Logo
>

Soal BI Borong SUN, Ekonom: Ada Skema Burden Sharing yang Berbeda

Ditulis oleh Deden Muhammad Rojani
Soal BI Borong SUN, Ekonom: Ada Skema Burden Sharing yang Berbeda

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Langkah Bank Indonesia (BI) memborong Surat Utang Negara (SUN) senilai Rp150 triliun masih menuai sorotan dari sejumlah ekonom. Kebijakan ini dinilai sebagai upaya darurat untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan menekan yield SUN, di tengah rencana pemerintah menambah utang jumbo pada tahun depan.

    Hanya saja, langkah ini oleh sejumlah ekonom dinilai berisiko tinggi dan dapat memperberat beban ekonomi di bawah pemerintahan Prabowo Subianto. Mereka menilai, operasi pembelian SUN saat ini mirip dengan kebijakan quantitative easing (QE) yang diterapkan saat pandemi.

    Tetapi, ada skema burden sharing yang berbeda dari sebelumnya. Jika dulu skema pembelian SUN ini secara langsung digunakan untuk mendanai APBN, pembelian SUN kali ini lebih berfokus pada menjaga stabilitas pasar keuangan, bukan untuk mendukung belanja pemerintah.

    “Pada dasarnya, kedua kebijakan itu memiliki risiko yang berbahaya, karena sama-sama menginjeksi likuiditas langsung dari bank sentral dan bukan dari perekonomian. Secara harfiah sama saja dengan mencetak uang. Dalam burden sharing, yang mendapat “rupiah segar” tersebut secara langsung adalah pemerintah, sedangkan dalam operasi moneter ini yang mendapatkan rupiah baru adalah sektor swasta,” kata Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana, kepada Kabarbursa.com melalui sambungan telepon, Selasa, 14 Januari 2025.

    Operasi moneter tersebut ditujukan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dan menjaga agar yield SUN tidak melonjak. Namun, di sisi lain, langkah ini tetap berisiko karena pada dasarnya sama dengan mencetak uang dan menyuntikkan likuiditas langsung ke pasar.

    Risiko Kredibilitas dan Inflasi Mengintai

    Andri melanjutkan, akan sulit mengontrol injeksi likuiditas langsung oleh BI kepada pemegang SUN. Meskipun BI berencana menyerap kembali likuiditas tersebut saat SUN jatuh tempo, risiko terhadap independensi dan kredibilitas BI tetap menjadi perhatian.

    Selain itu, injeksi dana dalam jumlah besar ini berpotensi memicu inflasi. Meskipun saat ini inflasi terlihat rendah, kondisi tersebut bukan disebabkan oleh harga kebutuhan pokok yang stabil, melainkan akibat lesunya daya beli masyarakat.

    “Dampak ekspansif dari kebijakan ini tidak akan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor riil. Berbeda dengan kebijakan penurunan suku bunga, injeksi likuiditas ini sulit merangsang pertumbuhan sektor swasta, khususnya UMKM,” tambahnya.

    Berdasarkan APBN 2025, pemerintah berencana menambah utang sebesar Rp775,87 triliun, angka terbesar dalam sejarah di luar masa pandemi. Kondisi ini memaksa pemerintah untuk menjaga agar yield SUN tidak meningkat, karena beban bunga utang akan semakin berat.

    Saat ini saja, sekitar 19,50 persen dari total belanja APBN dialokasikan hanya untuk membayar bunga utang, meningkat drastis dari 9,94 persen pada tahun 2014. Jika yield SUN naik dan rupiah terus melemah, beban fiskal pemerintah akan semakin berat.

    “Jika yield SUN terus melonjak, biaya bunga utang akan semakin tinggi. Pemerintah bisa semakin ngos-ngosan dalam mengelola fiskal, apalagi pertumbuhan ekonomi belum solid,” jelas Andri.

    Dilema Kebijakan Moneter

    BI tampaknya memilih injeksi likuiditas melalui pembelian SUN dibandingkan menurunkan suku bunga. Penurunan suku bunga dinilai berisiko memperlemah rupiah dan meningkatkan yield SUN, sementara pembelian SUN diharapkan dapat menjaga stabilitas pasar obligasi tanpa langsung mempengaruhi biaya modal.

    Namun, langkah ini dinilai tidak efektif dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

    “Likuiditas yang masuk ke pemegang SUN belum tentu mengalir ke sektor riil. Ini hanya menjadi solusi jangka pendek untuk meredam gejolak pasar, bukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif,” tegas Andri.

