Logo
>

Saham-saham dengan Potensi Akuisisi atau Merger

Merger dan akuisisi bukan cuma rumor pasar. Artikel ini membahas saham-saham potensial, peluang cuan, risiko tersembunyi, dan strategi investor ritel.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Saham-saham dengan Potensi Akuisisi atau Merger
Saham potensi akuisisi atau merger bisa jadi peluang emas atau jebakan. Pelajari dampaknya ke harga saham, dan dapatkan strategi jitu untuk investor ritel agar tak salah langkah. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM - Di dunia pasar modal, cerita soal akuisisi dan merger selalu berhasil mencuri perhatian. Ada yang menyebutnya drama besar, ada juga yang menyebutnya manuver cerdik. Bayangkan saja, satu perusahaan yang tadinya berjalan sendiri, tiba-tiba diambil alih oleh raksasa lain. Atau dua perusahaan yang tadinya bersaing, memutuskan bergandengan tangan. Tidak hanya bikin penasaran, kabar seperti ini sering kali bikin harga saham berloncatan—kadang naik setinggi langit, kadang justru terperosok tanpa ampun.

Bagi investor, isu akuisisi dan merger bukan cuma cerita menarik di media ekonomi. Ini adalah peluang, sekaligus jebakan. Peluang, karena saham yang jadi target akuisisi biasanya mendadak naik tajam begitu rumor atau pengumuman resmi muncul. Jebakan, karena tidak semua akuisisi atau merger berakhir bahagia. Ada yang malah bikin rugi pemegang saham kalau kesepakatannya gagal atau kalau perusahaan hasil merger justru kehilangan arah.

Mari kita ambil contoh yang sudah terjadi. Siapa yang tidak ingat ketika Gojek dan Tokopedia melebur menjadi GoTo? Kala itu, tepatnya pada Jumat, 17 Mei 2021, jagat media sosial ramai membahas potensi kekuatan raksasa baru di sektor teknologi Indonesia. Saham-saham terkait ikut terdongkrak, meski setelah IPO, perjalanan GoTo tidak semulus ekspektasi awal. Di sektor perbankan, cerita Bank Central Asia atau BCA mengakuisisi Bank Royal pada 2019 lalu juga menarik. Langkah ini bukan sekadar ekspansi, tapi bagian dari strategi jangka panjang untuk menjangkau segmen baru.

Kalau ditarik lebih jauh, tren akuisisi dan merger di Indonesia sering kali mencerminkan dinamika industri. Di sektor energi, misalnya, perusahaan energi fosil mulai melirik perusahaan energi hijau untuk mempercepat transformasi bisnis mereka. Di sektor perbankan, bank-bank kecil yang kesulitan memenuhi modal inti jadi sasaran empuk bank besar. Sementara di sektor digital, perusahaan pemilik intellectual property (IP) yang unik makin sering dilirik perusahaan besar yang ingin memperkuat ekosistem.

Pertanyaannya, sebagai investor, apakah cukup hanya menonton dari pinggir? Jawabannya tentu tidak. Di balik setiap kabar akuisisi atau merger, selalu ada peluang yang bisa dimanfaatkan. Tapi jangan salah, peluang itu datang bersama risiko. Investor yang cerdas harus tahu membaca sinyal pasar, memahami dampak dari aksi korporasi, dan yang paling penting, tahu kapan harus masuk atau justru menepi.

Artikel ini akan membawa kalian menyelami dunia saham-saham dengan potensi akuisisi atau merger di Indonesia. KabarBursa akan membahas mengapa isu ini penting, siapa saja pemain utamanya, apa saja peluang serta risikonya, dan strategi apa yang sebaiknya disiapkan investor ritel. Bukan sekadar ikut-ikutan, tapi memahami betul apa yang sedang terjadi—karena di pasar modal, yang paham arah anginlah yang bisa melaju paling jauh.

Akuisisi, Merger, dan Strateginya di Pasar Modal


1. Apa itu akuisisi?

Akuisisi, secara sederhana, adalah proses ketika satu perusahaan mengambil alih kepemilikan perusahaan lain. Bisa sebagian, bisa juga seluruhnya. Dalam praktiknya, akuisisi terjadi ketika satu pihak membeli saham atau aset perusahaan target sehingga ia menjadi pemilik baru yang memegang kendali. Akuisisi ini bisa bersifat ramah—artinya kedua pihak sama-sama sepakat—dan bersifat bermusuhan—yaitu ketika pihak yang diakuisisi tidak menginginkan kesepakatan, tetapi tetap “dihajar” lewat pembelian saham di pasar terbuka.

Bayangkan sebuah perusahaan besar seperti Bank Mandiri mengakuisisi bank kecil. Tujuannya? Bisa untuk memperluas jaringan, memperkuat portofolio produk, atau sekadar mengejar pangsa pasar baru. Contoh lain, di sektor energi, Pertamina pernah mengakuisisi Maurel & Prom, perusahaan migas asal Prancis, demi mengamankan sumber daya minyak dan gas di luar negeri. Dalam konteks akuisisi ini, pihak yang membeli biasanya memiliki kekuatan modal lebih besar, sedangkan pihak yang diakuisisi membawa nilai strategis, entah berupa aset, teknologi, jaringan, atau pasar.

Yang menarik, akuisisi tidak selalu identik dengan kesulitan. Kadang, perusahaan yang sehat sekalipun bersedia diakuisisi karena ingin naik kelas. Misalnya, startup teknologi yang diakuisisi raksasa global demi mendapatkan akses ke pendanaan, teknologi mutakhir, atau jaringan pasar yang lebih luas. Bagi investor, kabar akuisisi biasanya menjadi sinyal positif, setidaknya dalam jangka pendek, karena menunjukkan adanya suntikan modal atau peluang pertumbuhan baru. Namun, ini tetap harus dibaca hati-hati karena tidak semua akuisisi berujung sukses.

2. Apa itu merger?

Merger adalah peleburan dua atau lebih perusahaan menjadi satu entitas baru. Tidak seperti akuisisi yang cenderung sepihak, merger biasanya melibatkan kesepakatan bersama yang setara. Perusahaan-perusahaan yang bergabung ini sepakat melebur identitas mereka demi menciptakan kekuatan baru, baik dari sisi modal, teknologi, maupun pasar. Hasil akhirnya bisa berupa pembentukan nama baru, struktur baru, bahkan strategi bisnis baru.

Salah satu contoh merger terbesar di Indonesia adalah PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) dan PT Tokopedia yang melebur menjadi GoTo. Dua raksasa teknologi ini menyadari bahwa untuk bersaing di pasar yang kian sengit, mereka butuh kekuatan bersama. Dengan bergabung, mereka tidak hanya memperluas ekosistem, tetapi juga memperkuat daya tawar mereka di mata investor, mitra, dan pelanggan.

Merger juga sering terjadi di sektor perbankan, terutama untuk memenuhi syarat modal minimum yang ditetapkan regulator. Alih-alih berjuang sendiri, bank-bank kecil memilih melebur agar bisa bertahan. Dari perspektif pasar, merger sering dilihat sebagai strategi untuk memperkuat posisi kompetitif, mengurangi biaya operasional lewat sinergi, dan meningkatkan nilai pemegang saham. Namun, di balik itu semua, merger juga penuh tantangan. Antara lain penyatuan budaya kerja, sistem teknologi, hingga manajemen sering kali tidak semulus yang dibayangkan.

Kenapa perusahaan melakukannya?

Ada banyak alasan mengapa perusahaan memilih jalan akuisisi atau merger, tetapi benang merahnya selalu berkisar pada satu kata, yakni soal strategi. Perusahaan besar selalu mencari cara untuk tumbuh lebih cepat, lebih kuat, dan lebih kompetitif. Salah satu cara tercepat adalah dengan membeli atau bergabung dengan pemain lain yang sudah punya pijakan kuat di pasar.

Dalam konteks ekspansi, akuisisi atau merger membuka akses ke pasar baru. Daripada membangun semuanya dari nol, lebih cepat membeli perusahaan lokal yang sudah mapan. Ini sering dilakukan perusahaan asing yang ingin masuk ke Indonesia. Di sektor perbankan, misalnya, banyak bank asing yang lebih memilih mengakuisisi bank lokal daripada membangun cabang baru dari awal.

