Logo
>

Menata Arah Baru Diplomasi Ekonomi Global

Ditulis oleh Uslimin Usle
Menata Arah Baru Diplomasi Ekonomi Global
Ilustrasi Delegasi Indonesia melakukan negosiasi dengan Pemerintah Amerika Serikat agar pengenaan pajak Impor AS dapat di sesuaikan

KABARBURSA.COM - Indonesia patut berbangga. Paling tidak, untuk saat ini. Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data ekspor-impor Maret 2025 yang menunjukkan kabar baik: neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus sebesar USD4,33 miliar. Ini merupakan surplus ke-59 secara berturut-turut sejak Mei 2020—rekor panjang yang menunjukkan daya tahan ekonomi nasional di tengah turbulensi global.

Nilai ekspor naik hampir 6 persen secara bulanan dan lebih dari 3 persen secara tahunan. Nilai impor pun ikut tumbuh, meski lebih landai. Dalam tiga bulan pertama 2025 saja, Indonesia berhasil membukukan surplus kumulatif USD10,92 miliar. Mesin ekspor Indonesia, tampaknya, masih hidup dan kuat.

Ilustarsi oleh Andrew Bernad
Namun, di balik angka-angka manis itu, badai global sedang bersiap menggulung. Amerika Serikat, di bawah pemerintahan Donald J. Trump yang kembali berkuasa, menunjukkan giginya. Dalam semangat populisme ekonomi yang bangkit kembali, Washington menggencarkan strategi tekanan tarif dan sanksi finansial, bukan hanya terhadap China, tapi juga terhadap negara-negara mitra yang tetap menjaga hubungan dagang dengan Beijing—termasuk Indonesia.

Trump 2.0 tengah menyusun kebijakan yang mensyaratkan pengurangan volume perdagangan dengan China sebagai prasyarat untuk memperoleh keringanan tarif dari AS. Ini bukan gertakan biasa. Sanksi finansial disebut-sebut masuk ke dalam paket kebijakan tersebut. Sebuah pesan kuat dikirimkan ke dunia: bersama AS berarti menjauh dari China.Ilustarsi oleh Andrew Bernad

Ilustarsi oleh Andrew Bernad

Dilema antara Washington dan Beijing

Di sisi lain, China tidak tinggal diam. Dalam pernyataan keras dari Kementerian Perdagangan, Beijing menegaskan bahwa pihaknya akan mengambil “langkah balasan secara tegas dan setara” terhadap negara mana pun yang melemahkan posisi dagangnya demi mendekat ke AS.

Indonesia berada di persimpangan jalan. Pemerintah tengah mempertimbangkan untuk meningkatkan impor pangan dan komoditas dari AS, sambil mengurangi ketergantungan pada pasokan dari negara lain. Jika benar langkah ini diambil, posisinya akan semakin kompleks: menjaga hubungan baik dengan Washington tanpa mengorbankan kedekatan strategis dengan Beijing.

Presiden Xi Jinping baru-baru ini melakukan lawatan ke Asia Tenggara, termasuk menyerukan perlawanan terhadap “tindakan sepihak dan intimidatif” dalam perdagangan global. “Tidak ada pihak yang menang dalam perang dagang,” katanya di Hanoi. Tapi dunia tahu, ini bukan hanya retorika moral—melainkan peringatan politik yang nyata.

Indonesia kini menghadapi pertaruhan besar: menjaga surplus dagang bukan hanya soal menjaga performa ekspor, tetapi juga soal merancang strategi cerdas menghadapi tekanan dua kekuatan besar dunia. Amerika dan China.

Ilustarsi oleh Andrew Bernad

Lawatan Strategis ke Washington

Dalam konteks itu, lawatan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan tim ke Washington, bukan sekadar kunjungan diplomatik biasa. Ini adalah manuver strategis yang penting dalam memperkuat posisi tawar Indonesia di tengah tarik-menarik AS dan China. Sejumlah nota kesepahaman ditandatangani dalam bidang perdagangan, investasi, teknologi, dan energi hijau. Pemerintah AS pun menyatakan kesiapannya membuka lebih banyak keran impor untuk komoditas unggulan Indonesia—sawit, udang, kopi, tekstil, furnitur, hingga elektronik.

Tak kalah penting, Indonesia kembali mengusulkan pemulihan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP). Ini bukan sekadar soal keringanan tarif, tetapi tentang pengakuan terhadap kualitas dan daya saing produk Indonesia di pasar global.

Sejumlah raksasa teknologi seperti Google, Amazon, dan Microsoft juga menyampaikan komitmennya untuk memperluas investasi di Indonesia. Ini membuka peluang akselerasi transformasi digital nasional dan perluasan ekonomi berbasis teknologi. Tapi pencapaian ini juga harus dibaca dengan kacamata kritis: peluang besar selalu datang bersama risiko besar.

Infografis Menjadi Aktor Progresif di Tata Ekonomi Baru_8_11zon.webp 80.89 KB

Menavigasi Risiko dan Ketegangan Global

Tantangan besar tengah menanti. China—yang selama ini menjadi mitra dagang terbesar Indonesia—telah memberi peringatan bahwa negara mana pun yang merugikan kepentingannya demi keuntungan sesaat dari AS, akan menghadapi respons keras. Dalam situasi seperti ini, Indonesia tidak bisa hanya bermain aman. Diperlukan diplomasi presisi, dengan fondasi kepentingan nasional jangka panjang.

