KABARBURSA.COM - Korupsi telah lama menjadi candu bagi para elite yang seharusnya mengelola negara dengan penuh tanggung jawab. Alih-alih membangun kesejahteraan, mereka justru merampok hak rakyat dengan dalih kebijakan dan kekuasaan.
Ya, korupsi telah menjelma menjadi candu kekuasaan yang sulit diberantas. Setiap rezim datang dengan janji pemberantasan. Namun, skandal demi skandal tetap bermunculan. Dalam dua dekade terakhir, berbagai kasus mega korupsi terungkap dengan angka kerugian negara yang mencengangkan. Bagi negeri berideologi Pancasila ini, berbagai kasus mega korupsi itu telah menciptakan ketimpangan sosial yang semakin lebar.
Dari Pelat Merah hingga Swasta
Kasus terbaru yang mencuat adalah korupsi tata niaga timah yang menyeret PT Timah Tbk dengan kerugian negara yang fantastis, mencapai Rp300 triliun. Dari jumlah itu, Rp271 triliun diklaim sebagai kerugian lingkungan akibat tambang ilegal yang dibiarkan merajalela di Bangka Belitung. Sejumlah pejabat hingga pengusaha ikut terseret dalam pusaran kejahatan ini. Aktor utamanya, sesuai putusan Pengadilan Tipikor, Harvey Moeis, suami dari seorang aktris terkenal. Dia diduga memiliki peran sentral dalam skema ilegal tersebut.
Tak lama setelah kasus timah mengguncang publik, Kejaksaan Agung kembali mengungkap kasus lain dengan nilai kerugian yang tak kalah mencengangkan. Korupsi tata kelola minyak di Pertamina yang diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun. Dalam kasus ini, eks Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, menjadi salah satu tersangka utama. Kerugian yang masih dalam perhitungan ini bisa saja terus bertambah seiring dengan investigasi yang berlangsung.
Sempat berkembang dan mencuat angka kerugian negara mencapai kuadriliun atau nyaris menembus Rp1.000 triliun. Namun entah apa yang terjadi, Jaksa Agung, tetiba tak segarang sebelumnya. Bahkan cenderung mendahului putusan peradilan dengan menyatakan tempus delictinya hanya di antara 2018-2023. Ada apa? Masuk angin atau ada pesan sponsor setelah ditemui malam-malam, di luar jam kantor, juga bukan di Kejaksaan Agung, oleh Tuannya Pertamina: Menteri Badan Usaha Milik Negara?
Jika berbicara tentang korupsi yang melibatkan perusahaan besar, kasus PT Duta Palma Group menjadi contoh nyata bagaimana pengusaha dan pejabat daerah bersekongkol merampok sumber daya negara. Pemilik PT Duta Palma Group, Surya Darmadi, terbukti melakukan penyerobotan lahan di Riau seluas lebih dari 37 ribu hektare dengan kerugian negara mencapai Rp78 triliun. Ia bekerja sama dengan mantan Bupati Indragiri Hulu yang dengan mudah menerbitkan izin usaha perkebunan tanpa prosedur yang sah.
Dalam sektor energi, skandal PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) menjadi salah satu kasus dengan kerugian negara terbesar, mencapai Rp37,8 triliun. Kasus ini menyeret beberapa pejabat tinggi, termasuk mantan Kepala BP Migas Raden Priyono dan mantan Deputi Finansial Ekonomi BP Migas Djoko Harsono, yang telah divonis belasan tahun penjara. Namun, salah satu tersangka utama, mantan Presiden Direktur PT TPPI, Honggo Wendratno, masih buron hingga kini.
Asuransi dan e-KTP pun Jadi Bancakan
Tak hanya perusahaan swasta, perusahaan BUMN pun tak luput dari jeratan korupsi. Kasus PT Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia (Asabri) menjadi salah satu skandal yang mencoreng kredibilitas BUMN. Dengan modus pengaturan investasi saham dan reksa dana, negara mengalami kerugian sebesar Rp22,7 triliun. Beberapa pejabat tinggi Asabri akhirnya dijatuhi hukuman, tetapi pemulihan keuangan negara akibat kasus ini masih menjadi tanda tanya besar.
Kasus serupa terjadi di PT Jiwasraya, di mana skema investasi Saving Plan berujung pada kegagalan pembayaran polis kepada nasabah. Dengan kerugian Rp16,8 triliun, kasus ini menyeret beberapa nama besar, termasuk mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo dan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim. Praktik investasi abal-abal ini menunjukkan betapa pengawasan di sektor keuangan masih sangat lemah. Peran Otoritas Jasa Keuangan pun dipertanyakan.
Jika menilik ke belakang, kasus Bank Century menjadi salah satu skandal besar yang pernah mengguncang Indonesia. Dengan dalih penyelamatan, pemerintah menggelontorkan bailoutsenilai Rp7 triliun yang akhirnya disalahgunakan. Hingga kini, kasus ini masih menyisakan banyak pertanyaan, terutama mengenai keterlibatan berbagai pihak di balik keputusan penyelamatan tersebut.
Tak kalah mencengangkan adalah korupsi di PT Pelindo II yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp6 triliun. Skandal ini berakar pada proyek-proyek pengadaan alat berat yang diduga sarat dengan praktik suap dan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat perusahaan pelat merah tersebut. Kasus ini menjadi bukti bahwa sektor maritim dan logistik pun tak luput dari tangan-tangan kotor para koruptor.
Sementara itu, skandal korupsi proyek e-KTP menjadi salah satu kasus paling kontroversial karena menyeret banyak nama besar, termasuk mantan Ketua DPR RI Setya Novanto. Dengan nilai kerugian negara Rp2,3 triliun, kasus ini menjadi bukti bahwa proyek-proyek strategis nasional pun bisa menjadi ladang bancakan bagi para elite politik.
Kasus pembangunan BTS 4G yang melibatkan mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johny G. Plate, menambah daftar panjang korupsi di sektor teknologi. Dengan nilai kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp8 triliun, proyek yang seharusnya memperluas akses internet bagi masyarakat di daerah terpencil, justru menjadi ajang bancakan anggaran negara. Modus yang digunakan adalah penggelembungan harga dan pengaturan tender yang melibatkan berbagai pihak, termasuk petinggi BAKTI Kominfo. Kasus ini menunjukkan bahwa bahkan sektor digital yang seharusnya menjadi pilar pembangunan ekonomi Indonesia pun tidak luput dari praktik korupsi.
Tak hanya itu, proyek Hambalang yang seharusnya menjadi pusat pelatihan atlet nasional berakhir menjadi monumen korupsi. Dengan kerugian negara mencapai Rp706 miliar, proyek ini mangkrak dan menjadi simbol kegagalan tata kelola anggaran yang bersih dan transparan.
Semua kasus di atas menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia sudah mengakar begitu dalam. Merusak setiap lini ekonomi dan pemerintahan. Lebih ironis lagi, korupsi tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi telah menjadi sindikasi terstruktur yang melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha, dan bahkan aparat penegak hukum. Modus yang digunakan pun semakin canggih, mulai dari penggelembungan anggaran, manipulasi perizinan, hingga pencucian uang melalui perusahaan cangkang.
Boleh dibilang, candu korupsi ini terus dipelihara oleh sistem yang lemah, aparat yang tak berdaya, dan mentalitas rakus para pemangku kepentingan. Jika tidak ada reformasi struktural yang menyeluruh, maka Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran korupsi yang menggerogoti masa depan bangsa.
Ladang Korupsi Baru?
Kini, dengan proyek-proyek besar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menelan biaya ratusan triliun rupiah, program unggulan Makan Bergizi Gratis (MBG), pengelolaan dana investasi super jumbo Danantara yang mencapai belasan ribu triliun rupiah, serta rencana reaktivasi koperasi desa dengan memanfaatkan dana desa, tantangan dalam pencegahan korupsi semakin besar. Jika tidak diawasi dengan ketat, proyek-proyek ini berpotensi menjadi ladang korupsi baru yang lebih besar dibandingkan kasus-kasus sebelumnya.
