Logo
>

Peringatan IMF soal Utang: Lima Emiten ini Punya Performa Negatif

Ditulis oleh Syahrianto
Peringatan IMF soal Utang: Lima Emiten ini Punya Performa Negatif

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - International Monetary Fund (IMF) memberikan peringatan penting mengenai pertumbuhan kredit korporasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Menurut IMF, rasio kecukupan bayar utang atau Interest Coverage Ratio (ICR) perusahaan-perusahaan Indonesia telah mencapai tingkat yang memprihatinkan.

    IMF melaporkan bahwa banyak korporasi di Indonesia memiliki ICR di bawah 1 kali, menandakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut kesulitan untuk membayar bunga utangnya. Pasca pandemi COVID-19, rasio ICR perusahaan di Indonesia menunjukkan penurunan yang signifikan dibandingkan dengan periode sebelum pandemi.

    Dalam hal ini, ICR perusahaan Indonesia lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. IMF bahkan mengkategorikan beberapa perusahaan sebagai "Zombie Corporations", perusahaan yang dianggap tidak produktif dan kesulitan berkembang karena masalah dalam membayar utang.

    Rendahnya rasio ICR ini berpotensi meningkatkan risiko bagi perusahaan yang terdaftar di bursa efek atau emiten. Untuk memahami lebih lanjut tentang ICR, berikut adalah penjelasan singkatnya.

    ICR adalah metrik yang digunakan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam membayar bunga utangnya. Rasio ini dapat dihitung dengan membagi laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) dengan beban bunga utang. Alternatifnya, ICR dapat dihitung dengan membagi laba operasional perusahaan dengan beban bunga selama periode yang sama.

    Rasio ICR yang lebih tinggi menunjukkan kemampuan pembayaran utang yang lebih baik. Direktur PT Panin Aset Management, Rudiyanto, dalam konten Instagramnya menjelaskan bahwa rasio ICR yang sehat adalah sekitar 3 kali. Ini berarti laba operasional perusahaan cukup untuk menutupi bunga utangnya selama 3 tahun ke depan.

    Menurut IMF, rasio ICR yang wajar minimal harus di atas 1 kali, yang menunjukkan perusahaan dapat membayar bunga utangnya dalam jangka pendek (1 tahun).

    Penting untuk dicatat bahwa data IMF tidak hanya mencakup emiten yang sudah terdaftar di bursa, tetapi juga perusahaan yang menerbitkan obligasi namun belum terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dari data IMF, sektor korporasi non-finansial yang paling banyak mengalami masalah sebagai Zombie Corporations adalah sektor material dan industri.

    Berdasarkan pemantauan di BEI, sekitar 64 emiten tercatat memiliki ICR di bawah 1 kali, menandakan adanya potensi risiko yang perlu diwaspadai.

    Namun, terdapat 5 emiten dengan ICR di bawah 1 kali dengan kapitalisasi pasar atau market capitalization di atas Rp5 triliun. Menariknya, kelima saham ini memang telah bermasalah dengan utangnya masing-masing. Berikut ulasannya.

    Garuda Indonesia

    PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) sedang berusaha keras untuk memulihkan kinerja keuangannya setelah mengalami kesulitan finansial yang berat, termasuk utang besar dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) pada tahun 2020-2021.

    Hingga kuartal pertama 2024 (data kuartal kedua masih dalam proses audit), GIAA tidak lagi memiliki utang jangka pendek yang signifikan, dengan total utang jangka pendek berbunga hanya tersisa USD36,38 juta. Namun, utang jangka panjang perusahaan masih mencapai USD1,74 miliar.

    Masalahnya, berdasarkan perhitungan laba operasional untuk kuartal pertama 2024, GIAA masih menghadapi tantangan dalam membayar utangnya. Laba operasional GIAA pada periode tersebut hanya mencapai USD9,05 juta, sedangkan beban bunga dari obligasi, pinjaman bank, dan pinjaman beragun aset total mencapai USD23,65 juta.

    Jika dihitung berdasarkan twelve trailing months (TTM) dari data kuartal pertama 2024, GIAA mencatat laba operasional sebesar USD328,8 juta dengan beban bunga sekitar USD465 juta, menghasilkan rasio Interest Coverage Ratio (ICR) sebesar 0,7 kali.

    Saat ini, saham GIAA masih berada dalam papan notasi khusus karena ekuitasnya masih negatif. Per kuartal pertama 2024, ekuitas yang dapat diatribusikan kepada entitas induk GIAA tercatat sebesar USD1,33 miliar.

    Smartfren

    PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) saat ini menghadapi tantangan signifikan terkait utangnya. Dengan total utang mencapai Rp12,22 triliun per kuartal I 2024, FREN menempati posisi keempat terendah dalam hal Interest Coverage Ratio (ICR) di antara perusahaan dengan kapitalisasi pasar di atas Rp5 triliun. Sebagian besar utang perusahaan ini bersifat jangka panjang, sementara utang jangka pendek berbunga hanya sebesar Rp162,85 miliar. Rasio utang terhadap ekuitas (DER) FREN adalah 0,79 kali.

    Meski memiliki utang yang tinggi, FREN sering kali mengatasi masalah utangnya melalui penerbitan hak memesan efek terlebih dahulu (rights issue). Dalam enam tahun terakhir, FREN telah melakukan tiga kali rights issue: pada November 2018, April 2021, dan baru-baru ini pada 2024.

    Dari segi kinerja, FREN belum pernah mencatatkan laba bersih yang konsisten sejak 2008. Pada tahun 2022, meski mencatatkan laba bersih Rp1,06 triliun, sebagian besar laba tersebut berasal dari keuntungan investasi saham sebesar Rp1,64 triliun.

    Melihat data kuartal I 2024, FREN mencatatkan laba operasional sebesar Rp59,2 miliar dan EBIT sebesar Rp123,85 miliar. Namun, beban bunga dalam periode tersebut mencapai Rp318 miliar. Jika dihitung berdasarkan TTM dari kuartal I 2024, laba operasional FREN mencapai Rp532 miliar dengan beban bunga sekitar Rp1,32 triliun. Ini menghasilkan ICR sebesar 0,4 kali, yang menunjukkan tekanan finansial yang signifikan.

    Saat ini, saham FREN berada dalam papan notasi khusus karena harga sahamnya yang stagnan di level Rp50. FREN juga sedang dalam proses perencanaan merger dengan EXCL, dan perkembangan terbaru dari rencana tersebut diharapkan akan diperbarui pada akhir tahun 2024.

    MNC Lands

    PT MNC Lands Tbk (KPIG) telah menjadi perhatian para investor belakangan ini berkat lonjakan luar biasa pada sahamnya. Sejak 28 Juni 2024, harga saham KPIG meroket hingga 164 persen, menjadikannya salah satu emiten yang paling mencolok dalam sebulan terakhir.

    Per kuartal II 2024, KPIG memiliki total utang berbunga sekitar Rp4,85 triliun, dengan utang jangka pendek mencapai Rp1,7 triliun. Namun, rasio utang terhadap ekuitas (Debt to Equity Ratio atau DER) masih dalam batas aman, yakni sekitar 0,17 kali. Ini menunjukkan bahwa meski utangnya cukup besar, proporsi utang terhadap ekuitasnya relatif rendah.

    Pada kuartal II 2024, KPIG mencatatkan laba usaha sebesar Rp70 miliar, tetapi beban bunganya mencapai Rp83 miliar. Jika kita melihat data selama dua belas bulan terakhir (TTM), laba operasional KPIG adalah Rp61 miliar, sementara beban bunga mencapai Rp193 miliar. Ini menghasilkan rasio kemampuan bayar bunga (Interest Coverage Ratio atau ICR) sebesar 0,31 kali.

    Salah satu alasan mengapa laba operasional KPIG lebih kecil adalah karena kerugian signifikan sebesar Rp275 miliar yang terjadi pada kuartal IV/2023. Meskipun rasio ICR saat ini menunjukkan tantangan, perubahan kinerja keuangan KPIG tetap menarik bagi para investor muda yang tertarik dengan potensi pertumbuhan saham.