Ada juga alasan efisiensi. Dengan bergabung, dua perusahaan bisa mengurangi biaya operasional yang tumpang tindih. Misalnya, tidak perlu dua divisi pemasaran, dua tim IT, atau dua jaringan distribusi. Efisiensi ini tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga meningkatkan margin keuntungan.

Alasan akuisisi atau merger perusahaan. Infografis dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

Di sisi lain, merger dan akuisisi juga bisa menjadi strategi bertahan hidup. Perusahaan yang sedang kesulitan finansial bisa mencari investor baru atau bergabung dengan perusahaan lain agar tetap eksis. Sebaliknya, perusahaan yang kuat modalnya melihat ini sebagai peluang membeli aset dengan harga murah. Situasi semacam ini sering terjadi saat krisis ekonomi, ketika banyak perusahaan melemah dan jadi target akuisisi.

Bagi investor, memahami alasan di balik setiap aksi merger atau akuisisi sangat penting. Tidak semua kesepakatan membawa nilai tambah. Kadang, ada yang hanya sekadar “cari sensasi” di pasar atau malah menjadi beban baru bagi perusahaan induk. Maka, membaca detail transaksi, mengevaluasi sinergi bisnis, dan menganalisis potensi pertumbuhan jadi tugas wajib sebelum memutuskan ikut masuk atau menepi.

Dampak ke Pasar Saham


1. Bagaimana harga saham biasanya bereaksi?

Setiap kali muncul kabar akuisisi atau merger, pasar saham biasanya langsung bereaksi. Tidak peduli apakah baru sebatas rumor atau sudah pengumuman resmi, sentimen pasar akan bergerak cepat. Harga saham perusahaan yang menjadi target akuisisi cenderung melonjak, bahkan kadang dalam sehari bisa naik belasan persen karena investor memburu potensi keuntungan dari penawaran akuisisi. Sementara itu, saham perusahaan pengakuisisi bisa mengalami dua arah:

  • Jika pasar percaya akuisisi ini menguntungkan, harga sahamnya ikut naik
  • Jika pasar ragu, justru turun karena dinilai membebani neraca perusahaan.

Pergerakan harga ini tidak hanya soal hitungan laba rugi, tetapi juga mencerminkan ekspektasi pasar. Investor akan bertanya apakah perusahaan hasil merger ini akan lebih kuat? Apakah akuisisi ini membuka pasar baru? Apakah ada sinergi yang bisa meningkatkan keuntungan? Jika jawabannya ya, saham perusahaan itu akan diminati. Namun, jika pasar melihat ada risiko besar—misalnya integrasi yang sulit, utang yang membengkak, atau prospek industri yang menurun—maka harga saham justru bisa melemah, meskipun ada berita akuisisi.

Reaksi pasar juga sangat bergantung pada sektor. Di sektor teknologi, akuisisi sering dipandang positif karena dianggap memperluas ekosistem digital. Di sektor perbankan, akuisisi atau merger bisa jadi sinyal pemenuhan regulasi modal minimum yang dinilai penting untuk keberlangsungan bisnis. Di sektor energi, akuisisi bisa mengundang perhatian karena terkait isu transisi energi atau penguasaan sumber daya strategis. Dengan kata lain, tidak ada pola tunggal. Investor harus peka membaca konteks industri dan posisi masing-masing perusahaan.

Yang menarik, efek akuisisi atau merger tidak selalu jangka panjang. Dalam banyak kasus, lonjakan harga saham hanya terjadi sesaat, lalu kembali turun ketika euforia mereda. Bahkan, ada juga saham yang justru melemah setelah pengumuman resmi karena pasar mulai menghitung risiko yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Artinya, investor perlu berhati-hati dan tidak terjebak pada hype sesaat.

2. Contoh-contoh Kasus di Indonesia

Mari kita lihat beberapa contoh nyata di pasar Indonesia. Salah satu kasus besar yang masih segar di ingatan adalah merger antara Gojek dan Tokopedia dengan nama baru perusahaan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. Ketika rumor merger ini beredar, saham-saham yang terkait dengan ekosistem mereka, termasuk mitra atau investor utama, ikut terdongkrak. Saat PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk resmi melantai di Bursa Efek Indonesia pada 11 April 2022, antusiasme pasar benar-benar terasa. Harga saham perusahaan dengan kode emiten GOTO ini dibuka di level Rp338 per lembar dan sempat melesat ke Rp442 per saham sehari setelahnya alias mencatatkan rekor harga tertinggi sejak IPO. Namun, euforia itu tidak bertahan lama.

