Logo
>

Raker Terakhir Nadiem Tanpa Solusi: Wariskan Sengakarut Dana Pendidikan

Ditulis oleh KabarBursa.com
Raker Terakhir Nadiem Tanpa Solusi: Wariskan Sengakarut Dana Pendidikan

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai, aksi mahasiswa ihwal biaya kuliah hingga jutaan anak gagal sekolah terjadi akibat penyelewengan anggaran pendidikan.

    Hal itu dia ungkap menyusul rapat kerja Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, bersama Komisi X di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu, 11 September 2024.

    Ubaid menyayangkan rapat terakhir Nadiem Makarim bersama DPR RI belum menemukan titik cerah perbaikan kualitas, khususnya ihwal sengkarut dana pendidikan yang tengah digodok Panja Pembiayaan Pendidikan.

    "Anggaran pendidikan ternyata selama ini diselewengkan untuk mendanai perkara yang tidak jelas, bukan prioritas, bahkan dilarang keras oleh UUD 1945 dan UU Sisdiknas,” kata Ubaid dalam keterangannya, Kamis, 12 September 2024.

    Selama ini, tutur Ubaid, alokasi anggaran pendidikan 20 persen dan peruntukannya, dijalankan di luar kebutuhannya. Ubaid menilai, pengalokasian dana pendidikan diduga kuat dijalankan tanpa melihat payung besar peraturan perundang-undangan pendidikan yang termaktub dalam UUD 1945 dan juga UU Sisdiknas, No.20 tahun 2003.

    Menurut Ubaid, hal ini setidaknya tercermin jelas dari dua masalah utama yang mengemuka saar Raker kemarin dan juga beberapa diskusi yang digelar Panja Pembiayaan Pendidikan, Komisi X DPR RI.

    Pertama, kata Ubaid, pelanggaran atas UU Sisdiknas. Dalam UU No.20 tahun 2003 ini, mengatur soal pembiayaan pendidikan kedinasan, yang mestinya di luar jatah 20 persen. Pada praktiknya, pembiayaan pendidikan kedinasan selalu dimasukkan dalam hitungan 20 persen dana pendidikan.

    Menurutnya, hal terdakwa jelas dilarang dalam pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas, di mana terdapat komponen yang boleh dan tidak boleh dibiayai oleh dana pendidikan. Sementara saat ini, Ubaid menyebut, terdapat 24 kementerian/lembaga yang menggunakan anggaran pendidikan.

    “Hingga kini, setidaknya, ada 24 kementerian dan lembaga yang menikmati dana pendidikan ini. Maka, jelas ini adalah dugaan kuat pelanggaran pengelokasian dana pendidikan yang sengaja digunakan untuk pendanaan komponen yang dilarang oleh undang-undang,” kata Ubaid.

    Kedua, Ubaid menilai terdapat pelanggaran atas UUD 1945, pasal 31 ayat 4, di mana anggaran pendidikan hingga kini belum pernah mencapai angka yang digariskan konstitusi, yaitu minimal 20 persen.

    "Kok bisa kurang 20 persen? Jadi hingga tahun 2024, diduga kuat, anggaran pendidikan kita dipaksakan mencapai klaim 20 persen. Apa yang ditulis 20 persen itu hanya ilusi saja," tegasnya.

    Dia menuturkan, jatah anggaran pendidikan kedinasan mestinya tidak masuk dalam komponen. Jadi menurutnya, jika dikeluarkan dari 20 persen, jumlah persentasenya pasti akan berkurang.

    “Selama ini pengalokasian APBN itu ya dibagi-bagi begitu saja, tanpa ada proses pemisahan 20 persen terlebih dahulu untuk dana pendidikan. Mestinya kan, harus dipisah dulu ini untuk pendidikan 20 persen, baru dipikirkan dan dierencanakan kebutuhan prioritas pendidikan itu apa saja, lalu dihitung berdasarkan apa saja yang diperintahkan UUD 1945 dan UU Sisdiknas," pungkasnya.

    Langgar Undang-Undang

    Sebelumnya, Ekonom Senior Bright Institute, Awalil Rizky mengungkap, kecenderungan anggaran pendidikan tidak optimal direalisasikan berlangsung sejak tahun 2020. Secara rinci, kata dia, jika realisasi tersebut dihitung dari total belanja maka rasionya 18,25 persen (2020), 17,21 persen (2021), 15,51 persen (2022), dan 16,45 persen (2023).

    Dia menilai, hal tersebut terjadi karena tingkat realisasi anggaran pendidikan dalam APBN cukup rendah selama 4 tahun terakhir, tahun 2020-2023. Sebagai contoh, kata Awalil, tahun 2023 dianggarkan Rp624,25 triliun, sedang realisasi hanya Rp513,39 triliun atau 82,24 persen.

    Dua tahun sebelumnya, realisasi juga kurang dari 90 persen, yakni 87,20 persen (2021) dan 77,30 persen (2022). Pada tahun 2024 sedang berjalan diprakirakan hanya kisaran 80 persen.

    "Kajian Bright Institute menemukan sebagian pos atau numenklatur anggaran pendidikan memang dirancang untuk tidak direalisasikan. Sekurangnya tidak akan direalisasikan secara penuh, kata Awalil, 10 September 2024.

    Di sisi lain, Awalil menyebut yang menyolok adalah alokasi melalui belanja pemerintah pusat bagian belanja Non Kementerian/Lembaga atau Bendahara Umum Negara. Dari alokasi anggaran sebesar Rp75,58 triliun, yang terealisasi hanya Rp2,76 triliun, atau hanya 3,65 persen pada APBN 2023.

    Kemudian alokasi melalui Pembiayaan sebesar Rp Rp69,5 triliun, yang direalisasikan hanya Rp20 triliun atau 28,78 persen pada tahun 2023. Realisasi pada tahun-tahun sebelumnya pun sangat rendah, yaitu: 43,67 persen (2021) dan 17,04 persen (2022). Pada tahun 2024 yang sedang berjalan pun diprakirakan hanya kisaran 38,75 persen.

    Dia mengungkap, Anggaran Pendidikan melalui Pembiayaan bersifat investasi, terutama kepada beberapa dana abadi Dana Abadi di Bidang Pendidikan. Selain Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan, ada Dana Abadi Pesantren, Dana Abadi Penelitian, Dana Abadi Kebudayaan, dan Dana Abadi Perguruan Tinggi.

    "Alokasi kepada lembaga tersebut umumnya terealisasi pada tiap tahun anggara. Namun, sejak tahun 2019 hingga saat ini, terdapat pos pembiayaan pendidikan. Pos ini sebenarnya bersifat cadangan. Namun nilainya melonjak drastis pada tahun 2020 sampai dengan 2020," jelasnya.

    Sementara realisasi pembiayaan pendidikan, kata Awalil, hampir selalu nol persen atau tidak direalisasikan. Nilainya sebesar Rp97,38 triliun pada 2022 dan Rp49,5 triliun pada 2023. Sedangkan pada 2024 berjalan dialokasikan sebesar Rp52 triliun.

    lebih jauh, Bright Institute menyarankan pihak berkepentingan melakukan gugatan atas realisasi Anggaran Pendidikan dalam APBN tahun 2021-2023. Realisasi APBN yang dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) ditetapkan oleh DPR sebagai Undang-Undang. Undang-Undang mestinya bisa diuji ke Mahkamah Konstitusi.

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi