Logo
>

Waswas Industri Dirgantara Akibat Proteksionisme Donald Trump

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Waswas Industri Dirgantara Akibat Proteksionisme Donald Trump

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Industri dirgantara global mulai bersiap menghadapi gelombang proteksionisme di bawah pemerintahan Presiden AS terpilih, Donald Trump. Di Eropa, waswas akibat proteksionisme ini mulai membayangi. CEO Airbus, Guillaume Faury, yang juga mengetuai asosiasi industri dirgantara Prancis GIFAS, menyebut rantai pasok sektor penerbangan belum sepenuhnya pulih dari hantaman pandemi.

    Dilansir dari Reuters di Jakarta, Kamis, 9 Januari 2025, Faury mengatakan Airbus diperkirakan akan mengumumkan jumlah pengiriman sebanyak 766 unit pesawat pada 2024—naik 4 persen dari tahun sebelumnya—namun bersamaan dengan itu, terjadi perlambatan pesanan setelah rekor tinggi pada 2023.

    Menurut Faury, industri ini menghadapi campuran tantangan dan peluang, yakni permintaan tinggi untuk pesawat komersial dan belanja pertahanan yang meningkat, kecuali di sektor antariksa Eropa. Di sisi lain, ada masalah rantai pasok, ketegangan geopolitik, dan persaingan yang makin ketat dari India dan negara-negara lain.

    Menjelang pelantikan Trump, industri dirgantara Eropa mulai bersiap melakukan perubahan besar menuju proteksionisme. Trump sudah mengancam akan memberlakukan tarif tinggi untuk barang-barang impor demi memperkuat ekonomi negaranya.

    Kenaikan tarif untuk pesawat baru bisa berujung pada peningkatan biaya operasional maskapai dan akhirnya membebani penumpang dengan harga tiket yang lebih mahal. Namun, para analis menilai perang dagang semacam ini lebih berisiko bagi Boeing dibanding Airbus. Hal ini karena produksi Boeing yang sebagian besar berpusat di AS membuatnya rentan terhadap tarif balasan yang dapat menekan permintaan dari maskapai luar negeri.

    “Boeing memiliki aktivitas nilai tambah yang sangat terbatas di luar AS, sehingga dampak perang dagang pada permintaannya bisa besar,” ujar analis dari Agency Partners, Nick Cunningham, dikutip dari Financial Times.

    [caption id="attachment_111903" align="alignnone" width="2017"] Dampak tarif Trump terhadap harga output untuk berbagai sektor industri. Sumber: Financial Times diolah KabarBursa.com.[/caption]

    Meski begitu, Cunningham memprediksi dampak tarif mungkin tidak terlalu signifikan karena baik Boeing maupun Airbus masih berjuang memenuhi backlog pesanan yang ada. “Maskapai mungkin membatalkan pesanan, tapi pertanyaannya, bisakah mereka menggantinya? Jadi, sulit melihat pihak yang benar-benar diuntungkan dari situasi ini,” katanya.

    Sumber Financial Times dari internal eksekutif maskapai AS mengungkapkan tarif ini tak akan mempengaruhi keputusan pemesanan pesawat baru. Sumber tersebut menjelaskan pesawat yang dipesan saat ini baru akan dikirim dan dibayar pada awal 2030-an sehingga keputusan tersebut lebih dipengaruhi faktor jangka panjang daripada siklus politik.

    Namun, ada kekhawatiran tersendiri. analis Vertical Research Partners, Robert Stallard, mengatakan tarif untuk pesawat baru hampir pasti akan berujung pada kenaikan harga tiket. Airbus, meski memproduksi pesawat A320neo dan A220 di Mobile, Alabama, tetap akan terkena imbas jika jet atau komponen impor dikenakan tarif tambahan.

    Sementara itu, Faury mengonfirmasi beban tarif baru nantinya akan diteruskan ke konsumen, seperti yang terjadi pada 2020 ketika pemerintahan Trump memberlakukan tarif sebagai buntut dari perselisihan perihal subsidi pesawat dengan Eropa.

