KABARBURSA.COM - Pemerintah sedang menggeber proyek ekonomi kerakyatan paling ambisius sejak era reformasi: Koperasi Desa dan Kelurahan (Kopdes) Merah Putih. Presiden Prabowo Subianto menargetkan pembentukan koperasi ini di 80.000 desa dan kelurahan, seluruhnya rampung sebelum akhir 2025.
Skema ini bukan sekadar proyek. Dalam berbagai forum, termasuk saat pertemuan kepala daerah di Magelang dan panen raya nasional di Majalengka, Presiden menegaskan bahwa Kopdes Merah Putih akan menjadi tulang punggung baru bagi ketahanan pangan nasional dan pemerataan ekonomi dari akar rumput.
Namun, proyek kolosal ini menyisakan pertanyaan krusial: Apakah pemerintah benar-benar siap menjadikan koperasi sebagai mesin ekonomi desa? Ataukah ini sekadar infrastruktur politik menjelang Pilpres 2029 yang dibungkus retorika populis?

Retorika Ekonomi Kerakyatan dan Kesiapan Lapangan yang Minim
Dalam pernyataan publik, Presiden menyampaikan bahwa koperasi desa bakal membongkar rantai distribusi pangan yang panjang, memangkas dominasi tengkulak, dan menyederhanakan harga bahan pokok. Pemerintah bahkan merancang Kopdes Merah Putih dengan enam outlet layanan dalam satu atap: gerai sembako, unit simpan pinjam, klinik dan apotek, cold storage, kantor koperasi, dan layanan usaha berbasis potensi lokal.
Namun, rencana besar ini dihadapkan pada tenggat waktu yang nyaris mustahil. Pemerintah memberi waktu hanya empat bulan, dari Maret hingga Juni 2025, untuk menyulap ide di atas kertas menjadi koperasi fungsional. Seluruh koperasi harus memiliki pengurus, struktur hukum, outlet layanan, dan masuk ke dalam dashboard pelaporan digital. Pemerintah menargetkan peluncuran besar-besaran pada Hari Koperasi Nasional, 12 Juli 2025.
Alih-alih memberi waktu yang cukup untuk proses pembentukan koperasi yang sehat dan partisipatif, pendekatan serba cepat ini justru membuka risiko terbentuknya koperasi semu: hidup di atas kertas, tapi mati dalam praktik.

Politik Simbolik dan Tumpang Tindih Lembaga Desa
Kementerian Koperasi menyampaikan bahwa Kopdes Merah Putih berbeda dari BUMDes. Menteri Koperasi Indonesia, Budi Arie Setiadi menegaskan bahwa koperasi adalah milik warga desa, sementara BUMDes berada di bawah pemerintah desa. Penegasan ini penting, tetapi tidak cukup menjawab kekhawatiran akan tumpang tindih fungsi dan konflik kepentingan yang berpotensi muncul.
Pemerintah mengatur agar kepala desa menjabat sebagai pengawas koperasi. Kebijakan ini justru menciptakan celah besar untuk tarik-menarik kepentingan politik lokal. Kepala desa, dengan segala otoritas politik dan pengaruhnya, bisa mengendalikan arah koperasi dan menjadikannya sebagai alat distribusi kekuasaan. Jika hal ini tidak diantisipasi dengan tegas dan sistemik, maka Kopdes Merah Putih hanya akan menjadi kelanjutan dari proyek populis lain yang cepat menguap.

Konstitusi Memberi Legitimasi, Tapi Bukan Garansi
Pasal 33 UUD 1945 memberikan pijakan kuat bagi ekonomi koperasi. Konstitusi mengamanatkan agar ekonomi nasional dijalankan berdasarkan prinsip kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Secara normatif, koperasi mendapatkan tempat istimewa dalam sistem ekonomi Indonesia.
Namun, konstitusi tidak menjamin implementasi yang konsisten. Sejarah memperlihatkan bahwa koperasi sering kali menjadi instrumen politik dan alat distribusi bantuan, bukan sebagai institusi ekonomi yang otonom dan berdaya. Dalam upaya mendukung Kopdes Merah Putih, pemerintah telah menerbitkan sejumlah regulasi turunan, mulai dari UU No. 25/1992 hingga Inpres No. 9/2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi.
Sayangnya, regulasi yang gemuk tidak sejalan dengan komitmen pada pengawasan yang kuat dan transparan. Tanpa itu, koperasi akan kembali ke pola lama: dijadikan kendaraan proyek dengan umur pendek.

