Logo
>

Domino The Fed: Dari Wall Street ke Dompet Kita

Ditulis oleh S Wiryawan
Domino The Fed: Dari Wall Street ke Dompet Kita

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Gaji bulan ini terasa lebih cepat habis karena kebutuhan rumah naik? Cicilan rumah makin mencekik? Jangan buru-buru salahkan inflasi atau gaji yang tak kunjung naik. Ada benang merah tak kasat mata antara gedung-gedung pencakar langit Wall Street Amerika Serikat sana dengan uang receh di saku kita saat ini.

    Sebuah benang yang dijalin oleh kebijakan The Fed, dan kini menggerakkan efek domino yang akan menentukan nasib ekonomi tanah air. Ketika The Fed bersin, dunia akan terguncang. Keputusan terbaru mereka memangkas suku bunga di September 2024 mendatang, bagaikan menggerakkan domino pertama yang akan berdampak pada investasi, harga-harga, hingga isi dompet kita. Siap atau tidak, efek domino The Fed sudah berada di depan mata.

    Keputusan The Fed untuk memangkas suku bunga tidak lepas dari alasan mempertahankan situasi ekonomi dalam negeri paman sam. Di balik dinding-dinding kokoh Federal Reserve, data-data ekonomi terpampang bak peta yang memandu keputusan penting. Inflasi yang mereda, ditandai dengan turunnya indeks harga konsumen (CPI) dari 4 persen menjadi 3,2 persen di Agustus 2024, menjadi sinyal bahwa tekanan harga mulai mereda. The Fed pun melihat peluang untuk menginjak pedal gas ekonomi dengan memangkas suku bunga.

    Namun, di balik angka-angka yang menenangkan, terbersit bayangan kekhawatiran. Pasar tenaga kerja AS menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Tingkat pengangguran naik tipis menjadi 4,1 persen  di Agustus 2024, sementara pertumbuhan lapangan kerja melambat, hanya bertambah 120.000 pekerjaan, jauh di bawah rata-rata 200.000 di awal tahun. Pemangkasan suku bunga menjadi senjata The Fed untuk menjaga pasar tenaga kerja tetap bergairah.

    Proyeksi ekonomi pun tak luput dari revisi. FOMC memangkas perkiraan pertumbuhan PDB AS menjadi hanya 1,8 persen untuk tahun 2024, jauh dari optimisme awal di angka 2,4 persen. Ketakutan akan perlambatan ekonomi semakin nyata, mendorong The Fed untuk bertindak preventif dengan memangkas suku bunga demi menjaga stabilitas.

    Tekanan datang dari berbagai penjuru. Pasar saham yang bergejolak, diiringi penurunan S&P 500 hingga 8 persen sejak pertengahan 2024, menjadi alarm bagi The Fed. Pelaku bisnis dan analis pun bersuara lantang, menuntut kebijakan moneter yang lebih longgar untuk menghadapi ketidakpastian global. Keputusan The Fed memangkas suku bunga tak bisa dilepaskan dari tekanan dan harapan yang menggema di pasar.

    Data-data ekonomi yang terhampar di meja The Fed, mulai dari inflasi yang mereda, melemahnya pasar tenaga kerja, hingga proyeksi ekonomi yang direvisi, adalah kepingan puzzle yang membentuk keputusan penting. Pemangkasan suku bunga adalah langkah taktis untuk menjaga agar ekonomi AS tetap berlayar di tengah badai ketidakpastian global. Efek domino The Fed pun tak terelakkan, menjalar ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke dalam dinamika ekonomi Indonesia.

    Ketika Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga, dampaknya bukan hanya berskala global, tetapi juga secara signifikan memengaruhi ekonomi dan pasar modal dalam negeri. Dari pergerakan indeks saham hingga perubahan imbal hasil obligasi, keputusan ini memicu serangkaian reaksi yang menyentuh banyak aspek, mulai dari pelaku pasar modal hingga konsumen biasa.

    Domino Positif terhadap RI

    Di antara sekian banyak efek positif dari domino The Fed adalah adanya potensi Arus Masuk Investasi Asing atau Foreign Capital Inflow menjadi lebih besar. Ketika The Fed menurunkan suku bunganya, return investasi di Amerika Serikat cenderung menurun. Akibatnya, investor global mencari peluang investasi dengan return yang lebih tinggi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Indonesia dapat menikmati arus masuk investasi asing yang lebih besar ke pasar obligasi dan saham, yang dapat memperkuat pasar modal Indonesia dan meningkatkan likuiditas.