    Pada Maret 2020, Leeham News and Analysis (LNA) melaporkan Airbus mengeluarkan biaya tarif sebesar sekitar USD22 juta (Rp352 miliar jika kurs Rp16.000) untuk tahun 2019---tahun pertama tarif tersebut diberlakukan. Sementara itu, Departemen Keuangan AS menghimpun total tarif senilai USD221 juta (Rp3,53 triliun) atas barang-barang yang diimpor dari Uni Eropa ke AS. Rata-rata, Airbus harus membayar pajak sebesar USD1,84 juta (Rp29,44 miliar) untuk setiap pesawat yang diimpornya.

    Tarif AS terhadap Uni Eropa, termasuk Airbus, serta tarif balasan dari Uni Eropa yang memukul Boeing, ditangguhkan pada 2021 ketika Joe Biden menjabat sebagai presiden. Setelah bertahun-tahun menghindari isu tersebut, baik perwakilan Uni Eropa maupun United States Trade Representative (USTR) akhirnya sepakat bahwa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) harus menyelidiki subsidi pemerintah China terhadap COMAC, perusahaan penerbangan milik negara.

    COMAC saat ini mengembangkan C919 yang dirancang untuk bersaing dengan Airbus A320 dan Boeing 737, serta C929 yang digadang-gadang akan menjadi rival Airbus A330neo dan Boeing 787. Namun, hingga kini belum ada gugatan perdagangan resmi yang diajukan terhadap China perihal isu tersebut.

    Terlepas dari hal tersebut, industri dirgantara Eropa masih diuntungkan oleh tingginya permintaan pesawat komersial dan lonjakan belanja pertahanan. Namun, sektor satelit menghadapi overkapasitas dan pemangkasan ribuan tenaga kerja.

    Faury menyoroti sulitnya memperoleh pembiayaan untuk perusahaan pertahanan Eropa, meskipun kondisi geopolitik—seperti perang di Ukraina—membutuhkan dukungan yang lebih besar. Pasca invasi Rusia, beberapa pelaku industri mendorong agar sektor pertahanan mendapat porsi lebih besar dalam portofolio investasi. Namun, sebagian investor yang mengutamakan keberlanjutan di Eropa tetap enggan mendukung industri ini.

    Sebagai pemimpin asosiasi dirgantara Prancis, Faury menyampaikan sejumlah permintaan kepada pemerintahan Perdana Menteri Francois Bayrou, seperti dukungan riset teknologi rendah emisi dan pengurangan beban pajak perusahaan.

    Faury yang sebelumnya merupakan eksekutif di industri otomotif, memperingatkan agar jangan sampai sektor penerbangan mengulangi kesalahan industri mobil Prancis. “Industri otomotif dulu punya surplus ekspor besar pada 2000, tapi akhirnya defisit signifikan. Jangan sampai hal itu terjadi di penerbangan,” katanya.

    Bagaimana dengan Industri Dirgantara Indonesia?

    [caption id="attachment_99188" align="alignnone" width="1091"] PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA). Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji.[/caption]

    Trump telah berulang kali mengancam akan memberlakukan tarif impor tinggi sebagai bagian dari kebijakan America First. Jika diterapkan, kebijakan ini dapat meningkatkan biaya masuk bagi produk asing, termasuk pesawat komersial dari Airbus. Langkah tersebut berpotensi mengurangi daya saing Airbus dibandingkan Boeing di pasar AS.

    Dari sisi pasar, harga saham Airbus bisa terpengaruh oleh sentimen negatif seiring kekhawatiran investor terhadap penurunan pesanan di wilayah Amerika Utara. Meski demikian, Airbus masih memiliki daftar pesanan global yang cukup besar, terutama dari Asia dan Afrika, yang dapat menjadi bantalan terhadap potensi gangguan di AS.

