KABARMAKASSAR.COM - Konfrontasi militer antara India dan Pakistan, terutama di wilayah Kashmir, kembali terjadi. Hal itu memicu dan menimbulkan kekhawatiran global. Sebagai dua negara bersenjata nuklir, eskalasi konflik di antara keduanya tidak hanya mengancam stabilitas kawasan Asia Selatan. Akan tetapi, juga berpotensi memicu ketidakpastian ekonomi yang meluas hingga ke Asia Tenggara. Termasuk Indonesia.
Dari mana ke mana hitung-hitungannya? Mengulik data Badan Pusat Statistik (BPS), terungkap bahwa Indonesia memiliki hubungan dagang yang signifikan dengan India dan Pakistan. India bahkan konsisten menjadi tiga negara penyumbang surplus neraca perdagangan sejak 2015 hingga kuartal pertama tahun ini. Dua lainnya adalah Amerka Serikat dan Filipina.
Pada tahun 2023, atau pasca pandemi covid, total perdagangan antara Indonesia dan India mencapai USD27 miliar, dengan surplus perdagangan sebesar USD13,59 miliar bagi Indonesia. Angka itu meningkat USD1,1 miliar lebih pada tahun 2024, menjadi USD14,67 miliar. Secara persentase, surplus perdagangan Indonesia dengan India mencapai 47,26 persen dari total USD31,04 miliar sepanjang 2024.
Melansir pemaparan publik Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti 21 April lalu, hingga kuartal pertama 2025, India masih berada di barisan terdepan sebagai negara penyumbang surplus perdagangan terbesar setelah Amerika Serikat. Angkanya sampai USD3,05 miliar dari neraca perdagangan total yang mencapai USD10,92 miliar dengan produk ekspor utama Indonesia ke India meliputi batu bara, minyak kelapa sawit, baja tahan karat, bijih tembaga, dan perhiasan.
Sementara itu, neraca perdagangan Indonesia dengan Pakistan juga menunjukkan surplus. Meski, angkanya jauh di bawah India. Pada tahun 2020, misalnya, surplus perdagangan mencapai USD2,19 miliar, dengan ekspor utama berupa minyak dan lemak nabati, bahan bakar mineral, kertas, serta kendaraan dan suku cadangnya.
Kini, dengan pecahnya konflik bersenjata antara India dan Pakistan jelas mengganggu stabilitas perdagangan dan mempengaruhi surplus perdagangan Indonesia. Gangguan logistik di kawasan Asia Selatan, terutama di wilayah Jammu dan Kashmir, telah memicu lonjakan harga bahan baku. Bagi Indonesia, ini berarti tekanan pada sektor manufaktur, khususnya industri tekstil, farmasi, dan barang konsumsi domestik yang selama ini mengandalkan pasokan dari kedua India dan Pakistan.
BRICS dan Posisi Indonesia
India dan Pakistan, meskipun memiliki status keanggotaan yang berbeda, berada dalam kubu yang sama sebagai penentang hegemoni Barat dalam percaturan ekonomi dunia melalui BRICS. India merupakan salah satu inisiator BRICS bersama Brasil, Rusia, China, dan Afrika Selatan, sementara Pakistan bergabung pada tahun 2023.
Namun, hubungan antara anggota BRICS tidak selalu harmonis. China dan India kerap terlibat konfrontasi akibat sengketa perbatasan di Himalaya, termasuk bentrokan di Ladakh. Sebaliknya, India memiliki hubungan yang sangat mesra dengan Rusia, salah satu mitra pertahanan utamanya.
Di lain pihak, China dan Pakistan, memiliki hubungan yang juga sangat mesra. Hubungan kedua negara bahkan dikenal sebagai "persahabatan besi" yang kuat, didorong oleh kepentingan strategis dan kemitraan yang saling menguntungkan.
Posisi Indonesia dalam BRICS menjadi dilematis. Meskipun secara hitung-hitungan, neraca perekonomian India-Indonesia lebih menguntungkan dibandingkan dengan Pakistan, Indonesia memiliki ikatan emosional yang kuat dengan Pakistan dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina. Sebaliknya, India termasuk negara yang terang-terangan mendukung Israel.
Ketahanan Pasar Modal India
Meskipun menghadapi ketegangan geopolitik yang meningkat, pasar modal India menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Sejarah mencatat bahwa pasar saham India telah pulih dengan cepat setelah konflik besar. Misalnya, selama Perang Kargil pada tahun 1999, indeks Sensex dan Nifty masing-masing naik sekitar 33 persen dalam periode tiga bulan.
