Logo
>

RI Melamar di BRICS, Ekonom: Waspadai Ketergantungan pada China

Ditulis oleh Dian Finka
RI Melamar di BRICS, Ekonom: Waspadai Ketergantungan pada China

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pendaftaran resmi Indonesia untuk bergabung dengan BRICS dinilai mempertegas ketergantungan ekonomi Indonesia pada China. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai langkah ini bisa memperbesar dominasi China dalam perekonomian Indonesia, baik dari sisi perdagangan maupun investasi.

    “Tanpa bergabung di BRICS sekalipun, ketergantungan Indonesia terhadap China sudah signifikan. Data menunjukkan bahwa impor Indonesia dari China melonjak 112,6 persen dalam sembilan tahun terakhir, dari USD29,2 miliar pada 2015 menjadi USD62,1 miliar di tahun 2023. Investasi China di Indonesia juga meningkat 11 kali lipat pada periode yang sama,” kata Bhima kepada awak media, Sabtu, 26 Oktober 2024

    Menurutnya, selain risiko duplikasi kerja sama bilateral, proyek-proyek yang didanai oleh pemerintah dan perusahaan asal China di Indonesia menimbulkan berbagai tantangan, terutama dalam aspek lingkungan dan ketenagakerjaan.

    Bhima mencatat, beberapa insiden kecelakaan kerja di Kawasan Industri Morowali Indonesia (IMIP) menjadi bukti lemahnya pengawasan dan standar keselamatan pada investasi China.

    "Indonesia membutuhkan nilai tambah yang lebih berkualitas dalam sektor komoditas. Itu berarti kita perlu investasi yang sesuai dengan standar tinggi, bukan sekadar volume besar. Diversifikasi sumber investasi sangat penting untuk membawa Indonesia ke level ekonomi yang lebih kuat,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Bhima mengingatkan bahwa ketergantungan yang besar pada China bisa menjadi faktor yang melemahkan perekonomian Indonesia, apalagi saat proyeksi pertumbuhan ekonomi China diperkirakan turun 3,4 persen dalam empat tahun ke depan, menurut World Economic Outlook dari IMF.

    “Dengan ekonomi China yang diproyeksikan melambat, bergabungnya Indonesia ke BRICS malah bisa memperlemah kinerja ekonomi nasional. Idealnya, Indonesia merespons situasi ini dengan memperluas diversifikasi mitra ekonomi di luar China, bukan justru menambah ketergantungan,” pungkas Bhima.

    Pilih BRICS atau OECD?

    Indonesia perlu segera menentukan pilihan untuk bergabung dengan salah satu organisasi antarpemerintah dunia, yaitu BRICS atau OECD. Menurut Wijayanto Samirin, ekonomi senior Universitas Paramadina, keputusan ini memiliki urgensi.

    Pertama, kata Wijayanto, Indonesia dapat menyambut peluang berpartisipasi aktif dalam organisasi tersebut karena jumlah anggota yang masih sedikit. Ini berkaitan dengan hal yang kedua yakni peran dalam menentukan kebijakan utama dalam kelompok-kelompok tersebut.

    “Jika (Indonesia) terlalu lama memilih, skenario terburuk bisa terjadi: Indonesia tidak tergabung dalam keduanya. Kalaupun bergabung nanti, bisa saja kita sudah terlambat dan tidak terlibat dalam diskursus penting penyusunan garis kebijakan,” ujar Wijayanto kepada Kabarbursa.com, Sabtu, 26 Oktober 2024.

    Dosen Universitas Paramadina itu menjelaskan, bergabungnya Indonesia dalam blok ekonomi yang dipimpin duet Rusia-China itu bukan berarti menjauh dari mitra lama antara lain Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Contohnya India, Uni Emirat Arab (UEA), Brasil, dan Arab Saudi yang masih bermitra tanpa menjaga jarak dengan Barat. Di sisi lain, jika Indonesia masuk OECD maka tidak membatasi gerak dengan negara-negara BRICS.

    “OECD dan BRICS bukanlah blok ekonomi yang rigid (kaku). Setiap anggotanya tetap bebas menjalin kerja sama bilateral atau multilateral sesuai kebutuhan mereka,” jelas Wijayanto.

    Lebih lanjut, bagi Wijayanto, Indonesia lebih tepat mengambil keputusan berdasarkan manfaat pragmatis daripada perimbangan politis.

    “Mana yang lebih menguntungkan bagi Indonesia, itulah yang semestinya dipilih,” tegasnya.

    Adapun, negara-negara Barat yang mempertahankan status quo ekonomi global saat ini mendominasi komposisi OECD. Dominasi ini tampak dari peran AS lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan peredaran dolar sebagai mata uang cadangan dunia.

    Sementara BRICS, ujar dia, dipandang sebagai kekuatan ekonomi baru dengan ambisi untuk menciptakan sistem yang lebih independen dari dolar AS.

    “BRICS memiliki agenda ekstrem seperti dedolarisasi, yang diinisiasi oleh Rusia dan China. Ini terjadi terutama setelah aset-aset Rusia di luar negeri dibekukan oleh negara Barat pasca-konflik Ukraina. Banyak negara kini bertanya-tanya apakah aset mereka juga bisa dibekukan jika berada dalam situasi yang sama,” ungkapnya.

    Jika Indonesia memutuskan bergabung dengan BRICS, Wijayanto menyarankan agar posisi yang diambil tetap moderat.

    Indonesia, menurutnya, dapat berperan dalam mendorong kerja sama perdagangan yang lebih erat serta mendukung sistem pembayaran alternatif yang mengurangi ketergantungan pada dolar, namun tetap seimbang.

    “Bergabung dengan BRICS tidak harus berarti meninggalkan dolar sepenuhnya, tetapi lebih pada mencari keseimbangan melalui sistem pembayaran lintas negara. Ini memberikan alternatif bagi Indonesia dan negara lain tanpa harus berada dalam posisi ekstrem,” tutup Wijayanto. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.