KABARBURSA.COM - Kebijakan tarif tinggi yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap 185 negara sebagai bagian dari langkah untuk menekan ketimpangan neraca perdagangan AS dengan mitra-mitra dagangnya dinilai kontroversial dan membingungkan.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebut langkah Trump sebagai strategi yang spontan dan tidak terencana—bahkan diibaratkan seperti jurus dewa mabuk.
“Misalnya, semua dinaikkan, kemudian tiba-tiba kembali ke 10 persen dan ditunda 90 hari. Itu rencana seperti apa?” ungkap Wijayanto dalam acara KeyPoint Kabar Bursa dengan tema Teka-Teki Tarif Trump: Siapa Diuntungkan, Siapa Dirugikan? beberapa hari lalu. Jakarta, Rabu 23 April 2024.
Ia pun melihat kekhawatiran muncul dari reaksi yang berada di dalam negeri Amerika sendiri.
“Kalau kita lihat statement para menteri di Amerika, para tokoh, politisi yang pro-Trump, ketika berdiskusi, berdebat tentang isu-isu ini, nampak sekali mereka gamang. Mereka sendiri tidak tahu apa yang direncanakan oleh Trump ini,” kata dia.
Wijayanto pun khawatir bahwa Trump sendiri kemungkinan besar tidak mengetahui rencana apa yang sebenarnya akan dijalankannya. Ia menggambarkan langkah-langkah Trump seperti random walk, layaknya orang mabuk yang tidak jelas arah tujuannya.
“Jadi kalau ada yang mengatakan Trump ini menggunakan jurus dewa mabuk, ada benarnya juga," kata dia.
Wijayanto menyotori sikap strategis China dalam merespons tarif ugal-ugalan yang dikenakan Amerika Serikat. Di tengah tekanan yang meningkat, Negeri Tirai Bambu dinilai justru mengambil langkah yang lebih tenang dan terukur.
“China cerdas di sini, karena dia memposisikan diri sebagai the good guy, tidak menanggapi bully dari Amerika. Bahkan ada statement, China tidak mau perang tapi China siap untuk berperang,” ujarnya.
Kendati mendapat tekanan keras dari Washington, Beijing memilih untuk tidak membalas dengan agresivitas yang sama. Langkah ini, menurut Wijayanto, menunjukkan kecerdasan strategi komunikasi pemerintah China dalam membangun citra di mata komunitas internasional.
“Dari narasi-narasi yang dikeluarkan China, ini sudah memunculkan satu strategi komunikasi yang cerdas untuk membuka mata dunia: siapa the good guy, siapa the bad guy,” tegasnya.
Bentuk Pemutusan Hubungan Dagang
Untuk diketahui, ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China memanas setelah AS menaikkan tarif retaliasi menjadi 145 persen dari yang sebelumnya hanya 34 persen.
Sebagai balasan, China menaikkan tarif impor menjadi 125 persen. Namun, eskalasi tak berhenti di situ. Pada 15 April 2025, AS kembali menaikkan tarif menjadi 245 persen.
Melihat langkah ekstrem Amerika, Wijayanto menilai kebijakan tarif tersebut seolah menjadi bentuk pemutusan hubungan dagang secara tidak langsung.
“Kalau kita lihat tren terakhir, China tarifnya dinaikkan hingga 245 persen. Menaikkan tarif hingga 245 persen itu kan sama saja memutus hubungan dagang, karena tarif 245 persen itu nggak make sense,” kata Wijayanto.
Dengan kondisi seperti ini, Ia pun mengingatkan agar pemerintahan Indonesia tidak bereaksi berlebihan terhadap kebijakan yang tidak stabil yang bisa menjadi jebakan tersendiri untuk Indonesia .
“Ketika kita menghadapi orang yang tidak stabil, orang yang tantrum, ya harusnya tidak segera merespons,” terang Wijayanto.
Strategi Besar Amerika
Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China ternyata bukan sekadar urusan tarif dan neraca perdagangan.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebut perang dagang ini sebagai bagian dari strategi besar Amerika untuk mempertahankan posisinya sebagai satu-satunya kekuatan hegemonik dunia sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1991.
“Kalau kita lihat skenario besarnya, sebenarnya perang dagang antara Amerika dan China ini sudah bisa kita prediksi jauh hari,” kata Wijayanto dalam acara KeyPoint Kabar Bursa dengan tema Teka-Teki Tarif Trump: Siapa Diuntungkan, Siapa Dirugikan? Senin 21 April 2025.
Dalam pandangannya, langkah Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif dagang (termasuk kepada Indonesia sebesar 32 persen) bukanlah tindakan sepihak tanpa alasan. Melainkan, bagian dari agenda besar untuk menghambat akselerasi dominasi ekonomi China di tataran global.
“Sekarang ini China itu merupakan partner dagang penting bagi 120 negara, dan merupakan partner dagang terpenting nomor satu bagi hampir 20 negara di dunia,” tegas Wijayanto.
Di sisi lain, Wijayanto melihat Amerika itu mengalami kemerosotan peran ekonomi globalnya. Sehingga siapapun yang memimpin Amerika pasti berusaha untuk menghentikan China semasa Amerika bisa.
“Karena kalau terlambat, ini betul-betul nggak bisa di-stop. China will be unstoppable,” kata dia.
Wijayanto menegaskan bahwa perang dagang ini bukan sesuatu yang akan selesai dalam waktu dekat. Sebaliknya, konflik tersebut merupakan permusuhan struktural antara dua kekuatan besar dunia yang tidak akan berdamai.
“Saya rasa itu agenda besar,” ujarnya.(*)