KABARBURSA.COM - Pemerintah memastikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, sesuai dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, sejumlah barang dan jasa tetap mendapatkan fasilitas bebas PPN atau tarif PPN sebesar 0 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa fasilitas bebas PPN diberikan untuk barang kebutuhan pokok dan jasa yang penting bagi masyarakat.
“Kenaikan tarif PPN ini sesuai jadwal yang diatur dalam undang-undang. Namun, barang kebutuhan pokok dan jasa strategis tetap diberi fasilitas pembebasan PPN atau tarif 0 persen,” kata Airlangga dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Airlangga menyebutkan, rincian barang kebutuhan pokok yang bebas PPN diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2020. Barang-barang tersebut yakni, Beras dan Tepung Terigu, Daging Ayam Ras dan Daging Sapi, Ikan Segar (seperti bandeng, cakalang, tongkol, dan tuna), Telur Ayam Ras, Minyak Goreng, Sayuran dan Rempah (cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah), dan Gula Pasir.
Sementara itu, jenis jasa yang mendapat fasilitas bebas PPN diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2024, di antaranya, Jasa Pendidikan, Jasa Pelayanan Kesehatan Medis, Jasa Pelayanan Sosial, Jasa Angkutan Umum, Jasa Keuangan, Jasa Persewaan Rumah Susun dan Rumah Umum, Barang dan Jasa Strategis.
Selain kebutuhan pokok, pemerintah juga memberikan pembebasan PPN untuk barang dan jasa yang bersifat strategis, termasuk Bahan Makanan Tertentu, Transportasi Umum, Pendidikan dan Kesehatan, Listrik dan Air Bersih, serta Jasa keuangan dan asuransi.
Kebijakan ini, menurut Airlangga, bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendukung sektor strategis di tengah tantangan ekonomi global.
Pemerintah Jamin Keadilan Sosial
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa kenaikan PPN ini diperlukan untuk mendukung program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
“Peningkatan pendapatan negara di sektor pajak penting untuk mendorong prioritas Presiden, baik dalam bidang pangan, energi, infrastruktur pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan sosial,” ujar Airlangga.
Airlangga menjamin kebijakan ini tetap mengedepankan prinsip keadilan dan gotong royong. Untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah memberikan sejumlah stimulus, seperti pembebasan PPN untuk barang kebutuhan pokok serta bantuan untuk pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM).
“Paket kebijakan ini dirancang untuk melindungi masyarakat, mendukung UMKM, menjaga stabilitas harga bahan pokok, dan mendorong kesejahteraan rakyat,” tambahnya.
Menyusul pengumuman tersebut, pemerintah akan menerbitkan peraturan pendukung, termasuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Peraturan Pemerintah (PP), guna memastikan implementasi kebijakan berjalan lancar.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki fungsi distribusi yang mencerminkan prinsip keadilan. Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan bagian dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“APBN adalah instrumen untuk menjaga stabilitas sekaligus menciptakan azas gotong royong. Yang mampu membantu, sementara yang tidak mampu akan dibantu dan dilindungi,” ujar Sri Mulyani.
Ia menjelaskan bahwa pemerintah juga menyediakan stimulus bagi masyarakat menengah ke bawah, seperti penanggungan 1 persen PPN pada beberapa barang sehingga tetap dikenai pajak 11 persen. Kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, dan susu dikenakan PPN 0 persen.
Selain itu, bantuan pangan berupa 10 kilogram beras per bulan untuk kelompok desil 1 dan 2 akan diberikan, serta diskon 50 persen biaya listrik untuk daya hingga 2.200 VA selama dua bulan.
Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi. Stimulus akan mendukung sektor produktif, menciptakan lapangan kerja, dan membangun optimisme masyarakat di tengah tantangan ekonomi global.
“Kebijakan ini dimaksimalkan untuk perlindungan dan stimulus, sekaligus mendorong sektor-sektor strategis agar mampu meningkatkan kegiatan produktif,” ujar Sri Mulyani.
Negara Kehilangan Pemasukan Rp265,6 Triliun
Diberitakan sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan dampak dari pemberian insentif seiring diberlakukannya PPN sebesar 12 persen.
Kata dia, berdasarkan proyeksi pemberian insentif PPN, negara kehilangan pendapatan sekitar Rp265,6 triliun.
“Proyeksi insentif PPN yang dibebaskan pada tahun 2025 sebesar Rp265,6 triliun,” kata Sri Mulyani dalam acara konferensi pers bertajuk ‘Paket Kebijakan Ekonomi: Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Inklusif dan Berkelanjutan’ di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Dia menjelaskan, pemberian insentif tersebut akan mencakup sejumlah sektor strategis, yaitu bahan makanan, UMKM, transportasi, pendidikan, kesehatan, jasa keuangan, otomotif, properti, serta layanan dasar.
Untuk sektor makanan, diperkirakan mencapai Rp77,1 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp50,5 triliun akan dialokasikan untuk pembebasan PPN pada barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, kedelai, gula, susu segar, kacang-kacangan, dan unggas.
“Selain itu, produk hasil perikanan dan kelautan akan memperoleh insentif senilai Rp26,6 triliun,” jelasnya.
Sedangkan untuk UMKM, mendapatkan alokasi insentif sebesar Rp61,2 triliun. Dalam kebijakan ini, PPN tidak akan dipungut dari pengusaha dengan omzet tahunan di bawah Rp4,8 miliar, sehingga meringankan beban pelaku usaha kecil.
“Untuk sektor transportasi, total insentif mencapai Rp34,4 triliun. Jasa angkutan umum akan dibebaskan dari PPN dengan nilai Rp23,4 triliun. Selain itu, tarif khusus akan diberlakukan untuk jasa pengiriman paket dan freight forwarding dengan alokasi masing-masing Rp2,6 triliun dan Rp7,4 triliun,” kata mantan Direktur World Bank (Bank Dunia) ini.
Dan, untuk sektor pendidikan dan kesehatan diperkirakan mendapatkan insentif sebesar Rp30,8 triliun. Dengan rincian, PPN atas jasa pendidikan akan dibebaskan dengan nilai Rp26 triliun, dan pembebasan PPN untuk layanan kesehatan medis mencapai Rp4,3 triliun.
Sementara, untuk jasa keuangan dan asuransi, total insentif yang didapat mencapai Rp27,9 triliun, terdiri dari pembebasan PPN jasa keuangan senilai Rp19,1 triliun dan jasa asuransi Rp8,7 triliun.
Lalu, sektor otomotif dan properti akan memperoleh insentif senilai Rp15,7 triliun. Insentif ini terdiri dari Rp11,4 triliun untuk sektor otomotif dan Rp2,1 triliun untuk sektor properti melalui skema PPN Ditanggung Pemerintah (DTP).
“Layanan dasar seperti listrik dan air juga mendapatkan perhatian dengan total insentif Rp14,1 triliun. Listrik rumah tangga dengan daya di bawah 2.200 VA akan dibebaskan dari PPN senilai Rp12,1 triliun, sementara pembebasan PPN untuk air bersih mencapai Rp2,0 triliun,” paparnya.
“Kebijakan ini juga mencakup pembebasan PPN untuk kawasan bebas serta jasa keagamaan dan pelayanan sosial, dengan total insentif Rp4,4 triliun,” sambung Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, insentif ini dirancang untuk mendukung berbagai sektor ekonomi dalam menghadapi tantangan ke depan, sekaligus memastikan masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhan pokok tanpa beban pajak tambahan.
Kebijakan tersebut diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. (*)