    Dengan membengkaknya beban bunga utang dan risiko inflasi, pemerintahan Prabowo diprediksi menghadapi tantangan fiskal yang berat. Stabilitas rupiah dan pengendalian yield SUN menjadi prioritas, namun strategi yang diambil tetap menyimpan risiko besar.

    Andri berharap pemerintah berhati-hati dalam mengelola utang. Langkah BI membeli SUN mungkin bisa jadi solusi sementara, tapi tidak menyelesaikan akar masalah. Tanpa strategi pembiayaan yang berkelanjutan, beban fiskal akan semakin berat.

    BCA Beri Respons Positif

    Di lain pihak, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menyambut positif langkah yang diambil oleh Bank Indonesia (BI) dengan membeli Surat Utang Negara (SUN) senilai Rp150 triliun. Executive Vice President (EVP) Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F Haryn, menyampaikan bahwa aksi ini merupakan langkah strategis yang sangat penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional, terutama di tengah tantangan ekonomi global yang sedang berlangsung.

    "Langkah BI untuk membeli SUN senilai Rp150 triliun sangat penting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Pembelian tersebut kami harapkan akan memberikan tambahan likuiditas bagi pasar, yang pada gilirannya dapat menjaga stabilitas nilai tukar rupiah," ujar Hera dalam pesan singkat kepada Kabarbursa.com, Selasa, 7 Januari 2025.

    Hera juga menegaskan bahwa BCA akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan regulator untuk memastikan bahwa langkah tersebut memberikan dampak positif tidak hanya bagi bank, tetapi juga bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

    Sebagai bank swasta terbesar di Indonesia, BCA memiliki peran krusial dalam mendukung stabilitas ekonomi negara. Dengan jaringan luas dan layanan keuangan yang mencakup berbagai kebutuhan, baik personal maupun bisnis, BCA terus berkomitmen untuk menjaga posisinya sebagai pemimpin di sektor perbankan.

    Sebagian besar saham BCA dimiliki oleh PT Dwimuria Investama Andalan (54,94 persen), sementara sisanya dimiliki oleh masyarakat dan pihak terkait lainnya (45,06 persen).

    Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi, juga menyebutkan bahwa langkah BI membeli SUN merupakan upaya yang tepat di tengah ketidakpastian ekonomi yang terjadi. Menurut Ibrahim, mayoritas SUN yang jatuh tempo dimiliki oleh investor domestik, dan jika pemerintah gagal membayar, dampaknya akan sangat signifikan, terutama bagi bank-bank swasta yang memiliki banyak SUN tersebut, termasuk BCA.

    Ibrahim menambahkan, langkah BI ini sangat membantu memastikan bahwa bank-bank swasta, termasuk BCA, tetap menerima hak pembayaran atas SUN yang jatuh tempo.

    "Langkah BI ini, meski secara tidak langsung, akan memberikan manfaat kepada bank-bank swasta, terutama yang memegang jumlah besar SUN. Tanpa langkah ini, risiko ketidakpastian pembayaran akan sangat berdampak pada sektor perbankan dan pengusaha lokal. Dengan intervensi ini, BI memastikan stabilitas tetap terjaga dan semua emiten pemegang SUN dapat menerima haknya tanpa gangguan," kata Ibrahim yang juga menjabat sebagai Direktur PT Laba Forexindo Berjangka.

    Secara keseluruhan, langkah strategis BI diharapkan dapat memperkuat pondasi ekonomi Indonesia, menjaga likuiditas pasar keuangan, dan memberikan jaminan stabilitas bagi berbagai sektor, termasuk sektor perbankan.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Deden Muhammad Rojani

    Vestibulum sagittis feugiat mauris, in fringilla diam eleifend nec. Vivamus luctus erat elit, at facilisis purus dictum nec. Nulla non nulla eget erat iaculis pretium. Curabitur nec rutrum felis, eget auctor erat. In pulvinar tortor finibus magna consequat, id ornare arcu tincidunt. Proin interdum augue vitae nibh ornare, molestie dignissim est sagittis. Donec ullamcorper ipsum et congue luctus. Etiam malesuada eleifend ullamcorper. Sed ac nulla magna. Sed leo nisl, fermentum id augue non, accumsan rhoncus arcu. Sed scelerisque odio ut lacus sodales varius sit amet sit amet nibh. Nunc iaculis mattis fringilla. Donec in efficitur mauris, a congue felis.