KABARBURSA.COM – Rencana PT Boston Furniture Industries Tbk (SOFA) untuk melepas bisnis furnitur pada kuartal I-2026, memang terdengar sebagai langkah strategis besar. Namun di balik wacana divestasi itu, satu pertanyaan mengemuka, apakah kinerja keuangan SOFA cukup kuat untuk menopang perubahan arah bisnis tersebut?
Fakta di lapangan justru memperlihatkan gambaran yang jauh lebih berhati-hati.
Masuknya PT Asia Investment Capital (AIC) sebagai pengendali baru memang membuka peluang bagi SOFA untuk meninggalkan sektor furnitur yang sudah lama stagnan. AIC ingin mendorong perusahaan masuk ke sektor energi baru terbarukan (EBT).
Tetapi hingga kini, divestasi furnitur masih sebatas kajian. Proses valuasi baru disiapkan dan jadwal eksekusinya pun disebut “tentatif”, bergantung pada kondisi ekonomi dan hasil kajian keekonomian.
Dengan kata lain, arah baru sudah diumumkan, tetapi pondasi untuk melangkah belum kokoh.
Pendapatan Tidak Bergerak Meski Margin Kotor Positif
Ketika melihat kinerja keuangannya, gambaran itu menjadi semakin jelas. Pendapatan SOFA dalam beberapa tahun terakhir bergerak di tempat. Pada Q2 2025, pendapatan hanya Rp23 miliar. Sebuah angka yang tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Margin kotor memang masih positif, tetapi hampir seluruhnya terkikis oleh beban usaha yang besar.
Hasil akhirnya adalah laba bersih yang kecil, sering kali hanya Rp1 miliar, bahkan beberapa kuartal mencatatkan rugi. Fluktuasi profit yang sempit ini menunjukkan bahwa bisnis furnitur SOFA memang tidak lagi memberi ruang pertumbuhan.
Rasio keuangan pun mengonfirmasi kelemahan tersebut. EPS kuartalan kerap tipis, bahkan negatif. Price-to-sales melonjak, mencerminkan valuasi yang tidak ditopang kekuatan fundamental. Return on equity beberapa kali berada di zona negatif, yang artinya modal pemegang saham tidak menghasilkan laba yang memadai.
Dalam kondisi seperti ini, divestasi furnitur terlihat bukan sebagai pilihan agresif untuk ekspansi, melainkan kebutuhan untuk keluar dari bisnis yang tidak lagi produktif. Tetapi di sisi lain, transisi menuju EBT juga belum memiliki kepastian yang bisa memberi keyakinan bagi pasar.
Kajian masih dilakukan, model bisnis belum dijelaskan, dan estimasi pendapatan baru belum muncul. SOFA bahkan menyatakan bahwa bisnis energi nantinya akan dibangun melalui anak usaha, sementara entitas induk hanya bertindak sebagai holding.
Artinya, hingga kini SOFA berada dalam fase yang menggantung. bisnis lama stagnan dan bisnis baru belum terbentuk.
Sentimen pasar pun wajar jika masih berhati-hati. Transformasi korporasi memang menarik perhatian, tetapi tanpa dukungan angka yang solid, investor cenderung menunggu kepastian.
Terlebih, keberhasilan divestasi furnitur sangat bergantung pada valuasi yang diterima SOFA. Jika valuasinya rendah, modal untuk masuk ke EBT menjadi terbatas dan transisi bisa berlangsung jauh lebih berat.
Singkatnya, rencana divestasi furnitur memang memberi pesan bahwa SOFA ingin keluar dari zona stagnan. Namun dengan fundamental yang belum meyakinkan dan arah bisnis energi yang masih dalam tahap kajian, perjalanan SOFA menuju sektor baru masih panjang dan penuh ketidakpastian.
Sampai ada kepastian valuasi dan model bisnis EBT yang jelas, divestasi furnitur tetap menggantung, dan kinerja SOFA masih menjadi titik lemah yang perlu dibenahi.(*)