Dalam proyek IKN, misalnya, pengelolaan anggaran yang masif membuka peluang bagi praktik kolusi dan nepotisme. Sejauh ini, tidak kurang dari Rp76,5 triliun dana negara (APBN) yang telah habis untuk membiaya negaproyek di IKN. Itu terhitung sejak 2020 hingga 2024. Tanpa transparansi yang memadai, dana puluhan triliun itu bisa dengan mudah bocor ke kantong para elite. Hal serupa berlaku pada MBG yang menyasar anak sekolah dan ibu hamil/menyusui. Khusus untuk MBG, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp71 triliun hanya di tahun 2025 saja. Jumlahnya pasti akan membengkak di tahun-tahun berikutnya.
Core menyatakan bahwa keberhasilan Temasek (Singapura) sebagai SWF yang sukses
berasal dari empat faktor utama: independensi dari intervensi pemerintah, tata kelola pemerintahan yang baik, kepatuhan pada hukum korporasi, dan orientasi bisnis yang diutamakan dalam mengelola perusahaan. Bagaimana dengan Danantara? Sejauh ini, Core menilai belum ada peta jalan investasi yang menunjukkan detail rencana Danantara selama 5-10 tahun ke depan. Padahal, Danantara yang diproyeksikan mengelola total dana investasi hingga lebih dari Rp14.000 triliun (sekitar 60 persen PDB Indonesia 2024), kejelasan rencana jangka panjang sangat penting untuk membangun kepercayaan investor.
Koperasi Desa Merah Putih
Belum tuntas Danantara, pemerintah juga berencana meresmikan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) pada 12 Juli 2025, bersamaan dengan Hari Koperasi Nasional. Ambisi besar ini bertujuan menghidupkan kembali ekonomi desa dengan membentuk koperasi di 83.731 desa/kelurahan di seluruh Indonesia. Dengan modal awal Rp3–5 miliar per koperasi dari Dana Desa, APBN, APBD, dan pinjaman Bank HIMBARA, KDMP dijanjikan sebagai solusi bagi kesejahteraan masyarakat desa. Namun, benarkah ini langkah progresif, atau hanya pengulangan kebijakan yang berujung sia-sia?
KDMP diklaim sebagai motor penggerak ekonomi desa. Unit simpan pinjamnya diharapkan membebaskan masyarakat dari jeratan rentenir dan pinjaman online. Selain itu, koperasi ini dijanjikan sebagai stabilisator harga pertanian, pemutus rantai distribusi yang panjang, serta pencipta lapangan kerja. Dengan mengelola gerai sembako, apotek, cold storage, hingga distribusi logistik, KDMP tampak seperti solusi menyeluruh.
KDMP bukanlah ide baru. Sebelumnya, Koperasi Unit Desa (KUD) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) telah ada dengan misi serupa. Namun, banyak yang mati suri atau menjadi sarang penyalahgunaan dana. Lantas, apa yang membuat KDMP berbeda?
Potensi korupsi menjadi ancaman utama. Dengan dana miliaran per koperasi, risiko manipulasi proposal, mark-up pengadaan barang, hingga penyaluran dana ke kelompok tertentu sangat tinggi. Tanpa sistem pengawasan ketat, KDMP bisa menjadi ladang korupsi baru yang merugikan rakyat.
Upaya pencegahan harus dimulai dari sistem yang lebih transparan dan partisipatif. Audit keuangan secara berkala, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan, serta penerapan teknologi blockchain dalam pencatatan transaksi keuangan (negara), bisa menjadi langkah konkret untuk menutup celah korupsi. Selain itu, memperberat hukuman bagi koruptor, hukuman mati misalnya, dan menegakkan aturan mengenai pemiskinan koruptor, dapat menjadi efek jera yang nyata.
Takut diduga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM)? Apa korupsi bukan kejahatan HAM? Korupsi bukan sekadar kejahatan keuangan, tetapi juga penghancur masa depan bangsa. Jika kita tidak segera bertindak, proyek-proyek pembangunan yang seharusnya membawa kemakmuran, justru akan menjadi sarang para penjarah uang rakyat. Oleh karena itu, pengawasan terhadap proyek IKN, MBG, Danantara, dan KDMP, harus menjadi prioritas utama agar sejarah kelam korupsi di negeri ini tidak kembali terulang. Berani tidak? (*)