KABARBURSA.COM - Setelah banyak pihak mempertanyakan kapan laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kinerja dan Fakta (APBN KiTa) Januari 2025 akan dirilis, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akhirnya buka suara.
Seharusnya, APBN KiTa diterbitkan setiap bulan pada pekan ketiga atau keempat. Namun, hingga Maret 2025, laporan untuk Januari 2025 belum juga dipublikasikan, memicu tanda tanya di kalangan publik.
Sebelumnya, Kemenkeu sempat menyebut laporan tersebut akan dirilis pada akhir pekan ini. Namun, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, memastikan bahwa publikasi baru akan dilakukan pada awal pekan depan, tepatnya Senin, 17 Maret 2025.
"Senin ya," ujarnya singkat saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 11 Maret 2025.
Meski begitu, Deni enggan memberikan keterangan lebih lanjut ketika ditanya detail mengenai keterlambatan laporan tersebut.
Rilis APBN KiTa Terlambat, Transparansi Keuangan Negara Merosot
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menilai keterlambatan ini sebagai indikasi melemahnya transparansi dalam pengelolaan keuangan negara, yang dapat berdampak pada kepercayaan investor dan stabilitas ekonomi.
Awalil menjelaskan bahwa selama beberapa tahun terakhir, laporan APBN Kita dirilis setiap bulan melalui konferensi pers yang disiarkan di kanal YouTube Kementerian Keuangan. Beberapa hari setelahnya, dokumen lengkap APBN Kita diunggah di laman resmi Kemenkeu, yang berisi rincian lebih mendalam dibandingkan paparan verbal dalam rilis bulanan. Namun, sejak awal 2025, pola ini terhenti tanpa penjelasan resmi.
"Rilis APBN Kita Januari 2025 yang memuat realisasi sementara APBN 2024 sudah dilakukan pada 6 Januari. Biasanya, beberapa hari setelahnya, dokumen lengkapnya diunggah. Namun, hingga kini, dua bulan berlalu, dokumen tersebut belum juga tersedia," ujar Awalil kepada Kabar Bursa, Jumat 7 Maret 2025.
Menurutnya, akibat keterlambatan ini, informasi penting terkait realisasi APBN 2024 belum dapat diakses publik. Ia menyoroti bahwa rilis verbal pada 6 Januari hanya bersifat umum, tanpa memberikan rincian belanja tiap kementerian/lembaga serta jenis belanja yang dilakukan pemerintah. Selain itu, data penerimaan perpajakan juga belum tersedia.
"Belum ada informasi mengenai realisasi pembiayaan investasi APBN 2024, pembiayaan utang, serta posisi utang pemerintah per akhir 2024. Ini menyulitkan kami para ekonom dalam melakukan analisis terhadap realisasi anggaran tahun lalu," jelasnya.
Keterlambatan ini dinilai semakin mengkhawatirkan mengingat belum adanya rilis APBN Kita edisi Februari 2025, yang seharusnya mengungkap realisasi APBN hingga akhir Januari. Padahal, beberapa kebijakan fiskal baru, seperti Instruksi Presiden (Inpres) 22 Januari dan Surat Edaran Menteri Keuangan (SE Menkeu) 24 Januari, telah diterbitkan, tetapi belum ditindaklanjuti dengan publikasi dokumen resmi yang mencerminkan perubahan dalam postur APBN.
"Realisasi bulan Januari semestinya belum mengikuti keputusan efisiensi baru karena dokumen resminya belum ada. Padahal, data ini bisa membantu publik memahami kondisi fiskal sebelum adanya perubahan lebih lanjut," tutur Awalil.
Ia juga memperingatkan bahwa ketidakjelasan ini berpotensi merugikan berbagai pihak, termasuk pelaku pasar dan mitra kerja pemerintah, yang membutuhkan data APBN sebagai acuan dalam pengambilan keputusan bisnis. Bahkan, menurutnya, birokrasi pemerintahan sendiri bisa mengalami kebingungan dalam menjalankan kebijakan fiskal.
"Tentu saja, langkah pemerintah untuk tidak mengumumkan kinerja APBN Januari dan Februari ini dapat berdampak buruk pada kepercayaan investor. Ini menimbulkan kesan bahwa ada upaya untuk mengolah lebih lanjut atau bahkan menyembunyikan data yang sensitif bagi publik dan investor," tegasnya.
Ia mencontohkan, tanpa data terbaru, sulit untuk mengetahui posisi utang pemerintah per akhir 2024 serta rasio utang terhadap PDB dibandingkan tahun sebelumnya. Begitu pula dengan besaran pembayaran bunga utang, yang berpengaruh pada debt service ratio atau rasio pembayaran utang terhadap pendapatan negara.
Lebih jauh, Awalil menilai bahwa keterlambatan ini mencerminkan kemunduran dalam transparansi pengelolaan keuangan negara. Ia menegaskan bahwa seharusnya DPR turut mempertanyakan hal ini kepada pemerintah.
"Ketidakjelasan ini membuat pemerintah seolah mundur jauh ke belakang dalam transparansi fiskal. DPR seharusnya mengambil peran dalam mengawasi dan menuntut pertanggungjawaban atas lambatnya publikasi laporan APBN," pungkasnya.
APBN 2025 Dijaga: Meski ‘Kencangkan Ikat Pinggang’
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 akan diupayakan tetap stabil meskipun Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan penghematan belanja pemerintah hingga Rp306,69 triliun.