Seiring berjalannya waktu, harga saham GOTO mengalami penurunan tajam. Pada Oktober 2023, sahamnya anjlok ke level Rp67 per saham—harga terendah sejak perusahaan resmi melantai di bursa. Penurunan ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi GOTO, mulai dari tuntutan menuju profitabilitas, persaingan sengit di sektor teknologi, hingga tekanan dari investor yang mulai kehilangan kesabaran.

Yang menarik, pada awal Februari 2025, muncul rumor mengejutkan mengenai potensi merger antara GOTO dan Grab. Kabar ini memicu kenaikan harga saham GOTO sebesar 3,70 persen ke level Rp84 per saham. Namun, tidak lama berselang, manajemen GOTO buru-buru membantah rumor itu hingga membuat harga saham kembali turun 5,75 persen ke Rp82 per saham.

Fluktuasi harga saham GOTO ini menunjukkan betapa sensitifnya pasar terhadap kabar akuisisi dan merger, bahkan ketika masih sebatas rumor. Bagi investor, khususnya yang masih muda dan baru terjun ke pasar modal, penting untuk belajar dari kasus ini. Jangan hanya terpaku pada sentimen sesaat, tetapi pahami pula analisis fundamental perusahaan, kemampuan menghasilkan laba, dan strategi jangka panjangnya. Karena pada akhirnya, bukan rumor yang menentukan keberhasilan investasi, melainkan kinerja nyata perusahaan di lapangan.

Kita lanjut ke sektor perbankan. Di sektor yang erat dengan keuangan ini, ada cerita menarik dari PT Bank Central Asia Tbk ketika mengakuisisi PT Bank Royal Indonesia pada 2019. Langkah ini dinilai sebagai strategi untuk masuk ke segmen digital banking dan memanfaatkan infrastruktur Bank Royal yang lebih ramping demi memperluas layanan digital. Namun, menariknya, sentimen pasar sudah terasa bahkan sebelum pengumuman resmi.

Pada Februari 2019, harga saham bank dengan kode emiten BBCA ini mulai merangkak naik setelah muncul kabar akan adanya akuisisi Bank Royal. Investor asing langsung ikut berburu, tercatat melakukan beli bersih senilai Rp49,53 miliar. Meski saat itu manajemen BCA masih enggan buka suara, pasar sudah membaca arah langkah strategis ini. Kabar akuisisi benar-benar memunculkan ekspektasi tinggi dari pelaku pasar.

Setelah akta akuisisi diteken pada 31 Oktober 2019 dengan nilai mencapai Rp988,04 miliar, perhatian pasar terus mengarah ke bagaimana BBCA akan memanfaatkan aset barunya. Setahun kemudian, pada 28 Mei 2020, BBCA mengumumkan rebranding Bank Royal menjadi Bank Digital BCA. Kabar ini langsung memberikan sentimen positif ke pasar. Saham BBCA tercatat melesat 5,44 persen, bertengger di level Rp26.175 per saham dengan nilai transaksi mencapai Rp663,01 miliar dan volume perdagangan sebesar 25,46 juta saham.

Semua angka ini menunjukkan bahwa pasar sangat responsif terhadap aksi akuisisi yang dilakukan BCA. Langkah ini dinilai tidak hanya memperkuat fondasi bisnis, tetapi juga membuka peluang baru di segmen digital banking. Bagi investor, cerita BBCA menjadi pelajaran penting bahwa tidak semua akuisisi sekadar soal kepemilikan baru. Kadang, akuisisi adalah pintu menuju transformasi bisnis yang lebih besar.

Di sektor energi, Pertamina juga pernah membuat langkah besar dengan mengakuisisi Maurel & Prom. Langkah ini dinilai sebagai upaya memperluas cadangan minyak dan gas, sekaligus mengamankan pasokan energi dari luar negeri. Meski akuisisi ini tidak langsung berdampak besar ke pasar saham dalam negeri, sentimen positif tetap muncul karena menunjukkan agresivitas ekspansi Pertamina sebagai perusahaan energi nasional. Selain itu, sayangnya, Pertamina bukanlah perusahaan terbuka yang sahamnya bisa dibeli oleh publik.