    Sementara itu, dampak proteksionisme juga bisa meluas ke sektor dirgantara di Indonesia. Seiring potensi pergeseran rantai pasok global, negara seperti Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan kontribusi dalam produksi komponen pesawat, mengingat rekam jejaknya dalam kerja sama manufaktur dengan Airbus dan industri terkait lainnya.

    Namun, potensi peningkatan ketegangan perdagangan global dapat menimbulkan risiko bagi ekspor komponen Indonesia ke Eropa dan Amerika Serikat. Selain itu, jika kebijakan proteksionisme memicu peningkatan belanja pertahanan global, industri dirgantara Indonesia dapat diuntungkan melalui peningkatan kerja sama dalam pengadaan komponen pertahanan.

    Sebagai catatan, kebijakan proteksionisme bukan hanya berdampak pada perusahaan Eropa, tetapi juga pada stabilitas rantai pasok global. Oleh karena itu, pemerintah dan pelaku industri dirgantara Indonesia diharapkan dapat terus memantau perkembangan ini untuk memitigasi risiko dan memanfaatkan peluang yang ada.

    Dilansir dari laman airbus.com, Airbus dan Indonesia memiliki hubungan kemitraan yang erat yang telah berlangsung lebih dari 40 tahun. Kolaborasi ini dimulai pada tahun 1979 saat Garuda Indonesia memesan pesawat A300B4 pertamanya.

    Saat ini, sekitar 190 pesawat Airbus melayani berbagai maskapai di Indonesia, seperti Garuda Indonesia (GIAA), beserta anak perusahaannya, Citilink, serta Indonesia AirAsia dan maskapai dari Lion Air Group. Selain armada yang telah beroperasi, maskapai dari Indonesia juga telah memesan lebih dari 200 pesawat Airbus untuk pengiriman di masa mendatang.

    Di segmen helikopter, Airbus memimpin dengan hampir 150 unit yang dioperasikan oleh lebih dari 30 operator di seluruh Indonesia. Armada helikopter tersebut mencakup berbagai model, mulai dari tipe ringan bermesin tunggal dan ganda hingga keluarga Dauphin dan Super Puma yang lebih besar.

    Hubungan Airbus dengan sektor pertahanan Indonesia juga cukup panjang. Sekitar 60 pesawat Airbus digunakan oleh angkatan bersenjata dan lembaga sipil untuk berbagai misi, seperti transportasi dan pengawasan maritim. Armada ini terdiri dari pesawat C212, CN235, dan C295, yang diproduksi di fasilitas PT Dirgantara Indonesia (PTDI) di Bandung.

    Pada 2022, Indonesia menambah kekuatan militernya dengan menjadi pelanggan baru untuk pesawat A400M generasi terbaru yang dirancang sebagai tanker multiperan dan pesawat angkut. A400M memiliki kemampuan lepas landas dan mendarat di landasan yang pendek dan tidak beraspal. Ini menjadikannya andalan bagi TNI AU untuk menjangkau wilayah terpencil dan menjalankan misi tanggap bencana.

    Tidak hanya sukses di sektor komersial, Airbus juga memperkuat posisinya sebagai mitra industri penerbangan terbesar di Indonesia. Berbagai perusahaan dirgantara Indonesia berkontribusi dalam penyediaan struktur dan komponen pesawat untuk seluruh lini produk Airbus, mulai dari pesawat komersial, militer, hingga helikopter.

    PT Dirgantara Indonesia (PTDI), misalnya, memproduksi komponen struktur untuk pesawat angkut medium-lift C295 dan mengelola jalur perakitan akhir untuk pesawat tersebut. Selain itu, PTDI juga menyuplai beragam komponen untuk keluarga pesawat A320 dan A350 jarak jauh, serta bagian badan pesawat utama dan boom ekor untuk helikopter H225 versi sipil dan militer.

    Memanfaatkan hubungan kemitraan yang sudah terjalin lama, Airbus dan PTDI telah menandatangani Nota Kesepahaman untuk mengeksplorasi peluang kemitraan yang lebih luas, khususnya di sektor pertahanan dan helikopter.