Demikian pula, selama serangan teroris di Mumbai pada tahun 2008, pasar saham India menunjukkan ketahanan dengan Sensex naik hampir 400 poin dalam dua hari perdagangan selama serangan. Ketahanan pasar modal India ini sebagian besar disebabkan oleh kekuatan ekonomi domestik yang kuat dan kepercayaan investor yang tinggi terhadap prospek jangka panjang negara tersebut.
Ancaman Perang Nuklir dan Dampaknya
Meningkatnya ketegangan antara India dan Pakistan memicu kekhawatiran tentang potensi perang nuklir. Masing-masing negara memiliki hampir 200 hulu ledak nuklir. Jika eskalasi konflik mencapai penggunaan senjata nuklir, dampaknya akan sangat luas dan menghancurkan, termasuk bagi Indonesia.
Dampak lingkungan dari perang nuklir termasuk hujan asam, penurunan suhu global, dan polusi radioaktif yang mencemari tanah, air, dan sumber daya hayati. Ekosistem akan rusak, keanekaragaman hayati akan terancam, dan efek radiasi akan berdampak pada generasi mendatang.
Bagi Indonesia, meskipun secara geografis tidak berada di kawasan konflik, dampak perang nuklir tetap signifikan. Ketidakstabilan di Asia Selatan dapat berdampak pada perekonomian global yang pada akhirnya akan mempengaruhi Indonesia. Selain itu, terdapat ribuan WNI yang bekerja dan tinggal di negara-negara yang berpotensi terdampak, seperti India dan Pakistan.
Potensi Penyebaran Ketegangan ke Kawasan Lain
Ketegangan antara India dan Pakistan juga berpotensi memicu ketegangan di kawasan lain, seperti antara China dan Taiwan serta Korea Selatan dan Korea Utara.
China telah lama mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan tidak menutup kemungkinan menggunakan kekuatan militer untuk menyatukan kembali pulau tersebut. Ketegangan di Asia Selatan dapat memberikan peluang bagi China untuk meningkatkan tekanan terhadap Taiwan, yang dapat memicu konflik di kawasan Asia Timur.
Korea Utara telah menunjukkan perilaku agresif dalam beberapa tahun terakhir, termasuk uji coba senjata nuklir dan rudal balistik. Ketegangan global yang meningkat akibat konflik India-Pakistan dapat mendorong Korea Utara untuk mengambil tindakan provokatif, yang dapat memicu ketegangan dengan Korea Selatan dan sekutunya.
Konflik di kawasan-kawasan ini akan memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi global, termasuk Indonesia. Gangguan pada rantai pasok global, fluktuasi harga energi, dan ketidakpastian pasar keuangan akan menjadi tantangan yang harus dihadapi.
Arah Strategis dan Sikap Indonesia
Di tengah tekanan ini, Indonesia harus melakukan reposisi. Pertama, dengan memperkuat industri dalam negeri agar tidak tergantung pada impor bahan baku dari kawasan konflik. Kedua, dengan mendiversifikasi mitra dagang ke kawasan seperti Afrika dan Amerika Selatan yang belum terlalu tereksplorasi.
Ketiga, Indonesia harus aktif menjalankan diplomasi ekonomi. Sebagai negara dengan sejarah kuat dalam peran nonblok, Indonesia bisa menjadi penengah konflik dalam tubuh BRICS sekaligus memainkan peran jembatan antara Timur dan Barat.
Dan terakhir, penguatan instrumen keuangan domestik menjadi krusial. Fluktuasi nilai tukar dan tekanan pasar modal akibat tensi geopolitik membutuhkan manuver cepat dari Bank Indonesia dan otoritas fiskal. Stabilitas rupiah dan daya tahan fiskal akan menjadi kunci menjaga kepercayaan investor.
Menjadi bagian dari BRICS adalah kesempatan strategis, tetapi hanya akan memberi manfaat jika Indonesia mampu memainkan peran diplomatik dan ekonomi dengan cerdas. Dunia tengah berubah, dan Indonesia tak boleh pasif dan sekadar menunggu arah angin.
Sekaranglah saatnya bertindak, menjaga stabilitas, memperluas jejaring ekonomi, dan berdiri tegak di tengah badai geopolitik global. Tidak justru ribut sendiri untuk sesuatu yang secara jelas tidak konstitusional. Hanya semata memuaskan dahaga dan hasrat kuasa sesaat dan sesat. (*)