Ada juga kasus akuisisi lintas sektor, seperti ketika PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) masuk sebagai pemegang saham Bukalapak. Sentimen pasar langsung menggeliat karena EMTK dikenal punya ekosistem media dan teknologi yang luas. Namun, sama seperti GOTO, saham Bukalapak (BUKA) mengalami tantangan pasca-IPO karena pasar mulai menyoroti isu profitabilitas dan persaingan ketat di sektor e-commerce.

Yang tidak boleh dilupakan adalah contoh dari sektor tambang. Perusahaan-perusahaan tambang kecil sering menjadi target akuisisi pemain besar demi mengamankan konsesi atau meningkatkan produksi. Salah satu cerita terbaru datang dari PT United Tractors Tbk (UNTR). Pada 30 November 2023, anak usaha mereka, PT Danusa Tambang Nusantara (DTN), resmi menuntaskan pengambilalihan 70 persen saham PT Stargate Pacific Resources (SPR) senilai Rp3,18 triliun dan 70 persen saham PT Stargate Mineral Asia (SMA) senilai Rp41,95 miliar. Total transaksi mencapai Rp3,22 triliun.

Pasar langsung merespons. Berdasarkan data perdagangan Investing pada 30 November 2023, saham UNTR berada di Rp21.900 per lembar atau turun 2,45 persen dari hari sebelumnya. Namun, sehari setelah akuisisi diumumkan, harga saham naik ke Rp22.000, lalu naik lagi pada 4 Desember 2023 ke Rp22.200 atau mencatat kenaikan 1,24 persen. Ini menunjukkan begitu pasar mencerna langkah strategis UNTR, sentimennya mulai berbalik positif.

Cerita serupa terjadi pada 15 Maret 2024, ketika entitas anak UNTR lainnya, PT Energia Prima Nusantara (EPN), mengakuisisi PT Supreme Energy Rantau Dedap (SERD), perusahaan pemegang izin panas bumi berkapasitas 2x49 megawatt di Sumatera Selatan. Nilai transaksinya fantastis: USD80,69 juta atau sekitar Rp1,25 triliun. Saham UNTR pun ikut terdongkrak. Pada 15 Maret, sahamnya berada di Rp24.000 per lembar. Di hari-hari berikutnya, saham UNTR terus merangkak naik, yakni Rp24.225 (0,41 persen), Rp24.275, Rp24.375, hingga mencapai Rp24.550 pada 21 Maret 2024 (naik 0,92 persen).

Dari berbagai contoh ini, pelajaran pentingnya adalah investor harus mampu memilah mana sentimen jangka pendek, mana yang punya potensi jangka panjang. Tidak semua berita akuisisi atau merger akan berujung manis. Tak lantas pula kabar akuisisi itu bakal mendongkrak saham sebuah emiten secara signifikan. Perlu analisis lebih dalam, termasuk soal valuasi, prospek bisnis, dan kemampuan manajemen mengelola integrasi. Di sinilah seni membaca pasar bermain.

Sektor Emiten dengan Potensi Akuisisi atau Merger


1. Perbankan

Di sektor perbankan, isu merger dan akuisisi sudah lama jadi pembicaraan hangat. Bank-bank kecil dengan modal inti di bawah Rp2 triliun–Rp5 triliun, misalnya, terus jadi incaran pemain besar yang ingin memperkuat portofolio bisnis atau memenuhi ketentuan regulator. Salah satu nama yang sering muncul di radar analis adalah PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB), yang sebelumnya bernama PT Bank Yudha Bakti. Posisi BBYB sebagai bank digital yang masih membangun ekosistem, sementara valuasinya belum terlalu mahal, menjadikannya menarik sebagai target akuisisi.

