KABARBURSA,COM – Ketegangan geopolitik global kembali memanas setelah Amerika Serikat (AS) dikabarkan meluncurkan serangan militer terhadap fasilitas nuklir Iran pada akhir pekan kemarin Minggu, 22 Juni 2025. Selain itu langkah Amerika Serikat dianggap memperkeruh ketegangan antara Israel dan Iran.
Langkah agresif ini memicu eskalasi respons dari pihak Iran, memperburuk situasi di kawasan Timur Tengah, dan menciptakan efek domino terhadap pasar keuangan global tak terkecuali Indonesia.
Pengamat pasar modal Ibrahim Assuaibi menilai bahwa situasi tersebut berpotensi menekan pasar saham global, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia.
“Ketegangan ini bisa membuat IHSG terus melemah, karena sentimen global memburuk dan harga minyak melonjak,” ujar Ibrahim saat dihubungi Kabarbursa.com, Senin, 23 Juni 2025.
Menurut Ibrahim, serangan AS terhadap tiga fasilitas nuklir utama di Iran, termasuk Fordow, Natanz, dan Isfahan, dilakukan lebih awal dari jadwal. “Trump awalnya akan menyerang hari Jumat usai dapat dukungan di Kongres, tapi ternyata dipercepat jadi akhir pekan,” jelasnya.
Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran, telah menyatakan bahwa negaranya berhak membalas serangan tersebut, terutama terhadap fasilitas-fasilitas militer AS di kawasan Timur Tengah. Hal ini memperkuat kemungkinan bahwa konflik akan berlangsung panjang dan meluas, terutama jika negara-negara sekutu seperti Rusia dan Tiongkok terlibat dalam mendukung Iran, termasuk dengan suplai teknologi nuklir.
Salah satu dampak langsung dari konflik ini adalah melonjaknya harga minyak dunia. Ibrahim memperkirakan bahwa harga Brent Crude Oil bisa mencapai USD90 per barel, sedangkan Crude Oil WTI menyentuh USD87 dalam waktu dekat.
Hal ini terjadi karena dua faktor utama: meningkatnya kebutuhan bahan bakar untuk keperluan militer seperti avtur, dan potensi blokade Selat Hormuz oleh Iran, padahal Selat itu adalah jalur vital pengiriman minyak dunia.
“Selat Hormuz itu jalur strategis. Kalau ditutup Iran, kapal tanker harus mutar lewat Terusan Suez (jalur perairan penting yang menghubungkan Laut Mediterania dan Laut Merah) . Itu butuh waktu dua minggu lebih lama dan menambah biaya pengangkutan minyak secara signifikan,” jelasnya. Kondisi ini akan mendorong inflasi global dan menekan daya beli masyarakat, termasuk di Indonesia.
Indonesia sendiri menghadapi tekanan ganda karena masih sangat bergantung pada impor minyak mentah. “Kita impor sekitar 1 juta barel per hari. Kalau harga naik dari USD70 ke USD90, beban fiskal meningkat tajam. Ini bisa bikin defisit dan ganggu postur APBN,” terang Ibrahim.
Di sisi lain, konflik ini juga mendorong harga emas sebagai aset lindung nilai atau safe haven. Ibrahim memperkirakan harga emas dunia bisa mencapai USD3.500 hingga USD3.600 per troy ounce, sementara harga emas lokal atau logam mulia berpotensi tembus Rp2,15 juta per gram.
“Emas tidak akan mati. Dari dulu sampai sekarang tetap jadi pilihan. Apalagi sudah ada Bullion Bank sekarang. Ini memperkuat posisi emas sebagai instrumen investasi,” katanya.
Selain dampak ke harga minyak dan emas, Ibrahim juga menyoroti potensi efek lanjutan terhadap pendanaan perusahaan teknologi, termasuk yang tengah dalam rencana aksi korporasi. Ia mencontohkan bahwa ketegangan geopolitik dapat mempengaruhi perbankan lebih selektif dalam mencairkan dana, terutama untuk transaksi besar dan lintas negara.
Kendati begitu, Ibrahim menyangsikan bahwa konflik ini akan berkembang menjadi Perang Dunia Ketiga. “Negara-negara besar masih sangat berhati-hati. Tapi dampaknya ke pasar keuangan dan ekonomi sudah sangat terasa,” ujarnya.
Ia mengatakan pemerintah Indonesia harus bersiap menghadapi berbagai skenario, terutama jika ketegangan terus meningkat.
“Pemerintah harus menjaga fiskal, memperkuat cadangan energi, dan mendorong investor domestik agar tidak terlalu terguncang oleh sentimen global,” ujar dia.
Melansir data Trading Economic pada Senin, 23 Juni 2025 harga energi dan komoditas global menunjukkan pergerakan bervariasi pada perdagangan awal pekan ini. Kenaikan harga minyak mentah menjadi sorotan utama pasar, seiring dengan ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang terus meningkat.
Harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) tercatat naik 1,42 persen menjadi USD75,10 per barel, sementara Brent juga menguat 1,22 persen ke level USD78,22 per barel. Dalam sepekan terakhir, Brent telah naik hampir 6,8 persen dan secara bulanan melonjak lebih dari 21 persen. Sepanjang tahun berjalan, harga Brent naik 4,76 persen, meski secara tahunan masih turun 9,09 persen.
Kenaikan juga tercatat pada harga gasoline dan heating oil. Gasoline naik 1,20 persen menjadi USD2,36 per galon, sedangkan heating oil melonjak 3,03 persen ke USD2,62 per galon. Kenaikan ini mencerminkan meningkatnya permintaan bahan bakar, baik untuk kebutuhan industri maupun militer.
Sementara itu, harga gas alam relatif stabil, naik tipis 0,31 persen menjadi USD3,91 per MMBtu. Namun secara tahunan, harga gas alam mengalami lonjakan sebesar 32,56 persen, menjadikannya salah satu komoditas energi dengan kinerja terbaik tahun ini.
Sebaliknya, harga batu bara mengalami penurunan sebesar 0,37 persen ke USD106,60 per ton. Penurunan juga tercatat pada harga gas Eropa, yakni TTF gas yang turun 1,29 persen menjadi 40,94 euro per MWh, dan UK gas yang melemah 2,02 persen ke 96,03 penny per therm. Pelemahan ini mencerminkan stabilnya pasokan gas di Eropa menjelang musim panas.
Di sisi logam mulia, harga emas dunia mengalami koreksi 0,33 persen ke USD3.357,92 per troy ounce.
Meskipun demikian, emas tetap menjadi aset lindung nilai favorit di tengah ketidakpastian global, dengan kenaikan sebesar 27,96 persen sejak awal tahun dan 44,08 persen secara tahunan. Perak naik tipis 0,09 persen ke USD36,03 per troy ounce, sementara platinum bergerak datar di level USD1.258,60.
Harga tembaga turun 0,51 persen menjadi USD4,80 per pon, sementara logam industri lainnya seperti nikel dan timah juga mencatat pelemahan masing-masing 1,52 persen dan 1,07 persen. Sebaliknya, aluminium mencatat kenaikan 1,16 persen ke USD2.556,50 per ton.
Di pasar pertanian, harga kedelai dan gandum masing-masing naik 0,06 persen. Kedelai berada di level USD1.068,66 sen AS per bushel, sedangkan gandum berada di 568,10. Komoditas kopi masih stabil di 318,63 per pon, dengan kenaikan tahunan yang signifikan sebesar 34,43 persen. Sebaliknya, harga jagung turun 0,46 persen dan karet anjlok 1,12 persen.
Harga kakao mencatat kenaikan harian tertinggi di antara komoditas pertanian, naik 2,68 persen menjadi USD 8.869,08 per ton. Sementara itu, harga minyak sawit mentah (CPO) di Bursa Malaysia turun 0,24 persen ke 4.105 ringgit per ton, meski secara bulanan naik 7,21 persen.
Untuk komoditas industri, harga aluminium dan palladium mengalami penguatan, namun sebagian besar logam industri seperti nikel, seng, timah, dan molibdenum mencatatkan koreksi harga. Polyethylene, polypropylene, dan soda ash juga mengalami tekanan dengan penurunan bulanan hingga 6,5 persen.
Di sektor energi alternatif, indeks harga energi nuklir naik 1,22 persen ke USD37,20, mencerminkan meningkatnya minat terhadap sumber energi non-fosil di tengah fluktuasi harga minyak. Indeks energi surya dan angin masing-masing naik tipis 0,58 persen dan turun 0,28 persen.
Sementara itu, di pasar listrik Eropa, harga listrik di Italia melonjak 14,20 persen ke 136,57 euro per MWh, sedangkan di Spanyol mengalami koreksi 2,38 persen. Harga listrik di Jerman dan Inggris juga menurun masing-masing 0,77 persen dan 1,50 persen.
Indeks harga komoditas global seperti GSCI naik 1,08 persen ke 587,27, mencerminkan kenaikan harga energi dan logam. Namun CRB Index justru turun 0,57 persen.
Secara umum, pasar komoditas saat ini digerakkan oleh kombinasi antara ketegangan geopolitik, proyeksi inflasi, dan ekspektasi terhadap suku bunga global.(*)