    Dengan pertumbuhan saham yang mengesankan dan rasio keuangan yang menunjukkan beberapa risiko, KPIG menawarkan campuran peluang dan tantangan bagi para investor. Selalu penting untuk memantau perkembangan terbaru dan memahami laporan keuangan sebelum membuat keputusan investasi.

    Wijaya Karya

    PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) saat ini sedang fokus pada restrukturisasi utangnya dan sedang mempertimbangkan merger dengan PT PP (Persero) Tbk (PTPP). Sayangnya, WIKA belum merilis laporan keuangan untuk kuartal II 2024 karena sedang sibuk mengurus rapat umum pemegang obligasi.

    Hingga kuartal I 2024, total utang berbunga WIKA mencapai Rp39,11 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp2,69 triliun adalah utang jangka pendek. Rasio utang terhadap ekuitas (DER) WIKA saat ini adalah 8,47 kali, menunjukkan risiko utang yang cukup tinggi.

    Pada kuartal I 2024, WIKA mencatatkan laba usaha sekitar Rp66,97 miliar, namun beban bunganya mencapai Rp711,77 miliar. Ini menunjukkan ketidakseimbangan antara pendapatan dan beban bunga.

    Jika melihat data twelve trailing months, laba operasional WIKA mencapai Rp805 miliar, sedangkan beban bunganya melonjak hingga Rp3,37 triliun. Akibatnya, rasio kecukupan bayar utang (ICR) WIKA hanya 0,23 kali, yang menandakan tantangan finansial yang signifikan.

    Bumi Resources

    PT Bumi Resources Tbk (BUMI) telah menyelesaikan berbagai masalah utangnya setelah melakukan private placement pada tahun 2023. Meskipun begitu, BUMI masih memiliki utang berbunga.

    Menurut data per kuartal II 2024, BUMI memiliki utang berbunga sekitar 158,79 juta dolar AS, dengan sebagian besar dari jumlah ini berupa utang jangka pendek, yaitu 126 juta dolar AS. Namun, rasio utang terhadap ekuitas (DER) BUMI menunjukkan perbaikan yang signifikan, yaitu 0,09 kali.

    Dari sisi kinerja keuangan, BUMI menunjukkan hasil yang cukup baik pada kuartal II 2024. Laba operasionalnya mencapai 12,31 juta dolar AS, sementara beban bunga berada di angka 7,78 juta dolar AS. Dengan angka ini, rasio kemampuan bayar utang (ICR) BUMI untuk kuartal kedua mencapai 1,58 kali, yang menunjukkan kondisi keuangan yang sehat.

    Namun, jika kita melihat data dari twelve trailing months, rasio ICR BUMI menunjukkan angka yang kurang memuaskan. Total laba operasional selama periode ini adalah 54 miliar rupiah, sedangkan beban bunga mencapai 277 miliar rupiah. Dengan rasio ICR 0,19 kali, situasinya masih perlu perhatian.

    Selain itu, laba operasional BUMI menunjukkan fluktuasi yang signifikan dalam periode kuartal III 2023 hingga kuartal II 2024, termasuk kerugian sebesar 763 miliar rupiah pada kuartal ketiga. Dalam kuartal pertama tahun ini, laba usaha BUMI adalah 168 miliar rupiah, tetapi turun menjadi 34 miliar rupiah pada kuartal kedua.

    Secara keseluruhan, meskipun BUMI tidak menghadapi kesulitan langsung dalam membayar bunga utangnya, ada risiko terkait fluktuasi kinerja keuangannya yang perlu diperhatikan.

    Dengan demikian, ICR umumnya digunakan untuk menilai risiko gagal bayar pada obligasi korporasi. Namun, rasio ini juga bisa memberikan gambaran tentang risiko kredit emiten dalam jangka menengah hingga pendek.

    Rasio ICR memberikan wawasan penting mengenai kesehatan finansial emiten dan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban bunga utang. Meskipun beberapa perusahaan dapat bertahan meski ICR-nya rendah, investor harus tetap waspada terhadap risiko jangka panjang yang mungkin timbul dari posisi ICR yang kurang ideal. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.