    Di tahun 2019, The Fed sempat menurunkan suku bunganya -25 basis sebanyak tiga kali dari 2.0 persen menjadi 1.50 Persen. Efek dari pemangkasan suku bunga tersebut, Data dari Bank Indonesia mencatat terjadi kepemilikan investor non-residen terhadap SBN mencapai Rp1.009,60 triliun atau setara dengan 38,45 persen dari total pasar yang diperdagangkan senilai Rp2.625,62 triliun pada Agustus 2019.

    Tidak hanya di portfolio SBN, Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi Foreign Direct Investment (FDI) sepanjang 2019 sebesar Rp423,1 triliun. Nilai ini meleset dari target tahun lalu yakni hanya mencapai 87,5 persen dari Rp483,7 triliun.

    Dengan masuknya investasi asing, permintaan terhadap mata uang Rupiah biasanya juga meningkat. Rupiah terkerek naik memperkuat nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat. Penguatan Rupiah dapat mengurangi tekanan inflasi impor, terutama untuk barang-barang yang diimpor dalam Dolar Amerika Serikat, seperti minyak dan bahan baku industri. Rupiah pada saat pemangkasan suku bunga di priode April 2019 hingga Oktober 2019 diperdagangkan 13.947 hingga 15.776 per Dolar Amerika Serikat.

    Penurunan suku bunga The Fed juga dapat berdampak pada penurunan suku bunga internasional secara keseluruhan, termasuk biaya pinjaman luar negeri. Hal ini menguntungkan perusahaan dan pemerintah Indonesia yang memiliki utang dalam mata uang asing, karena beban bunga yang harus dibayar menjadi lebih ringan. Akibatnya, ini dapat memperbaiki posisi keuangan perusahaan dan pemerintah, serta meningkatkan kapasitas investasi di dalam negeri.

    Dengan peningkatan arus modal, penguatan Rupiah, dan biaya pembiayaan yang lebih rendah, sektor riil ekonomi Indonesia dapat mengalami dorongan yang signifikan. Investasi yang lebih tinggi dalam sektor-sektor kunci seperti infrastruktur, manufaktur, dan teknologi dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi. Perusahaan memiliki akses yang lebih murah ke modal, yang dapat digunakan untuk ekspansi usaha, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong daya beli masyarakat. Indeks Manufaktur Indonesia pada priode pemangkasan suku bunga di priode April 2019 hingga Oktober 2019, berada dikisaran angka 50 persen. Yang menandakan Manufaktur Indonesia saat itu, mengalami ekspansi.

    Di pasar saham pemangkasan suku bunga The Fed sebenarnya tidak berkoefisen relatf jika diuji secara statistik. Angka pengujiannya hanya sekitar 0,37 persen atau negatif. Buktinya, priode April 2019 hingga Oktober 2019 saat The Fed memangkas suku bunga, pergerakan IHSG cendrung mengikuti sentimen dalam negeri. April 2019,  pergerakan indeks dipengaruhi oleh Pemilihan Umum 2019 pada tanggal 17 April. Indeks sempat menembus level 6.636,33 sebelum melemah kembali hingga menyentuh level 6.321,66. Sepanjang bulan ini, IHSG melemah 0,2 persen ke level 6.455,35. Tiga emiten melantai perdana di bursa pada bulan ini, di antaranya PT Meta Epsi Tbk (MTPS), PT Capri Nusa Satu Properti Tbk (CPRI), dan PT Menteng Heritage Realty Tbk (HRME).

    Perdagangan di bulan Juli 2019 juga cukup singkat dengan hanya 15 hari perdagangan aktif karena pemerintah memutuskan libur lebaran dan cuti bersama hingga lima hari. Sepanjang Juni, IHSG tercatat menguat 2,41 persen ke level 6.358,62 dan telah bergerak pada kisaran 6.190,53 hingga 6.377,35. Lima emiten melantai perdana di bursa pada bulan ini, di antaranya PT Golden Flower Tbk (POLU), PT Surya Fajar Capital Tbk (SFAN), PT Communication Cable Systems Indonesia Tbk (CCSI), PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA), dan PT Hotel Fitral International Tbk (FITT).

