Logo
>

RI Tumbuh di Tengah Melambatnya Laju Ekonomi China-AS

Ditulis oleh KabarBursa.com
RI Tumbuh di Tengah Melambatnya Laju Ekonomi China-AS

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia di pertengahan tahun 2024 relatif lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara anggota G20. Diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level 5,05 persen.

    Meski begitu, Josua menilai kebijakan ekonomi global turut mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota G20. Diketahui, pertumbuhan ekonomi dari dua negara besar, China dan Amerika Serikat (AS) mengalami perlambatan.

    China, tutur Josua, mengalami perlambatan ekonomi di kuartal II tahun 2024 di bawah 5 persen. Dia menyebut, perlambatan ekonomi di China berdampak langsung kepada kinerja jalur perdagangan dan ekspor Indonesia.

    “Kalau kita bandingkan sebenarnya secara umum, kalau kita bandingkan dalam grup G20 saja sebenarnya pertumbuhan sekitar 5 persen sampai dengan 5,1 persen secara umum masih cukup baik,” kata Josua dalam acara PIER Economic Review: Mid-Year 2024 yang diikuti secara daring, Kamis, 8 Agustus 2024.

    Di kawasan ASEAN sendiri, tutur Josua, kinerja ekonomi terbesar dipimpin oleh India dengan rentang pertumbuhan di kisaran hingga 8 persen di tengah tensi geopolitik global sebagaimana yang terjadi antara Rusia-Ukraine yang disusul dengan naiknya harga komoditas.

    Tingginya tensi geopolitik global juga telah direspons oleh Bank Indonesia (BI) dalam beberapa hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang melahirkan kebijakan moneter yang berdampak pada kinerja ekonomi di sektor riil dalam negeri.

    Berdasarkan dara dari sejumlah lembaga ekonomi dunia, Josua mengungkap adanya konvergensi yang menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan lebih baik jika dibandingkan tahun ini kendati ekonomi global mengalami perlambatan, kususnya China dan AS.

    “Sehingga ini tentunya akan menjadi hal yang harus kita pertimbangkan ataupun kita perhatikan, terutama dari sisi pemerintah untuk bagaimana dari sisi meramu kebijakan agar bisa memitigasi dampak yang ditimbulkan dari pelambatan ekonomi AS dan juga Tiongkok,” ujarnya.

    Sementara di negara-negara eropa seperti Eropa dan Jepang, kata Josua, akan mengalami perbaikan kondisi di tahun depan. Dia menilai pertumbuhan ekonomi global terpantau variative yang dipengaruhi sentimen AS dan China yang cenderung melambat.

    “Namun sebagian negara-negara seperti di ASEAN dan termasuk juga Indonesia ini akan cenderung membaik, plus ditambah lagi dengan Eropa dan juga Jepang,” ungkapnya.

    Pasar Menanti The Fed Pangkas Suku Bunga

    Mengacu pada data pasar tenaga kerja, Josua menilai, tingkat pengangguran di AS masih berada dibatas aman. Meski begitu, tingkat pengangguran di AS telah melampaui batas yang telah ditetapkan The Fed melalui Federal Open Market Committee (FOMC) bulan Juni lalu.

    “Kalau kita melihat pada, merifer pada forecast indikator ekonomi AS pada FOMC bulan Juni, tingkat pengangguran saat ini sebenarnya sudah melampaui dari target dari The Fed sendiri,” jelasnya.

    Oleh karenanya, Josua menilai assessment inflation dari sisi pasar tenaga kerja di AS menjadi momentum untuk menurunkan suku bunga The Fed. Diketahui, berdasarkan FOMC bulan Juni, tingkat pengangguran AS berada di level 4,0 persen.

    Josua menilai, level tersebut telah melampaui angka actual yang ditetapkan The Fed bulan Juli sebesar 4,3 persen. Sementara jika dilihat dari tingkat PCE inflation AS, data heatmap telah mencapai level 2,5 persen dengan core 2,8 persen

    “Sehingga ini pun juga sudah sesuai ataupun sudah melampaui dari target yang ditetapkan ataupun target dari asumsi dari Fed sendiri pada FOMC bulan Juni yang lalu,” jelasnya.

    Berdasarkan indikator-indikator tersebut, Josua menilai The Fed memiliki banyak peluang untuk memangkas suku bunganya. Hingga 7 Agustus 2024 lalu, kata Josua, pelaku pasar berharap The Fed memangkas suku bunga sesuai dengan prediksi market.

    “Saat ini market melihat bahwa ada peluang untuk Fed memangkas suku hubungannya di bulan September itu sekitar 50 basis point, dan di bulan November sekitar 25 basis point, dan di Desember-nya sekitar 25 basis point. Jadi in total tahun ini, di sepanjang sisa tahun ini, market melihat ada ruang sekitar 100 basis point untuk penurunan suku hubungan Fed,” ungkapnya.

    Kendati demikian, Josua mengungkap hal tersebut masih sebatas prediksi. Dia meyakini The Fed akan mempertimbangkan dan melihat dinamika perkembangan ekonomi global seiring dengan pelambatan di Tiongkok dan memanasnya konflik di Timur Tengah.

    “Ini kami melihat bahwa terdapat tren yang cukup dinamis dari sisi bagaimana market melihat peluang penurunan suku hubungan Fed di tahun ini,” tutupnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi