekonomian Indonesia. Ketentuan ekspor ini akan mulai berlaku setelah 30 hari, terhitung sejak tanggal diundangkan,” ujar Isy.
Lebih lanjut, dia meyakini tujuan pengaturan ekspor pasir laut sejalan dengan PP No 26/2023. Pengaturan ini dilakukan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pasir dan laut, juga kesehatan laut. Pengaturan ekspor pasir laut ini juga dapat mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. (*)