KABARBURSA.COM - Rencana penerapan terhadap PPh Pasal 22 terhadap pedagang di e-commerce dinilai akan menggeser aktivitas jual beli. Diketahui, kebijakan ini mengharuskan pengusaha dengan omzet tahunan Rp500juta hingga Rp4,8 miliar membayar pajak sebesar 0,5 persen
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, pengenaan pajak tersebut bisa mendorong penjual berpindah platform.
"Salah satunya ke social commerce di mana tidak ada biaya admin maupun perpajakan," ujar Huda kepada KabarBursa.com, Selasa 1 Juli 2025.
Huda mengaku beberapa waktu lalu dirinya sempat menyinggung potensi pergeseran aktivitas jual beli dari ecommerce ke social commerce ketika ada Peraturan Pemerintah (PP) yang relevan dengan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Pasalnya, kata dia, secara pasar pun ternyata banyak pelaku usaha yang telah memanfaatkan social commerce untuk berjualan. Namun demikian, kepercayaan menjadi kunci di social commerce.
"Salah satu kelemahan social commerce adalah penghindaran dari kasus penipuan. Kasus penipuan di social commerce sering terjadi dimana barang yang dibeli tidak sesuai," ungkapnya.
Maka dari itu, Huda menyebut banyak dari konsumen ketika membeli barang mahal cenderung memilih ecommerce atau cash on delivery dengan seller.
Hal itu dilakukan lantaran mereka menghindari penipuan, barang tidak sesuai, dan lain sebagainya. Sebab, platform e-commerce mempunyai otoritas untuk menangani hal tersebut.
"Berbeda dengan platform media sosial yang cenderung tidak punya kewenangan," katanya.
Meski memiliki potensi perpindahan aktivitas jual beli, Huda menyatakan dukungannya dengan rencana pemberian pajak terhadap pedagang di e-commerce. Menurutnya, kebijakan ini memang baiknya mengikat ke pengusaha, baik jualan daring ataupun luring.
"Sehingga terjadi level of playing field yang sama dan tidak ada pengkhususan bagi penjual daring. Jika penjual tersebut omzet-nya Rp1 miliar, masa tidak dipajakin? Kan harusnya dipajakin juga," tandasnya.
Jadi, lanjut Huda, bukan dari potensi penerimaan yang diprediksi di angka Rp500 miliar hingga Rp1 triliun, namun dari sisi kesamaan regulasi antara penjual di toko daring dan luring.
Huda kemudian mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut sebanyak 82,97 persen pelaku usaha di ecommerce mempunyai pendapatan kurang dari Rp300 juta
Rinciannya ialah 14,4 persen mempunyai pendapatan Rp300 juta hingga Rp2,5 miliar, 2,42 persen memiliki pendapatan Rp2,5-50 miliar. Dan hanya 0,21 persen mempunyai pendapatan lebih dari Rp50 miliar.
"Saya rasa sebagian besar pelaku usaha di e-commerce memiliki pendapatan di bawah Rp500 juta. Jadi memang potensi penerimaan negaranya kecil, tapi yang pasti adalah harus ada kesetaraan peraturan," pungkasnya.
Pajak E-Commerce Baru Disorot, UMKM Lokal Terancam
Sementara itu Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menuturkan, langkah pemerintah menarik pajak dari marketplace memang berupaya menutup celah shadow economy domestik.
Namun, ia menilai pendekatan ini terlalu parsial karena tidak menyasar perusahaan global yang selama ini mendominasi ekonomi digital Indonesia.
“Kita harus jujur melihat kenyataan: revenue digital Indonesia lebih banyak disedot oleh raksasa global seperti Google, Meta, Apple, dan Netflix,” ujar Achmad dalam keterangannya, Minggu, 29 Juni 2025.
Ia menambahkan, PPN PMSE yang selama ini dikenakan hanya menyasar konsumsi, bukan laba besar yang ditarik ke luar negeri tanpa kontribusi fiskal memadai.
Achmad menyayangkan bahwa pedagang kecil dan menengah di marketplace lokal justru menjadi fokus utama pemungutan pajak, padahal perputaran uang terbesar justru berada di tangan pemain global.
“Di sinilah letak ketimpangan fiskal kita. Pemerintah seperti hanya fokus pada yang paling mudah dijangkau, bukan yang paling besar memberikan kontribusi nilai ekonomi,” jelasnya.
Dalam konteks ini, Achmad menilai Indonesia bisa belajar dari kebijakan Digital Services Tax (DST) yang diterapkan Kanada. Negara tersebut memberlakukan pajak 3 persen untuk pendapatan digital perusahaan global dengan ambang batas tertentu, bahkan berlaku secara retroaktif.
“Kebijakan Kanada menunjukkan bahwa keberanian fiskal dan kedaulatan negara dapat ditegakkan meskipun risikonya tinggi, termasuk kemungkinan retaliasi dari Amerika Serikat,” terang Achmad.(*)