    Agustus 2019 Bank Sentral kembali memangkas suku bunga acuan BI 7-DRR 25 basis poin menjadi 5,5 persen pada Rapat Dewan Gubernur 21-22 Agustus. Namun, IHSG melemah 0,97 persen atau 6.328,47.

    Tiba di bulan Oktober di saat Bank Indonesia kembali memangkas suku bunga acuan BI 7-DRR 25 basis poin menjadi 5 persen, mengikuti pemangkasan The Fed. IHSG juga mencatkan reli penguatan terpanjangnya sejak tahun 1995 pada perdagangan 24 Oktober. Sepanjang bulan ini, IHSG bergerak pada kisaran 5.988,87 hingga 6.348,32 dan berakhir menguat 0,9 persen ke posisi 6.228,32. Sementara itu, empat emiten melantai perdana dimasa itu, di antaranya PT Digital Mediatama Maxima tbk (DMMX), PT Itama Ranoraya Tbk (IRRA), PT Trinitan Metals and Minerals Tbk (PURE), dan PT Gaya Abadi Sempurna Tbk (SLIS).

    Ancaman terhadap RI

    Penurunan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) tidak hanya membawa dampak positif bagi ekonomi Indonesia, tetapi juga dapat menimbulkan beberapa dampak negatif.

    Meskipun penurunan suku bunga The Fed dapat mendorong arus modal masuk dalam jangka pendek, ada risiko volatilitas arus modal yang lebih tinggi dalam jangka panjang. Jika kebijakan moneter global berubah, investor bisa menarik dananya secara tiba-tiba dari pasar negara berkembang seperti Indonesia, menyebabkan arus modal keluar (capital outflow) yang drastis. Hal ini dapat melemahkan pasar keuangan domestik, meningkatkan tekanan pada nilai tukar Rupiah, dan menyebabkan ketidakstabilan ekonomi.

    Peningkatan arus modal masuk akibat penurunan suku bunga The Fed dapat menyebabkan peningkatan likuiditas di dalam negeri. Jika tidak dikelola dengan baik, likuiditas berlebih ini dapat mendorong inflasi, karena terlalu banyak uang yang beredar di pasar. Inflasi yang meningkat bisa menurunkan daya beli masyarakat dan meningkatkan biaya hidup, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

    Penurunan suku bunga The Fed dapat membuat Indonesia semakin tergantung pada modal asing untuk mendanai pertumbuhan ekonomi. Ketergantungan ini bisa menjadi masalah jika kondisi global berubah secara tiba-tiba, misalnya jika The Fed kembali menaikkan suku bunga di masa depan. Ketergantungan yang tinggi pada modal asing membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap guncangan eksternal dan ketidakpastian pasar keuangan global.

    Penurunan suku bunga The Fed sering kali diikuti oleh pelemahan Dolar AS, yang dapat memperkuat Rupiah. Meskipun penguatan Rupiah dapat menguntungkan sektor impor, itu juga bisa merugikan sektor ekspor Indonesia. Produk-produk ekspor Indonesia bisa menjadi lebih mahal bagi pembeli internasional, yang pada akhirnya bisa mengurangi daya saing dan volume ekspor. Penurunan ekspor ini dapat menekan pertumbuhan ekonomi dan memperlebar defisit neraca perdagangan.

    Ketika suku bunga rendah, modal yang masuk ke Indonesia cenderung mengalir ke pasar aset seperti saham dan properti. Kelebihan likuiditas ini dapat menyebabkan lonjakan harga aset yang tidak sejalan dengan fundamental ekonomi, menciptakan gelembung aset (asset bubbles). Jika harga aset jatuh secara tiba-tiba, ini bisa menyebabkan kerugian besar bagi investor dan merusak stabilitas ekonomi, terutama jika gelembung tersebut berada di sektor-sektor penting seperti properti dan perbankan.

