KABARBURSA.COM - Anggota Komisi V DPR, Hamka B Kady, menegaskan perlunya sosialisasi masif terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Menurutnya, publik belum memahami sepenuhnya tujuan kebijakan tersebut.
"Kebijakan Tapera belum tersosialisasi dengan baik di masyarakat. Publik belum terinformasi secara memadai mengenai tujuan dan sasaran Tapera," kata Hamka dalam keterangan di Jakarta, Jumat 31 Mei 2024.
Hamka mendorong agar sosialisasi segera dilakukan. Ini penting karena ada pro dan kontra di masyarakat terkait kebijakan Tapera. Banyak yang belum mendapatkan informasi utuh mengenai regulasi ini.
Tapera dibentuk sejak 2016 melalui UU Nomor 4. Empat tahun kemudian, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera. Sebelumnya, hanya PNS yang diwajibkan menjadi peserta. Kali ini, pekerja swasta dan mandiri juga dilibatkan.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024, pemerintah menetapkan iuran sebesar 3 persen yang dibayarkan secara gotong royong, yakni 2,5 persen oleh pekerja dan 0,5 persen oleh pemberi kerja.
Menurut Hamka, besaran 3 persen ini konsisten dengan Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2024 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020. Namun, pada periode 2020-2022, Indonesia berada dalam fase pandemi COVID-19, sehingga Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tidak efektif. Untuk efektivitas kebijakan ini, ia berharap ada sosialisasi.
Komisi V mengharapkan konsolidasi antarsektor dan sosialisasi nasional kepada masyarakat. Diperlukan petunjuk teknis yang komprehensif untuk menjawab berbagai isu yang berkembang di tengah masyarakat, ujarnya.
Pasal 37 PP Tapera menyebutkan bahwa dana Tapera digunakan untuk pembiayaan perumahan bagi peserta, meliputi pemilikan rumah, pembangunan rumah, atau perbaikan rumah. Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk memanfaatkan dana Tapera: pembiayaan hanya untuk rumah pertama, hanya diberikan satu kali, dan mempunyai nilai besaran tertentu.
Rumah yang dapat dibiayai melalui dana Tapera meliputi rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun. Pembiayaan kepemilikan rumah dapat dilakukan melalui mekanisme sewa beli yang diatur oleh BP Tapera.
Presiden Joko Widodo memastikan potongan 3 persen untuk simpanan Tapera adalah hasil perhitungan yang cermat. Presiden memahami akan ada pro dan kontra dalam merespons kebijakan ini.
Ia mencontohkan saat pemerintah memutuskan peserta BPJS Kesehatan non-PBI mendaftar, sedangkan iuran warga miskin ditanggung dengan prinsip gotong royong. Ternyata, masyarakat merasakan manfaat kebijakan itu.
Begitu juga dengan kebijakan simpanan Tapera. Presiden yakin, nantinya masyarakat akan merasakan manfaatnya.
Regulasi mengenai Tapera diteken oleh Presiden Jokowi pada Senin (20/5/2024) dalam Peraturan Pemerintah (PP) 21/2024 yang merupakan perubahan dari PP 25/2020.
Kelompok yang wajib mengikuti program ini adalah ASN, TNI, Polri, pekerja BUMN/BUMD, serta pekerja swasta. Pemberi kerja wajib membayar simpanan peserta yang menjadi kewajibannya dan memungut simpanan peserta dari pekerja.
Besaran iuran ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan penghasilan untuk peserta pekerja mandiri. Untuk peserta pekerja, iuran ditanggung bersama antara perusahaan dengan karyawan masing-masing sebesar 0,5 persen dan 2,5 persen. Sedangkan peserta pekerja mandiri menanggung simpanan secara keseluruhan.
Peserta yang termasuk dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat memperoleh manfaat berupa kredit pemilikan rumah (KPR), kredit bangun rumah (KBR), dan kredit renovasi rumah (KRR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.
Dana yang dihimpun dari peserta akan dikelola oleh Badan Pengelola Tapera sebagai simpanan yang akan dikembalikan kepada peserta.
Perburuk Iklim Usaha
Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengkritik keras implementasi Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), yang menurutnya, hanya akan memperburuk iklim usaha saat ini.
Bahkan, kebijakan ini dinilai dapat memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah kondisi ekonomi yang sedang tertekan oleh pelemahan kurs rupiah dan rendahnya permintaan pasar global serta domestik.
“Sekali lagi, kami tegaskan, yang jadi permasalahan adalah mengenai aspek konsep tabungan tapi harus dibayarkan secara wajib oleh pekerja dan pemberi kerja. Kalau konsepnya sukarela, kami tidak ada masalah,” katanya dalam konferensi pers, Jumat 31 Mei 2024.
Shinta menyoroti banyaknya perusahaan yang sudah berada dalam kondisi kritis bahkan tanpa adanya Tapera. Beban iuran wajib yang harus ditanggung perusahaan kini mencapai 18,24 persen hingga 19,74 persen dari total beban tenaga kerja.
Beberapa beban yang ditanggung perusahaan saat ini adalah jaminan sosial ketenagakerjaan, jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dana pensiun, dan jaminan sosial kesehatan. Sekarang, harus ditambah lagi, dengan adanya UU Tapera yang mewajibkan pemberi kerja membayar iuran sebesar 0,5 persen dari gaji pekerja.
“Sekarang ini tingkat bahaya untuk perusahaan cukup tinggi. Posisi perusahaan akan tambah bahaya jika beban perusahaan tambah tinggi akibat Tapera,” kata Shinta.
Sebagai informasi, peraturan ini tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Modifikasi terhadap PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Tabungan Perumahan Rakyat, yang diumumkan pada 20 Mei 2024. Dalam aturan itu disebutkan pekerja penerima upah diwajibkan membayar iuran 3 persen. Angka ini terdiri dari 2,5 persen oleh pekerja dan 0,5 persen oleh pemberi kerja. Untuk pekerja mandiri harus membayar iuran sebesar 3 persen dari penghasilan.
Shinta berpandangan dibandingkan dengan aturan tersebut kata dia lebih baik pemerintah memanfaatkan program yang sudah ada untuk menekan angka kebutuhan perumahan atau backlog yang mencapai 12 juta unit tahun ini. Program yang dimaksud adalah manfaat layanan tambahan (MLT) untuk peserta Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan.