Logo
>

Sritex Pailit, Permendag 8/2024 Ancaman Industri Tekstil Nasional?

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Sritex Pailit, Permendag 8/2024 Ancaman Industri Tekstil Nasional?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak permohonan kasasi PT Sri Rejeki Isman atau Sritex (SRIL).

    Putusan ini memperkuat status pailit yang sebelumnya diputuskan oleh Pengadilan Niaga Semarang. Pailit ini berawal dari gugatan kreditur, PT Indo Bharat Rayon.

    Selain persoalan hukum, Sritex menyoroti dampak signifikan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 terhadap industri tekstil. Peraturan ini dianggap memicu penutupan sejumlah pabrik tekstil di Indonesia.

    Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PKS Amin Ak mengkritik kebijakan tersebut. Ia menyebutkan bahwa Permendag 8/2024 berpotensi melemahkan daya saing industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.

    "Kebijakan ini harus diharmonisasikan dengan upaya revitalisasi dan peningkatan daya saing industri TPT dalam negeri," kata Amin Ak, Jumat, 20 Desember 2024.

    Amin menilai penghapusan persyaratan pertimbangan teknis (pertek) dalam impor, sebagaimana diatur dalam Permendag 8/2024, memperbesar ancaman bagi industri lokal. Akibatnya, produk impor semakin membanjiri pasar domestik, sementara pelaku industri terpaksa beralih menjadi pedagang.

    “Kebijakan ini tidak hanya menurunkan semangat pelaku industri, tetapi juga memperburuk deindustrialisasi. Banyak pabrik tekstil dan alas kaki tutup sejak awal 2024, menyebabkan puluhan ribu pekerja kehilangan pekerjaan,” ungkap Amin.

    Menurut laporan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), sekitar 20.000 kontainer pakaian impor dari China telah masuk ke Indonesia sejak Permendag ini berlaku. Akibatnya, 30 perusahaan tekstil gulung tikar, dan 7.200 karyawan di-PHK. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat total 13.800 pekerja di sektor tekstil terkena PHK sejak Januari 2024.

    Amin juga mengungkapkan bahwa ketidakpastian regulasi membuat investor ragu menanamkan modal di Indonesia. Salah satu contoh adalah investasi Tongkun Group dari China yang hingga kini belum terealisasi.

    “Jika kondisi ini terus dibiarkan, industri tekstil bisa kolaps. Indonesia akan terjebak dalam deindustrialisasi dan bergantung pada pengelolaan sumber daya alam seperti batu bara dan mineral lainnya,” pungkas Amin.

    Kasasi Sritex Ditolak MA

    Kasasi ditolak, manajemen PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) langsung bergerak cepat. Sritex berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

    Seperti diberitakan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi Sritex terkait keputusan Pengadilan Niaga Semarang yangn memailitkan mereka.

    Putusan MA tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Agung Hamdi bersama Hakim Agung Nani Indrawati dan Lucas Prakoso pada 18 Desember 2024.

    Merespons putusan tersebut, Sritex menyatakan telah melakukan konsolidasi internal dan memutuskan untuk melanjutkan langkah hukum melalui PK.

    Direktur Utama Sritex Iwan Kurniawan Lukminto menegaskan bahwa upaya hukum ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan usaha dan melindungi sekitar 50.000 karyawan perusahaan.

    “Langkah hukum ini tidak semata untuk kepentingan perusahaan, tetapi juga demi aspirasi seluruh keluarga besar Sritex,” kata Iwan Kurniawan melalui siaran persnya yang diterima Kabar Bursa, Jumat, 20 Desember 2024.

    Iwan menjelaskan, selama proses kasasi, perusahaan berkomitmen mempertahankan operasional tanpa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), sesuai arahan pemerintah.

    “Kami berusaha semaksimal mungkin menjaga situasi perusahaan tetap kondusif, meski ada keterbatasan akibat status pailit. Waktu dan sumber daya yang tersedia sangat terbatas,” ujar Iwan.

    Iwan berharap pemerintah dapat memberikan keadilan hukum yang mempertimbangkan aspek kemanusiaan, sehingga Sritex dapat terus melanjutkan kegiatan usaha dan berkontribusi bagi industri tekstil nasional.

    “Kami berharap dukungan pemerintah untuk menjaga keberlanjutan operasional kami demi kemajuan industri tekstil Indonesia,” ucapnya.

    PHK Massal di Industri Tekstil pada 2025

    Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh di sektor tekstil dan garmen semakin nyata. Kekhawatiran ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menaikkan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen dan penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai Januari 2025.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, ancaman PHK menjadi tantangan serius, terutama bagi industri padat karya.

    “Potensi PHK menjadi salah satu masalah utama yang perlu mendapat perhatian serius,” kata Shinta dalam konferensi pers Outlook Perekonomian Apindo 2025 di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024.

    Shinta juga menyoroti penurunan signifikan jumlah kelas menengah di Indonesia. Data menunjukkan, populasi kelas menengah pada 2019 mencapai 57,33 juta orang, namun angka tersebut merosot menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Menurutnya, kelas menengah memiliki peran strategis sebagai penggerak utama konsumsi domestik.

    Selain itu, kebijakan tarif PPN 12 persen dinilai Shinta dapat memperburuk situasi ekonomi. Ia juga mengkritik inkonsistensi regulasi ketenagakerjaan, termasuk kenaikan UMP 6,5 persen, yang dianggap kurang transparan dalam proses penetapannya.

    “Industri padat karya, terutama tekstil dan garmen, paling terdampak. Banyak PHK terjadi akibat kondisi sektor ini yang sudah melemah,” ujarnya.

    Untuk meringankan beban pengusaha, Shinta mengusulkan sejumlah insentif, seperti pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) badan untuk industri padat karya, serta subsidi iuran BPJS Ketenagakerjaan.

    “Kami telah mengajukan usulan insentif ini karena memahami sulitnya pemerintah mengubah kebijakan yang telah ditetapkan,” jelas Shinta.

    Meski begitu, Apindo memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 akan berada di kisaran 4,9 persen hingga 5,2 persen (yoy). Proyeksi ini mempertimbangkan kondisi global yang belum stabil, tingginya inflasi dunia, serta tantangan domestik, seperti ancaman PHK, tekanan kenaikan PPN, dan meredupnya performa komoditas unggulan, seperti minyak kelapa sawit (CPO) dan batu bara. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.