    Pada akibatnya, Bank Indonesia perlu menyesuaikan kebijakan moneternya dengan dinamika kebijakan The Fed. Penurunan suku bunga The Fed dapat memaksa Bank Indonesia untuk menjaga keseimbangan antara menjaga stabilitas Rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, kebijakan yang terlalu longgar dari Bank Indonesia dapat meningkatkan risiko inflasi dan melemahkan stabilitas makroekonomi, sementara kebijakan yang terlalu ketat dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

    Waktunya Menebalkan Dompet

    Ketika suku bunga The Fed mengalami penurunan, iklim investasi di Indonesia cenderung menjadi lebih menarik, menciptakan peluang bagi investor yang cermat. Salah satu instrumen investasi yang patut dipertimbangkan adalah saham. Sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga, seperti perbankan, properti, dan konsumsi, biasanya mendapatkan keuntungan terbesar karena likuiditas yang lebih besar dan biaya pinjaman yang lebih rendah.

    Sektor properti juga layak mendapat perhatian di tengah tren penurunan suku bunga. Suku bunga yang rendah membuat pinjaman properti menjadi lebih terjangkau, yang pada gilirannya dapat meningkatkan permintaan di sektor ini. Baik investor jangka panjang yang mencari aset yang stabil maupun spekulan jangka pendek yang mengincar keuntungan cepat dapat menemukan peluang di pasar properti. Properti residensial dan komersial di daerah-daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang baik dan prospek yang menjanjikan patut untuk dipertimbangkan.

    Bagi investor yang mencari diversifikasi dan kemudahan dalam pengelolaan portofolio, reksa dana dapat menjadi pilihan yang menarik. Penurunan suku bunga The Fed biasanya berdampak positif bagi reksa dana saham dan campuran, menjadikannya pilihan yang menarik bagi investor dengan berbagai profil risiko. Reksa dana saham menawarkan potensi pertumbuhan yang lebih tinggi, sementara reksa dana pendapatan tetap dengan portofolio obligasi memberikan kombinasi antara pertumbuhan dan stabilitas.

    Emas, sebagai aset safe haven, tetap menjadi pilihan yang menarik, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global. Meskipun suku bunga rendah cenderung mendorong kenaikan harga emas, investasi ini tetap diminati oleh investor yang mencari aset lindung nilai terhadap inflasi dan gejolak ekonomi.

    Strategi investasi jangka pendek ada baiknya difokuskan pada penguatan alokasi di sektor-sektor yang diuntungkan oleh pemangkasan suku bunga (interest rate sensitive). Sektor-sektor tersebut meliputi perbankan, properti, tower telekomunikasi, dan konsumer non-primer.

    Sebagai langkah defensif, kami merekomendasikan sektor telekomunikasi karena karakteristik industrinya yang cenderung resilien. Data telah menjadi kebutuhan pokok, sehingga permintaan di sektor ini relatif stabil. Selain itu, konsolidasi industri memungkinkan para pelaku usaha untuk menaikkan harga data secara bertahap, yang berdampak positif pada margin keuntungan.

    Untuk potensi pertumbuhan struktural, kami mempertahankan posisi pada sektor-sektor yang terkait dengan bahan baku industri energi baru terbarukan. Transisi menuju era dekarbonisasi memberikan keuntungan bagi Indonesia yang kaya akan komoditas yang dibutuhkan dalam teknologi energi baru terbarukan. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    S Wiryawan

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak tahun 2004 dan mulai secara aktif menulis tentang ekonomi makro, investasi, keuangan, dan perbankan sejak tahun 2007. Dengan pengalaman lebih dari satu dekade di industri media, jurnalis ini terus menganalisis dan menyajikan informasi mendalam terkait pasar keuangan, tren ekonomi global, serta kebijakan moneter yang berpengaruh terhadap dunia investasi. Selain sebagai jurnalis, sosok ini juga merupakan investor saham di sejumlah emiten dan aktif sebagai trader forex. Keahlian jurnlis ini mencakup analisis data, statistik, econometrica, serta analisis time series, fundamental analisis, teknikal analisis yang menjadi dasar dalam mengembangkan strategi investasi dan trading. Di luar aktivitas jurnalistik dan investasi, jurnalis ini juga berperan sebagai pengelola jurnal ilmiah, berkontribusi dalam pengembangan riset dan literatur akademik di bidang ekonomi, keuangan dan teknologi industri.  Melalui pengalaman dan keahlian yang di miliki, jurnalis berkomitmen untuk terus memberikan informasi yang akurat, tajam, dan relevan bagi para pelaku pasar serta pembaca yang ingin memahami dinamika ekonomi dan investasi dengan lebih baik.