Jelang akhir 2024, spekulasi makin panas setelah muncul kabar bahwa PT Akulaku Silvrr Indonesia dan Rockcore Financial Technology (Akulaku Group) berencana melepas sebagian kepemilikannya di BBYB guna memenuhi syarat batas maksimum kepemilikan. Situasi ini langsung menarik perhatian pasar karena saham BBYB kabarnya ditawarkan melalui Gozco Group. PT Gozco Capital saat ini memiliki 7,77 persen saham BBYB, sementara konglomerat Prajogo Pangestu tercatat memegang 7,84 persen saham PT Gozco Plantations Tbk (GZCO). Isu bahwa Prajogo akan mengakuisisi BBYB pun juga menguat karena memiliki saham di entitas pemegang saham bank tersebut.

Selain itu, BBCA yang sebelumnya sukses mengakuisisi Bank Royal, juga masih mungkin melirik target baru. Alasannya sederhana: BCA punya modal besar, reputasi kuat, dan ambisi memperluas layanan, khususnya di segmen UMKM atau perbankan syariah yang saat ini sedang tumbuh. Apalagi kalau melihat jejak langkahnya pada 2019, BCA memang bukan pemain yang cuma duduk diam.

Dalam satu tahun saja, BCA berhasil melahap dua bank sekaligus. Setelah pada April 2019 resmi mengakuisisi PT Bank Royal Indonesia, pada 11 Desember 2019, BCA kembali bikin kejutan dengan mengakuisisi PT Rabobank Indonesia. Kesepakatan ini muncul di tengah rencana Rabobank menghentikan operasinya di Indonesia. BCA langsung bergerak cepat mengambil alih aset-aset yang dinilai strategis. Dengan track record seperti ini, tak heran jika pasar menilai BCA tetap berpeluang besar melanjutkan aksi akuisisinya ke depan, entah di ranah digital banking, UMKM, atau bahkan syariah.

2. Teknologi

Sektor teknologi selalu jadi magnet merger, apalagi di era kompetisi super ketat seperti sekarang. PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), meskipun sudah besar, tetap masuk radar pembicaraan merger atau akuisisi. Kemungkinan itu beralasan mengingat rumor konsolidasi atau merger dengan Grab di Asia Tenggara terus menjadi pembicaraan. Isu ini bukan barang baru, sudah beberapa kali mencuat sejak 2020, tapi kali ini, kabarnya makin serius. Rumornya, Grab Holdings Ltd sedang mempertimbangkan potensi pengambilalihan GoTo dengan valuasi lebih dari USD7 miliar atau setara sekitar Rp114,1 triliun. Kalau benar terlaksana, ini akan melahirkan salah satu perusahaan raksasa di Asia Tenggara.

Di balik kabar merger ini, sebenarnya ada kekhawatiran investor yang mulai lelah menunggu titik balik. Selama ini, baik GoTo maupun Grab berjuang di lini bisnis yang nyaris tidak berbeda. Keduanya sama-sama berbisnis di bidang pengantaran orang, makanan, hingga barang. Mereka terus bersaing mati-matian sehingga sulit menaikkan harga. Konsumen menjadi sangat sensitif. Begitu satu platform coba menaikkan tarif, pengguna langsung pindah ke kompetitor. Dalam situasi seperti ini, salah satu jalan keluar yang paling realistis adalah berhenti bersaing dan mulai bersekutu melalui merger.

Selain GOTO, PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) juga makin menarik dilirik sejak muncul kabar bahwa Temu—aplikasi marketplace asal China—tengah menjajaki kemungkinan akuisisi untuk masuk pasar Indonesia. Biar tak cuma ikut-ikutan hype, mari kita bedah kenapa analis melihat BUKA sebagai target yang seksi.

Menurut analisis Mirae Asset Sekuritas, BUKA itu ibarat permata yang tersembunyi. Sebab mereka kuat di pasar tier dua atau kota-kota yang jarang disentuh Shopee atau Tokopedia. Ini pas banget dengan apa yang dicari Temu, yakni jalur cepat untuk memperluas pasar tanpa harus capek bangun dari nol. Tambah lagi, produk-produk Temu dianggap selaras dengan pasar Bukalapak. Jadi kalau digabung, potensinya bisa saling melengkapi.

Dari sisi angka, Mirae Asset sudah menghitung detailnya pakai model discounted cash flow (DCF). Bahasa gampangnya, ini metode buat memprediksi seberapa besar nilai bisnis di masa depan, lalu dihitung balik ke nilai sekarang. Mirae menghitung nilai bisnis marketplace dan online to offline (O2O) Bukalapak dalam jangka 10 tahun. Hasilnya, nilai perusahaan diperkirakan Rp1,68 triliun, sementara nilai ekuitasnya sekitar Rp14,4 triliun.