Sri Mulyani menyatakan bahwa penghematan tersebut akan difokuskan pada belanja pemerintah, sementara proyeksi penerimaan negara tidak akan mengalami perubahan.
“Kalau postur diusahakan tidak, tetapi kan nanti kita juga akan sampaikan ke DPR pada saat nanti (laporan Semester I/2025),” ujar Sri Mulyani di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Sabtu 25 Januari 2025. Kemarin.
Rencana Efisiensi Belanja
Menurut Sri Mulyani, masing-masing kementerian/lembaga (K/L) saat ini sedang mengidentifikasi rencana efisiensi belanja yang akan dilakukan. Setelahnya, hasil identifikasi tersebut akan disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan terkait revisi anggaran berupa pemblokiran dana.
Setelah persetujuan diberikan, setiap K/L wajib melaporkan rencana efisiensi anggaran kepada Kementerian Keuangan paling lambat 14 Februari 2025.
Sri Mulyani juga mengungkapkan bahwa sebagian dari hasil penghematan anggaran tersebut mungkin akan dialokasikan untuk mendukung program unggulan Prabowo, yaitu makan bergizi gratis.
“BGN (Badan Gizi Nasional) kan merupakan instansi yang baru dibuat juga untuk melaksanakan sebuah tugas yang begitu besar dan rumit, memang perlu dibantu oleh banyak pihak, dan kita semuanya sedang memperkuatnya,” jelas Sri Mulyani.
Instruksi Penghematan dari Presiden
Instruksi penghematan belanja ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang diterbitkan pada 22 Januari 2024. Inpres tersebut mengatur efisiensi belanja hingga Rp306,69 triliun, yang terdiri dari pemangkasan belanja K/L sebesar Rp256,1 triliun dan pengurangan transfer ke daerah sebesar Rp50,59 triliun.
Dalam pelaksanaannya, Presiden Prabowo memerintahkan Sri Mulyani untuk menetapkan efisiensi anggaran belanja K/L, sementara Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian diminta memantau penghematan belanja oleh kepala daerah.
Jenis belanja yang diprioritaskan untuk dihemat meliputi belanja operasional perkantoran, pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin. Bahkan, Presiden meminta agar belanja perjalanan dinas dikurangi hingga 50 persen dan kegiatan seremonial diminimalkan.
Produk Domestik Bruto
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyoroti defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp507,8 triliun, atau setara dengan 2,29 persen dari produk domestik bruto (PDB).
“Dengan tambahan defisit APBN tentu menambah utang baru, yang pemerintahan baru akan bayar nantinya pokok utang berikut bunganya,” ujarnya melalui keterangan tertulis pada Rabu, 15 Januari 2025.
Anis mengungkap bahwa penerimaan pajak tahun 2024 tercatat hanya mencapai 97,2 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN, padahal selama tiga tahun berturut-turut sebelumnya, penerimaan pajak selalu sesuai dengan target.
“Rata-rata defisit tahun 2000-2004 hanya 1,75 persen, tahun 2005-2009 pada angka 0,80 persen, 2010-2014 sebesar 1,58 persen, sementara itu di dua periode pemerintahan Jokowi defisit meningkat tajam sebesar 2,32 persen rata-rata sepanjang 2015-2019, dan 3,39 persen di 2019-2024,” tambahnya.
Anis mengatakan pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo dinilai dapat memperbaiki kondisi ini, mengingat pada rezim sebelumnya, defisit APBN selalu mengalami lonjakan signifikan, bahkan sebelum pandemi pun, defisit sudah meningkat tajam di atas 2 persen.
“Semoga pemerintah Prabowo bisa memperbaiki, karena pada rezim sebelumnya defisit selalu melonjak, bahkan di era sebelum pandemi pun, defisit meningkat tajam di atas 2 persen,” jelas Anis.
Terkait pendapatan negara di tahun 2024 legislator PKS ini mengomentari penyataan Kemenkeu yang menyebut pendapatan negara tumbuh positif.
“Padahal rasio Pendapatan Negara atas PDB secara historis terlihat tidak ada kemajuan, bahkan cenderung menurun. Pada tahun 2014 sebesar 14,57 persen, kemudian di 2024 Rasio Pendapatan Negara atas PDB menurun hingga 12,50 persen,” katanya.
Anis juga mengungkapkan faktor menurunnya penerimaan pajak di tahun 2024 diantaranya karena pemerintah seolah tidak berdaya menghadapi tekanan gejolak global dan turunnya harga komoditas. Sementara di dalam negeri sendiri, fundamental ekonomi nasional juga tidak kunjung membaik.
“Terjadinya deflasi selama lima bulan berturut-turut menunjukkan efek dari lemahnya daya beli masyarakat akibat pertumbuhan penghasilan yang tidak signifikan serta turunnya pendapatan masyarakat selama tahun 2024,” katanya.
Sektor-Sektor Strategis
Ia juga menambahkan pemerintah baru perlu fokus pada upaya menstabilkan ekonomi terlebih dahulu, guna memastikan penerimaan negara dapat optimal. Selain itu, perhatian khusus juga diperlukan untuk menambal kebocoran pajak, terutama di sektor-sektor strategis seperti sawit, pertambangan, dan bidang sumber daya alam (SDA) lainnya.
“Pemerintah baru perlu menstabilkan ekonomi terlebih dahulu, agar penerimaan negara optimal, selain itu pemerintah perlu menambal kebocoran pajak seperti di sektor sawit, tambang, dan bidang sumber daya alam (SDA) lainnya,” pungkasnya.(*)