    Potensi Tekan Kinerja Maskapai Penerbangan Indonesia

    Kebijakan proteksionisme yang mungkin ditempuh Airbus di tengah tekanan global bisa berdampak pada sektor penerbangan Indonesia, termasuk emiten pasar modal seperti PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Meski dampaknya mungkin tidak terasa langsung, sejumlah risiko ekonomi dan operasional perlu diwaspadai.

    Salah satu potensi dampak langsungnya adalah kenaikan biaya pembelian pesawat dan komponen. Jika Airbus menaikkan harga untuk mengkompensasi kebijakan tarif yang lebih ketat, maskapai seperti GIAA yang mengoperasikan armada Airbus bisa menghadapi lonjakan belanja modal. Hal ini dapat mengganggu stabilitas keuangan perusahaan dan menekan margin laba. Selain itu, jika jalur produksi Airbus terganggu akibat proteksionisme, pengiriman pesawat baru juga berpotensi tertunda. Kondisi ini dapat menghambat rencana ekspansi dan pembaruan armada.

    Dari sisi dampak tidak langsung, proteksionisme dapat memicu penguatan dolar AS dan melemahkan nilai tukar rupiah. Mengingat mayoritas transaksi pembelian pesawat dan bahan bakar dilakukan dalam mata uang asing, fluktuasi kurs bisa memperbesar beban keuangan maskapai. Selain itu, kenaikan harga bahan baku seperti logam untuk produksi pesawat juga dapat berdampak pada biaya operasional, termasuk suku cadang dan perawatan.

    Kinerja Keuangan dan Saham Garuda Indonesia

    Kinerja keuangan Garuda Indonesia pada 2024 menunjukkan tantangan yang begitu berat. Berdasarkan data Stockbit, laba bersihnya masih mencatat angka negatif meskipun ada perbaikan di beberapa kuartal. Jika dilihat dari laporan laba rugi, pendapatan bersih pada kuartal I 2024 menunjukkan angka negatif Rp1,38 triliun, meski sempat ada perbaikan kerugian dua kuartal berikutnya, yakni Rp285 miliar pada kuartal kedua dan Rp321 miliar pada kuartal ketiga.

    [caption id="attachment_111904" align="alignnone" width="1580"] Laporan net income GIAA kuartalan tahun 2024.[/caption]

    Mirisnya, secara tahunan, perusahaan BUMN dengan kode emiten GIAA ini masih mencatatkan kerugian tahunan mencapai Rp2,65 triliun. Hal ini sangat kontras dengan data 2023, di mana perusahaan membukukan laba Rp3,86 triliun, sebuah lonjakan signifikan yang sayangnya tidak berlanjut tahun ini.

    Total outstanding shares GIAA berada di angka 91,48 miliar saham, dengan market cap senilai Rp4,84 triliun per akhir September 2024. Meski angka kapitalisasi pasar cukup besar, beban operasional yang terus meningkat menjadi momok yang menghantui prospek perusahaan.

    GIAA juga memiliki rasio valuasi yang cukup mengkhawatirkan. Rasio Price to Earnings (PE) tahunan menunjukkan angka negatif -1,83, yang menandakan laba bersih perusahaan mengalami tekanan besar. Selain itu, rasio Price to Book (PB) berada di angka -0,23, yang mengindikasikan nilai pasar sahamnya lebih rendah daripada nilai aset bersih perusahaan. Ini menjadi sinyal serius untuk investor yang mengejar fundamental sehat.

    Dari sisi earnings per share (EPS), GIAA mencatat angka trailing twelve months (TTM) sebesar Rp32,73. Namun, angka EPS tahunan mencapai -28,96, yang berarti Garuda mencatat kerugian signifikan pada tahun ini.