Setelah disesuaikan dengan posisi kas dan utang, valuasi ini menyiratkan bahwa Bukalapak diperdagangkan di EV/pendapatan sekitar 0,34 kali untuk tahun 2024. Bandingkan, perusahaan sejenis di luar negeri rata-rata dihargai 0,92 kali setelah diskon. Artinya? Bukalapak saat ini secara valuasi jauh lebih murah dibandingkan kompetitor global. Dari kacamata calon pembeli seperti Temu, ini kayak bertemu dengan barang bagus di toko diskon—harganya di bawah rata-rata, tapi potensinya besar kalau dipoles.

Yang menarik, analis Mirae menilai Temu kemungkinan cuma tertarik pada segmen marketplace Bukalapak saja. Kenapa? Karena unit bisnis lain dinilai kurang cocok dengan strategi Temu. Jadi kalau nanti benar terjadi akuisisi, mungkin saja hanya lini pasarnya yang diambil, sementara bagian lain didivestasi. Dalam jangka panjang, langkah ini dinilai bisa menguntungkan kedua pihak. Temu dapat akses cepat ke pasar, sementara Bukalapak bisa fokus berbenah dengan sumber daya yang lebih ramping.

3. Energi

Sektor energi menjadi sorotan utama, khususnya sejak munculnya tekanan global menuju transisi energi hijau. PT United Tractors Tbk (UNTR), meski sudah bergerak agresif dengan akuisisi di sektor tambang dan panas bumi, diperkirakan masih akan melanjutkan ekspansi lewat akuisisi tambahan. Perusahaan ini punya neraca keuangan kuat yang memungkinkan mereka membeli aset energi baru terbarukan lain untuk mempercepat diversifikasi portofolio.

Selain UNTR, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) juga jadi sorotan, tapi bukan sebagai target akuisisi — justru sebaliknya, merekalah yang agresif berburu peluang untuk mengakuisisi dan memperluas bisnisnya. Mereka sudah mengalokasikan belanja modal alias capex sekitar USD300 juta atau setara Rp4,61 triliun (asumsi kurs Rp15.373 per dolar AS) khusus untuk aksi merger dan akuisisi.

Tadinya, salah satu rencana akuisisi mereka adalah mengincar blok panas bumi Sorik Marapi milik PT Sorik Marapi Geothermal Power. Tapi belakangan, rencana itu batal dan PGEO malah mulai memutar haluan ke proyek-proyek lain yang tak kalah menarik. Salah satu target terdekat mereka ada di Turkiye, di mana PGEO sudah meneken Non-Disclosure Agreement (NDA) dengan Kipas Holding. Turkiye ini menarik karena pemerintahnya menawarkan kebijakan feed-in tariff—semacam subsidi yang bikin investasi energi terbarukan lebih cuan buat investor asing. PGEO sekarang lagi mengecek segala aspek komersial, legal, dan akuntansi lewat proses due diligence. Kalau semuanya cocok, mereka bakal lanjut. Kalau tidak, bakal dikaji ulang.

Selain Turkiye, PGEO juga bergerak ke Afrika, tepatnya Kenya. Tahun ini, mereka berencana memulai pengeboran sumur panas bumi di lapangan Suswa, wilayah Narok, lewat kerja sama dengan Geothermal Development Company (GDC). Proyek ini diperkirakan butuh investasi sekitar USD200 juta dengan potensi kapasitas setrum mencapai 100–300 megawatt. Kalau negosiasinya mulus, PGEO bakal dapat hak pengendali penuh. Kalau dijumlahkan, potensi gabungan proyek di Turkiye dan Kenya bisa mencapai kapasitas 640 megawatt—angka yang jelas bikin investor melek.

