Logo
>

Ritel Bakal Rugi: 15 Persen Omzet Hilang karena Kebijakan Rokok

Ditulis oleh Dian Finka
Ritel Bakal Rugi: 15 Persen Omzet Hilang karena Kebijakan Rokok

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Para pemilik ritel di Tanah Air berisiko kehilangan pendapatan hingga 15 persen jika pemerintah menerapkan kebijakan melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak.

    Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, menyampaikan bahwa jumlah ritel di Indonesia mencapai sekitar 48.000. Berdasarkan data dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), sekitar 33,08 persen ritel akan terkena dampak jika larangan tersebut dilaksanakan.

    Dari total ritel yang berpotensi terpengaruh, Roy mengungkapkan bahwa 15 persen dari pendapatan mereka berasal dari penjualan rokok. Bagian pendapatan tersebut diperkirakan akan hilang jika larangan penjualan diterapkan.

    "Sekitar 15 persen (yang bakal terdampak) dari omzet, kalau ritel kan ada sekitar 48.000 yang jual produk ini (rokok). 15 persen itu sekitar Rp40 triliun," ujarnya usai diskusi publik yang digelar Indef bertajuk "Industri Tembakau Suram, Penerimaan Negara Muram," di Jakarta, Senin, 23 September 2024.

    Perlu diketahui, restriksi penjualan rokok tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 (PP Kesehatan). Kemudian, wacananya akan dimuat pula dalam aturan turunannya, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).

    Roy mengungkapkan keprihatinannya bahwa larangan penjualan rokok di dekat sekolah atau taman bermain akan berdampak negatif bagi ritel, karena produk lainnya juga akan sulit terjual. Menurutnya, rokok berfungsi sebagai daya tarik yang mendatangkan konsumen untuk berbelanja, termasuk produk tambahan seperti makanan ringan dan minuman.

    "Iya secara logikanya (pendapatan dari ritel 15 persen bakal hilang, karena kita bicara bahwa produk ini kan traffic puller, orang datang (ke toko) sekaligus belanja yang lain-lain juga," imbuhnya.

    Di sisi lain, Roy meragukan langkah pemerintah yang melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak. Sebab, menurutnya, belum ada bukti bahwa menghapus toko yang menjual rokok dapat menurunkan angka prevalensi merokok di kalangan anak-anak atau remaja.

    "Kita enggak yakin tadi bahwa maksud dan tujuannya pengaturan jarak dan sebagainya itu kan untuk (menurunkan) prevalensi (merokok) anak," tuturnya.

    Pada kesempatan yang sama, Ekonom Senior Indef, Tauhid Ahmad, menyampaikan bahwa larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari institusi pendidikan akan mempengaruhi 33,08 persen dari total ritel. Ia mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan analisis menggunakan model ekonomi keseimbangan umum terkait isu ini.

    Ia memperkirakan bahwa larangan tersebut dapat mengakibatkan kehilangan penerimaan pajak negara sebesar Rp43,5 triliun. Untuk kepentingan pendapatan negara, ia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan hal ini sebelum mengesahkan aturan turunan dari PP Kesehatan.

    Apabila negara kehilangan setoran perpajakan senilai Rp43,5 triliun, Tauhid memproyeksikan, dampak perekonomiannya lebih besar. Ada sekitar Rp8,4 triliun potensi loss economy yang akan diderita ke depannya.

    "Kami mengestimasi ada sekitar 33 persen toko retail yang berlokasi di sekitar lembaga pendidikan formal dari total ritel yang ada di Indonesia. Nah, konsekuensi dari larangan berjualan rokok 200 meter ini akan terjadi penurunan penerimaan negara kurang lebih Rp43,5 triliun," pungkasnya.

    Berpotensi bikin Ketidakstabilan Sektor Lain

    Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti tidak transparannya penyusunan dan pelaksanaan PP Kesehatan dan RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.

    Franky Sibarani, Wakil Ketua Umum Apindo, mengatakan bahwa pasal-pasal bermasalah dalam PP dan RPMK tersebut berpotensi menciptakan ketidakstabilan di berbagai sektor, antara lain ritel, pertanian, dan industri kreatif yang bergantung pada ekosistem industri hasil tembakau (IHT).

    “Industri saat ini sedang sangat prihatin. Regulasi yang dibuat jangan sampai mematikan industri tembakau dan sektor-sektor terkait,” kata Franky.

    Franky juga menggaris bawahi, pentingnya pemerintah melakukan pendalaman bahwa kondisi sosio-ekonomi Indonesia sangat berbeda dengan industri tembakau yang menyerap banyak tenaga kerja. Artinya, pada gilirannya pemerintah tidak bisa hanya berkaca ke negara-negara tertentu untuk begitu saja mencontoh kebijakannya tanpa pendalaman.

    Dalam kesempatan yang sama, sejumlah asosiasi lintas sektor turut menyampaikan pendapatnya. Hal ini terkait keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan dampak ekonomi dapat mengganggu kestabilan perekonomian nasional.

    Agus Parmuji, Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), menyoroti dampak besar yang akan dialami petani tembakau jika ketentuan ini diterapkan secara ketat. “Petani tembakau menggantungkan hidupnya pada industri ini. Peraturan yang tidak memperhitungkan keberlanjutan sektor pertanian akan memukul keras para petani beserta yang telah berkontribusi besar terhadap perekonomian lokal,” ujar Agus. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.