Luka Lama Koperasi yang Belum Sembuh
Koperasi memiliki akar sejarah yang kuat di Indonesia. Bung Hatta menjadikannya simbol kedaulatan ekonomi rakyat—jalan tengah antara kapitalisme pasar dan sosialisme negara. Namun, sejak era Orde Baru, makna koperasi mulai bergeser. Pemerintah menjadikan koperasi, terutama KUD, sebagai alat distribusi bantuan dan kendaraan politik. Setelah reformasi, koperasi kesulitan bangkit karena tak punya sistem tata kelola yang kokoh.
Kini, sekitar 40 persen koperasi di Indonesia berstatus tidak aktif atau tidak sehat. Pemerintah ingin menyuntikkan vaksin baru bernama Kopdes Merah Putih, tetapi lupa membangun sistem imunitas kelembagaan yang tahan uji. Tanpa reformasi sistemik, koperasi baru hanya akan mengikuti jejak kegagalan lama.

Rp400 Triliun dan Ancaman Korupsi Struktural
Anggaran yang direncanakan untuk program ini bukan main-main. Pemerintah mengestimasi setiap koperasi akan mendapat Rp3–5 miliar. Jika 80.000 koperasi benar-benar terbentuk, maka total anggaran bisa menyentuh angka Rp400 triliun.
Jumlah itu sangat besar dan tersebar ke seluruh pelosok Indonesia Raya, membuat pengawasan menjadi tantangan serius. Tanpa sistem kontrol berbasis risiko, audit digital yang transparan, serta pelaporan terbuka yang melibatkan masyarakat, program ini rentan menjadi ladang korupsi terstruktur.
Pemerintah pernah mengalami kegagalan dalam program-program bantuan sebelumnya, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), bansos, dan dana bergulir. Semua itu menunjukkan pola yang sama: niat baik tidak cukup jika pelaksanaan tidak transparan dan akuntabel. Kini, risiko itu kembali mengintai.

Literasi, Digitalisasi, dan SDM yang Tidak Siap
Masalah besar lainnya terletak pada kesiapan sumber daya manusia. Ribuan desa masih belum memiliki pengurus koperasi yang memahami manajemen modern. Literasi keuangan dan digital juga belum menjangkau mayoritas warga desa. Digitalisasi koperasi hanya akan menjadi slogan kosong jika jaringan internet, perangkat teknologi, dan kapasitas SDM tidak tersedia secara merata.
Pemerintah seharusnya tidak mendorong pembentukan koperasi dengan pendekatan proyek. Koperasi idealnya tumbuh dari kebutuhan riil warga, bukan karena dorongan kebijakan top-down. Bila ingin berhasil, Kopdes Merah Putih harus dikembangkan sebagai ekosistem bisnis yang berkelanjutan, bukan sebagai tugas administratif yang harus selesai dalam waktu singkat.
Koperasi tidak bisa dikelola seperti warung kecil. Ia adalah perusahaan sosial yang memerlukan sistem tata kelola modern, integrasi rantai pasok, dan pengelolaan berbasis meritokrasi. Penetapan pengurus melalui musyawarah tidak boleh menjadi formalitas simbolik yang menyingkirkan kompetensi.

Hari Koperasi: Momentum Nyata atau Seremoni Kosong?
Kopdes Merah Putih akan diluncurkan secara nasional pada Hari Koperasi, 12 Juli 2025. Tapi publik berhak bertanya: apakah ini benar-benar momentum perubahan? Atau hanya seremoni tahunan yang menghabiskan anggaran?
Pemerintah telah menyiapkan kerangka hukum dan dukungan dana. Tapi kerangka ini tidak akan berarti apa-apa tanpa keberanian mengawal implementasi di lapangan. Yang dibutuhkan sekarang adalah audit sosial berbasis masyarakat, sistem kontrol independen, dan keterlibatan warga yang substansial.
Koperasi tidak boleh kembali dikooptasi oleh elite lokal atau dijadikan alat mobilisasi kekuasaan. Kepemimpinan koperasi harus berbasis kompetensi, bukan koneksi. Jika tidak, maka semangat ekonomi inklusif yang diwariskan oleh Bung Hatta hanya akan menjadi slogan kosong dalam brosur pemerintah.

Peluang Terakhir atau Cermin Kegagalan Baru?
Kopdes Merah Putih bisa menjadi babak baru dalam transformasi ekonomi desa. Jika berhasil, koperasi akan menjadi pilar utama kemandirian ekonomi masyarakat. Tapi jika gagal, proyek ini hanya akan mencetak 80.000 monumen kegagalan baru—yang semuanya dibangun dari uang rakyat.

Pemerintah kini berada di persimpangan jalan sejarah. Ia bisa memilih untuk menjalankan amanat konstitusi dan semangat Bung Hatta. Atau mengulang kesalahan lama, menjadikan koperasi sebagai panggung politik dan proyek jangka pendek.
Pilihan ada di tangan mereka yang memegang kendali. Tapi rakyat berhak menagih hasilnya. (*)