Menariknya, PGEO tak hanya mengandalkan akuisisi. Mereka juga menyiapkan dana sekitar USD247 juta (Rp3,98 triliun) khusus untuk pengembangan organik alias mengoptimalkan aset-aset yang sudah ada. Duit ini antara lain mengalir ke proyek Lumut Balai, Hululais, Kotamobagu, Lahendong, dan perawatan aset di Kamojang, Ulubelu, Karaha, Sibayak, sampai Lumut Balai. Jadi, PGEO ini main di dua jalur sekaligus, yakni akuisisi untuk tumbuh cepat, plus pengembangan organik biar fondasi bisnis makin kokoh.

Layak Dikoleksi atau Tidak?


Sekilas, saham-saham yang masuk radar akuisisi atau merger memang menggoda. Siapa yang tak tergiur kalau dengar saham-saham ini punya peluang lonjakan harga dalam waktu singkat? Tapi, sebagai investor ritel, jangan asal ikut arus.

Pertama, peluangnya jelas ada. Ketika sebuah emiten masuk kabar akan diakuisisi, apalagi oleh pemain besar, pasar langsung memproyeksikan kenaikan valuasi dan ekspansi bisnis. Saham target biasanya naik duluan, bahkan sebelum kesepakatan resmi. Buat yang pintar memanfaatkan momentum, ini bisa jadi cuan cepat.

Tapi ingat, risiko juga tak kalah besar. Tidak semua rumor berujung jadi kenyataan. Sering kali kabar akuisisi cuma jadi spekulasi pasar, lalu hilang ditelan waktu. Kalau sudah terlanjur beli di harga atas, terus kesepakatannya batal, investor kecil yang panik bisa jadi korban. Selain itu, ada risiko lain, yakni apakah perusahaan hasil merger atau akuisisi ini benar-benar bisa menciptakan sinergi yang menjanjikan? Tentu ada kasus di mana integrasi malah bikin masalah, mulai dari benturan budaya perusahaan, gagal menyatukan teknologi, sampai beban utang yang membengkak.

Tips hadapi saham akuisisi. Infografis dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

Buat investor ritel, strategi terbaik bukan cuma ikut-ikutan beli saham yang “katanya bakal diakuisisi” atau terlibat merger. Yang lebih penting adalah:

  1. Cek fundamental perusahaannya. Apakah mereka memang layak jadi target, atau malah mereka yang agresif sebagai pengakuisisi? Misalnya, saham seperti PGEO atau UNTR justru menarik bukan karena bakal dibeli, tapi karena mereka rajin memperluas bisnis lewat akuisisi strategis.
  2. Periksa valuasinya. Jangan langsung tergoda beli saham yang harganya sudah lonjak karena rumor. Untuk saham yang mengakuisisi, lihat apakah mereka punya modal cukup kuat atau malah terancam menambah utang. Kadang, aksi akuisisi justru bikin neraca makin berat kalau tak diperhitungkan baik-baik.
  3. Perhatikan siapa pasangannya. Kalau mereka mau merger atau akuisisi, siapa lawan mainnya? Kalau yang datang adalah pemain besar dengan reputasi kuat, peluang keberhasilannya lebih tinggi. Tapi kalau pasangannya bermasalah atau tak jelas, investor harus pasang radar waspada.
  4. Hitung potensi jangka panjang, bukan cuma sentimen jangka pendek. Saham pengakuisisi seringkali baru terlihat hasilnya setelah satu-dua tahun, bukan dalam hitungan hari. Investor ritel harus siap sabar dan punya horizon investasi yang lebih panjang kalau mau main di saham-saham ini.

Kesimpulan


Akuisisi dan merger memang selalu jadi cerita seru di pasar modal. Mereka memunculkan peluang besar, tapi juga risiko yang tak kalah besar. Investor ritel harus cerdas, jangan cuma tergoda euforia, tapi pahami konteks, cek fundamental, dan siapkan strategi matang.

Saham-saham seperti BBCA, BBYB, GOTO, BUKA, UNTR, hingga PGEO mungkin saja membuka jalan ke potensi pertumbuhan baru. Tapi di sisi lain, tanpa analisis yang jeli, mereka juga bisa jadi perangkap yang bikin portofolio merah menyala.

Di pasar modal, yang menang bukan yang paling cepat ikut-ikutan, tapi yang paling sabar dan paling paham kapan harus maju, kapan harus mundur. Jadi, siapkah kalian membaca arah angin berikutnya?(*)

Strategi investasi saham akuisisi. Komik dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).