    Dari segi solvabilitas, angka current ratio dan quick ratio masing-masing berada di angka 0,50 dan 0,44. Artinya, aser lancar perusahaan tidak cukup kuat untuk menutup kewajiban jangka pendeknya. Lebih parah lagi, rasio utang terhadap ekuitas atau debt-to-equity ratio berada di angka negatif -2,76, menandakan perusahaan memiliki struktur modal yang timpang akibat utang yang tinggi.

    Profitabilitas dan Margin Keuntungan

    Di sisi profitabilitas, Garuda Indonesia mencatat Return on Equity (ROE) negatif sebesar -14,36 persen. Angka ini mencerminkan ketidakmampuan perusahaan mengelola modalnya untuk menghasilkan laba. Net Profit Margin (NPM) untuk kuartal terakhir yang tercatat di Stockbit berada di angka negatif -2,62 persen.

    Bagi pemburu dividen, jangan berharap banyak pada GIAA karena hingga kini perusahaan yang dipimpin Wamildan Tsani ini tak membagikan dividen. Wajar, hampir selama 2024 mencatat kerugian terus.

    Beban Utang

    Dari data laporan neraca kuartal terakhir, Garuda Indonesia mencatatkan total aset sebesar Rp98,54 triliun. Namun, total liabilitas perusahaan mencapai Rp119,89 triliun, di mana ini menunjukkan kondisi utang yang cukup signifikan.

    Dalam komposisi utang tersebut, terdapat utang jangka pendek sebesar Rp4,58 triliun dan utang jangka panjang yang jauh lebih besar, yakni Rp52,92 triliun. Total utang ini membuat posisi ekuitas Garuda menjadi negatif Rp20,84 triliun. Dengan net debt sebesar Rp54,31 triliun, beban finansial perusahaan cukup berat untuk diseimbangkan dengan aset yang ada.

    Arus Kas

    Dari laporan arus kas, Garuda Indonesia masih memiliki arus kas operasional yang positif sebesar Rp7,41 triliun dalam 12 bulan terakhir. Namun, arus kas dari aktivitas investasi menunjukkan angka negatif Rp5,38 triliun, mencerminkan tingginya pengeluaran investasi.

    Sementara itu, arus kas dari pembiayaan juga negatif sebesar Rp2,57 triliun yang menandakan perusahaan melakukan pelunasan kewajiban lebih banyak dibandingkan penerbitan utang baru. Secara keseluruhan, free cash flow tercatat sebesar Rp5,82 triliun yang berarti adanya likuiditas untuk menutupi kebutuhan kas meski dengan tantangan operasional.

    Dari segi pertumbuhan, pendapatan tahunan Garuda meningkat sebesar 38,46 persen. Namun, net income justru anjlok sebesar 93,38 persen secara tahunan. Pada kuartal III 2024, pendapatan Garuda mengalami penurunan sebesar 10,41 persen dibandingkan kuartal yang sama tahun sebelumnya. Penurunan laba bersih kuartalan mencapai angka yang ekstrem, yaitu -1.309 persen, yang menjadi peringatan bagi pemegang saham terhadap kondisi kinerja operasional.

    Performa Harga Saham

    Jika dilihat dari performa harga saham, dalam periode satu tahun terakhir, saham Garuda mengalami penurunan sebesar 28,38 persen. Selama tiga tahun terakhir, kinerja harga sahamnya turun lebih dalam hingga 74,02 persen, sementara penurunan dalam periode lima tahun bahkan mencapai 87,32 persen. Dalam rentang 10 tahun, penurunan mencapai 90,36 persen. Angka ini menunjukkan investor telah mengalami penurunan nilai investasi yang signifikan.

    Secara keseluruhan, laporan keuangan Garuda Indonesia menggambarkan situasi yang penuh tantangan. Dengan ekuitas negatif dan beban utang yang tinggi, ditambah tren penurunan laba serta harga saham yang terus merosot, perusahaan perlu strategi yang lebih kuat untuk mengembalikan kepercayaan investor dan menjaga stabilitas operasional.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).