Kebijakan perdagangan tidak boleh didikte oleh tekanan eksternal. Apalagi ketika ekonomi global tengah dilanda krisis multidimensi. Mulai dari suku bunga tinggi di negara-negara maju, volatilitas nilai tukar, dan ancaman resesi di AS dan Eropa. Fragmentasi rantai pasok global sebagai dampak dari perang tarif AS-China menciptakan peluang sekaligus ancaman bagi Indonesia.

Indonesia harus memperkuat ketahanan internal untuk menghadapi badai eksternal. Reformasi struktural menjadi keharusan, bukan pilihan. Ketergantungan pada ekspor bahan mentah membuat posisi ekonomi Indonesia rentan. Saatnya mempercepat hilirisasi industri dan memfokuskan energi pada peningkatan nilai tambah domestik.

Ketahanan Pangan dan Diplomasi Komoditas

Selain reformasi industri, Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam sektor pangan. Krisis iklim dan disrupsi pasokan global akibat geopolitik menjadikan ketahanan pangan sebagai isu sentral. Ketergantungan tinggi terhadap impor gandum, kedelai, dan bahan pangan strategis lainnya harus segera dikurangi. Diversifikasi sumber impor hanyalah solusi jangka pendek. Yang dibutuhkan adalah transformasi sistem pangan nasional.

Dalam hal ini, diplomasi pangan harus menjadi bagian integral dari strategi kebijakan luar negeri. Indonesia harus mulai menjajaki kerja sama jangka panjang dengan negara-negara non-tradisional di Afrika dan Amerika Latin. Selain itu, penguatan sektor pertanian dalam negeri harus menjadi prioritas utama.

Menjadi Produsen Bernilai Tambah

Dalam konteks hubungan bilateral dengan AS, Indonesia harus mendorong relasi yang lebih setara. Komoditas unggulan Indonesia masih sangat bergantung pada dinamika pasar dan preferensi tarif di negara tujuan. Pemulihan GSP bisa menjadi pintu masuk bagi penguatan posisi Indonesia sebagai produsen bernilai tambah, bukan sekadar pengekspor bahan mentah.

Pemerintahan Prabowo-Gibran perlu memperkuat langkah-langkah diplomatik yang telah dirintis. Setelah AS, Indonesia harus melirik kawasan strategis lain seperti Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin. Diversifikasi pasar ekspor akan menjadi fondasi penting untuk menghadapi ketidakpastian global.

Di dalam negeri, pembenahan logistik, digitalisasi UMKM, dan kolaborasi dalam pengembangan teknologi tinggi harus menjadi prioritas pembangunan ekonomi. Investasi besar dalam pendidikan vokasi dan riset teknologi juga krusial agar Indonesia tidak hanya menjadi tempat produksi, tetapi pusat inovasi. 

Ilustarsi oleh Andrew Bernad

Dari Penonton menjadi Pemain Kunci

Perang dagang AS–China menunjukkan bahwa arsitektur ekonomi global tengah digambar ulang. Indonesia tak boleh hanya menjadi penonton atau wilayah netral yang pasif. Ini saatnya untuk menjadi aktor progresif yang mendorong tatanan ekonomi global yang lebih inklusif dan adil.

Indonesia punya semua modal. Mulai dari lokasi strategis, kekayaan sumber daya alam, dan bonus demografi. Yang dibutuhkan adalah arah kebijakan yang konsisten, keberanian mengambil posisi strategis, dan ketajaman membaca arah perubahan.

Ilustarsi oleh Andrew Bernad

Saat dunia makin tertutup, Indonesia harus justru membuka jalan sebagai mercusuar keterbukaan ekonomi yang cerdas dan berkeadilan. Diplomasi ekonomi harus menjadi instrumen utama untuk menjaga kedaulatan nasional dan menjamin masa depan bangsa tetap dalam kendali kita sendiri.

Dengan mengedepankan strategi yang berbasis kepentingan nasional, berpijak pada keadilan global, dan disertai langkah reformasi domestik yang berani, Indonesia tak hanya bisa bertahan, tetapi justru tumbuh menjadi kekuatan baru dalam tatanan ekonomi dunia yang tengah berubah. (*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Uslimin Usle

Jurnalis jenjang utama (November 2012) dan penguji nasional pada Aliansi Jurnalistik Independen sejak 2013. 
Aktif sebagai jurnalis pertama kali pada Desember 1993 di koran kampus PROFESI IKIP Ujungpandang (kini Universitas Negeri Makassar). 
Bergabung sebagai reporter Majalah Dwi Mingguan WARTA SULSEL pada 1996-1997. Hijrah ke majalah DUNIA PENDIDIKAN (1997-1998) dan Tabloid PANCASILA (1998), lalu bergabung ke Harian Fajar sebagai reporter pada Maret 1999. 
Di grup media yang tergabung Jawa Pos Grup, meniti karier secara lengkap dan berjenjang (reporter-redaktur-koordinator liputan-redaktur pelaksana-wakil pemimpin redaksi hingga posisi terakhir sebagai Pemimpin Redaksi  pada Januari 2015 hingga Agustus 2016).
Selepas dari Fajar Grup, bergabung ke Kabar Grup Indonesia sebagai Direktur Pemberitaan pada November 2017-Mei 2018, dan Juni 2023 hingga sekarang, merangkap sebagai Pemimpin Redaksi KabarBursa.Com (Januari 2024) dan KabarMakassar.Com (Juni 2023). (*)