KABARBURSA.COM – Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Chatib Basri, menekankan pentingnya optimalisasi kebijakan fiskal melalui dua jalur utama belanja negara yang tepat sasaran dan perbaikan administrasi perpajakan.
Hal ini disampaikan dalam forum The Yudhoyono Institute bertema Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan, dan Ekonomi Global.
Chatib menyebutkan dalam jangka pendek seperti periode 90 hari penundaan tarif dari Amerika Serikat, pemerintah harus fokus menyalurkan anggaran ke sektor-sektor yang memiliki efek pengganda tinggi dan mampu menyerap banyak tenaga kerja.
“Kalau ditanya apa yang bisa dilakukan segera, ya cari sektor dengan multiplier besar. Pariwisata contohnya. Tapi tidak hanya itu, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) juga layak didorong,” ujar Chatib dalam paparannya dikutip, Senin, 14 April 2025.
Menurutnya, belanja pemerintah ke sektor-sektor tersebut akan memberikan dukungan nyata terhadap perekonomian nasional, terutama dalam menjaga daya beli dan lapangan kerja di tengah tekanan global.
Bongkar Masalah Pajak: Fokus pada Kepatuhan, Bukan Tarif
Di sisi penerimaan negara, Chatib mengungkap bahwa inti permasalahan bukan pada besaran tarif, melainkan pada rendahnya kepatuhan pajak (tax compliance). Bahkan, menaikkan tarif justru tidak menjamin peningkatan penerimaan.
“Kalau tarif dinaikkan, penerimaan belum tentu naik. Kalau diturunkan, bisa jeblok. Jadi yang perlu dibenahi adalah kepatuhan wajib pajak,” tegas mantan Menteri Keuangan itu.
DEN, lanjutnya, telah merekomendasikan reformasi administrasi pajak kepada Presiden sejak tiga bulan lalu. Salah satu langkah cepat yang bisa dilakukan adalah memperbanyak Kantor Pajak Menengah, yang secara teknis dinilai mudah diterapkan oleh Kementerian Keuangan.
Selain itu, pemanfaatan teknologi juga menjadi fokus, termasuk kerja sama dengan GovTech untuk pemetaan perilaku wajib pajak melalui data pertukaran dengan sistem Payment ID.
“Kita bisa tahu ke mana pembayaran dilakukan, tahu perilaku pembayar pajak. Ini penting untuk profiling dan pengawasan,” jelasnya.
Chatib juga menyinggung ambang batas penghasilan kena pajak bagi UMKM yang saat ini berada di angka Rp4,8 miliar. Menurutnya, ambang batas ini idealnya diturunkan, namun sebelum itu dilakukan, pemerintah perlu mendorong integrasi dan pelaporan data secara menyeluruh.
“Secara politik memang sensitif. Tapi kalau data masuk, baru kita bisa bergerak lebih luas. Kalau langkah-langkah ini diterapkan, potensi penerimaan fiskal bisa meningkat tanpa harus langsung memperlebar defisit,” pungkasnya.
Stabilitas Sistem Keuangan Nasional
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendukung penuh langkah strategis pemerintah dalam menghadapi kebijakan tarif oleh Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia. Meski saat ini kebijakan tersebut ditangguhkan oleh Presiden Donald Trump selama 90 hari ke depan, OJK akan terus mencermati dengan seksama dinamika global.
“OJK mendukung penuh langkah-langkah strategis pemerintah dalam melakukan negosiasi dan memitigasi dampaknya terhadap perekonomian nasional," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam Konferensi Pers Asesmen sektor jasa keuangan dan kebijakan OJK berdasarkan hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) bulanan Maret 2025, Jumat 11 April 2025.
Mahendra menekankan bahwa fokus utama OJK adalah membantu menjaga stabilitas sistem keuangan nasional, mempertahankan kepercayaan pasar, serta menjaga daya saing dan momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global.
Dalam menghadapi situasi ini, OJK terus mempererat kerja sama dengan kementerian, lembaga, dan seluruh stakeholders terkait. Koordinasi ini dilakukan untuk merumuskan dan mengambil kebijakan strategis yang diperlukan, termasuk kebijakan yang secara khusus menyasar industri-industri yang terdampak langsung oleh kebijakan tarif baru dari AS.
“OJK terus menjalin kerja sama dengan kementerian, lembaga, maupun stakeholders terkait dalam merumuskan dan mengambil kebijakan strategis yang diperlukan, termasuk bagi industri-industri yang terdampak langsung oleh tarif resiprokal itu,” kata Mahendra.
Langkah strategis OJK dalam merespons dinamika global ternyata sejalan dengan upaya yang dilakukan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Di tengah ketidakpastian akibat kebijakan tarif dari Amerika Serikat yang dipimpin Presiden Donald Trump, BEI juga bergerak cepat menyusun strategi untuk menjaga kepercayaan pasar. Dari komunikasi publik hingga penyesuaian kebijakan teknis di lantai bursa, seluruh instrumen dikerahkan demi memastikan stabilitas tetap terjaga. Lantas, bagaimana sebenarnya strategi konkret BEI menghadapi gelombang tekanan global ini?
Strategi Bursa Efek Indonesia Hadapi Tarif Trump
Ketidakpastian global telah menghantui pasar modal Indonesia. Pemicunya kali ini adalah kebijakan tarif global dari Presiden AS Donald Trump, yang berdampak langsung pada aliran dana investor asing di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Menghadapi hal tersebut, Direktur Utama BEI Iman Rachman, memastikan pihaknya telah menyiapkan strategi berlapis, dari jangka pendek hingga panjang, demi menjaga kepercayaan pasar.
“Kalau kita bicara pasar modal, ini menarik bahwa indeks itu kan ada tiga hal yang mempengaruhi IHSG, satu faktor global, kedua faktor domestik, dan ketiga, fundamental dari perusahaan tersebut. Semuanya diramu menjadi persepsi investor atau confidence level,” ujar Iman dalam diskusi yang bertajuk Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia, Jumat 11 April 2025.
Iman menegaskan bahwa sebagai otoritas bursa, BEI tidak memiliki kemampuan intervensi langsung layaknya Bank Indonesia. Karena itu, langkah pertama yang diambil adalah penguatan komunikasi publik secara aktif.
“Jangka pendek yang kami lakukan mau tidak mau adalah komunikasi aktif dengan publik dan media. Jadi kalau Bapak Ibu lihat, kita berusaha aktif dibantu teman-teman media dan juga teman-teman ekonom untuk mengkomunikasikan kondisi daripada korporasinya,” jelas Iman.
Ia mengungkapkan, meskipun sentimen global cukup menekan, data menunjukkan bahwa sebagian besar emiten di BEI mencatatkan kinerja positif pada laporan keuangan 2024. Ini memperlihatkan bahwa fundamental perusahaan masih kuat dan layak untuk dipertimbangkan investor.
“Kalau kita lihat, sebagian besar perusahaan-perusahaan yang memasukkan laporan keuangan ternyata di 2024 itu positif, artinya mereka menunjukkan keuntungan,” kata Iman.
Tak hanya itu, selama masa libur, Iman menyebut ada lebih dari 35.000 investor baru yang masuk ke pasar, menandakan tingkat kepercayaan investor domestik masih tinggi.
"Artinya apa? bahwa confidence investor domestik cukup besar untuk bertransaksi di pasar modal," kata dia.(*)