Logo
>

Negara Tidak Boleh Kalah pada Oligarki!

Ditulis oleh Uslimin Usle
Negara Tidak Boleh Kalah pada Oligarki!
Grafis Oleh Andrew Bernard

Poin Penting :

    https://youtu.be/pRub3TKMMCo?si=dW8eo0RkrKlJynZw

    KABARBURSA.COM - Reformasi agraria adalah janji yang terus-menerus digaungkan. Dari setiap periode pemerintahan. Sayang sekali, hingga saat ini, hal itu sangat sulit diwujudkan dengan sungguh-sungguh.

    Di atas kertas, negara berjanji akan mendistribusikan tanah secara adil, memberdayakan petani, dan mengurangi ketimpangan kepemilikan lahan. Namun realitasnya justru berbanding terbalik. Tanah-tanah produktif terus dikuasai segelintir elite. Petani dan nelayan kecil serta masyarakat adat, malah terusir dari tanah mereka sendiri.

    Masalah utama dari gagalnya reformasi agraria di Indonesia adalah cengkeraman oligarki yang begitu kuat. Oligarki agraria yang terdiri atas konglomerat, taipan perkebunan dan raksasa properti, hingga politikus yang bermain di bisnis lahan, menggunakan kekuatan ekonomi dan politiknya untuk menggagalkan distribusi lahan yang berkeadilan. Mereka mengendalikan kebijakan. Membentuk regulasi untuk melanggengkan dominasi. Bahkan, menggunakan aparat negara guna meredam dan menekan perlawanan rakyat.

    Inilah wajah kolonialisme baru. Tanah rakyat dijarah dengan dalih investasi dan pembangunan. Bahasa politisnya: proyek strategis nasional (PSN). Parahnya, alat negara justru berdiri sebagai penjaga kepentingan pemilik modal. Sungguh biadab bin bejat. Khianat di atas khianat.

    Contoh nyata dari permainan alat kekuasaan dengan kepentingan bisnis adalah kontroversi pemagaran laut di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten. Sepanjang 30,16 kilometer perairan laut dipagar. Proyek ini diduga menjadi bukti nyata bagaimana pengusaha besar dapat menggunakan pengaruhnya untuk merebut akses dan kontrol atas sumber daya publik. Lagi-lagi dengan dalih pembangunan dan mitigasi bencana.

    Akan tetapi, alih-alih melindungi kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada laut. Kebijakan ini justru menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dalam bisnis properti dan industri maritim. Fenomena ini mencerminkan pola yang sama dengan ketimpangan agraria di daratan, di mana rakyat dikorbankan demi kepentingan oligarki.

    Masih ingat pada kasus Rempang, Batam. Modus dan motifnya relatif sama. Korbannya juga sama: rakyat kecil. Dalihnya pun sama: PSN. Kepentingan investasi dan pembangunan, katanya. Namun faktanya, jauh panggang dari api. Yang diuntungkan selalu kaum oligarki. Rakyat yang protes, dibogem menggunakan alat negara. Sungguh kekejaman yang tak berperi.

    Korupsi Sistemik PSN

    Kasus pagar laut di PIK 2 bukan sekadar proyek infrastruktur. Skandal itu cerminan dari korupsi sistemik yang mengakar dalam setiap level pemerintahan. Sejak penetapan sebagai PSN, skema yang melibatkan Presiden, Menteri, hingga pejabat lokal seperti camat dan lurah patut diaudit secara menyeluruh. Pertanyaannya, kepentingan siapa yang benar-benar dilayani oleh proyek ini?

    Kejanggalan sudah lama tercium. PSN seharusnya menjadi solusi bagi kepentingan publik. Tapi, kenyataan di lapangan menunjukkan keberpihakan yang jelas: keuntungan bagi segelintir elite ekonomi. Proyek ini bukan sekadar karpet merah bagi pengusaha mapan, tetapi juga alat ekspansi bisnis yang merampas ruang hidup masyarakat. Ketika negara seharusnya menjadi pelindung rakyat, justru lebih sering berperan sebagai penonton. Atau bahkan lebih buruk lagi: bagian dari masalah.

    Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memperlihatkan eskalasi konflik agraria yang mengkhawatirkan. Pada 2023, tercatat 21 konflik agraria dengan luas sengketa mencapai 243.556 hektare dan 3.464 korban. Memasuki 2024, jumlahnya melonjak drastis: 39 konflik agraria akibat PSN, terdiri atas 36 proyek infrastruktur dan tiga proyek food estate. Luas lahan terdampak membengkak menjadi 488.393,91 hektare, dengan 18.130 keluarga terjebak dalam pusaran konflik akibat PSN.

    Secara keseluruhan, sepanjang 2024, terdapat 295 konflik pertanahan di Indonesia, naik 21 persen dibandingkan 2023 yang mencatat 241 kasus. Sektor perkebunan, khususnya sawit, menjadi penyumbang terbesar dengan 67 persen kasus, mencakup 127.281,30 hektare dan menggusur 14.696 keluarga. Disusul sektor infrastruktur dengan 79 konflik di atas lahan 290.785,11 hektare, berdampak pada 20.274 keluarga.

    Tak berhenti di situ. Sektor pertambangan menyumbang 41 konflik tanah dengan total area 71.101,75 hektare dan 11.153 keluarga terdampak. Sementara itu, sektor properti dan kehutanan masing-masing mencatat 25 kasus, dengan kehutanan menjadi sektor paling luas terdampak, yakni 379.588,75 hektare yang menggusur 7.056 keluarga. Sebaliknya, sektor properti meski lebih kecil dalam luas lahan (92,58 hektare) tetap merampas hak 941 keluarga.

    Angka-angka ini menunjukkan satu pola. Yakni, PSN tidak hanya gagal menyejahterakan rakyat. Akan tetapi, justru menjadi mesin penghancur ruang hidup masyarakat. Negara, alih-alih menjadi penjaga hak warganya. Justru sebaliknya, kerap menjadi fasilitator bagi kepentingan korporasi besar.

    Reformasi Agraria Sejati

    Jika tren ini terus dibiarkan, konflik agraria bukan lagi ancaman. Tapi, kepastian yang tak terhindarkan. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Tidak boleh terus berulang. Apalagi berlanjut. Harus segera dihentikan. Atas nama bangsa Indonesia. Dan atas dasar semangat ideologi Pancasila.

    Presiden Prabowo Subianto telah berulang kali menegaskan bahwa pemerintahannya tidak akan memberi ruang bagi pengusaha bandel dan menyalahgunakan kebijakan demi kepentingan pribadi. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo berulang kali menekankan bahwa kepentingan rakyat, khususnya petani dan nelayan, harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan pembangunan nasional.

    Jika komitmen ini benar-benar diwujudkan, maka langkah konkret harus segera diambil. Sektor agraria harus dibersihkan dari tangan-tangan rakus oligarki. Hak rakyat atas tanah dan sumber daya harus benar-benar terjamin. Bukan sebaliknya, terus digerogoti hingga habis tak bersisa.

    Negara tidak boleh tunduk pada oligarki! Reformasi agraria sejati harus menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan. Bukan kepentingan korporasi besar. Redistribusi tanah harus dilakukan secara nyata. Bukan hanya menjadi jargon kampanye atau program setengah hati yang mudah dibatalkan di tengah jalan. Konflik agraria yang melibatkan petani dan masyarakat adat harus diselesaikan dengan mengutamakan hak-hak mereka. Bukan dengan intimidasi dan tindakan represi.

    Sebagai bagian dari visi besar kedaulatan pangan dan pemerataan ekonomi, pemerintah perlu melakukan audit besar-besaran terhadap kepemilikan lahan skala besar. Terutama yang dimiliki oleh korporasi dan individu yang memiliki koneksi kuat dengan kekuasaan. Tidak sedikit kasus di mana tanah negara atau lahan milik masyarakat adat, secara sistematis diambil alih melalui skema perizinan yang meragukan. Perusahaan-perusahaan besar mendapatkan hak guna usaha (HGU) dalam jangka waktu panjang. Sementara petani kecil dan nelayan gurem, harus berjuang keras bahkan hanya untuk mendapatkan sepetak tanah garapan.

    Setop Monopoli Korporasi

    Selain itu, monopoli tanah oleh korporasi harus segera dihentikan. Tidak boleh ada satu pun perusahaan atau individu yang menguasai tanah dalam jumlah berlebihan tanpa memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sekitar. Regulasi harus lebih tegas dalam membatasi kepemilikan tanah agar tidak ada akumulasi kekayaan yang merugikan rakyat kecil. Di sisi lain, pemerintah harus mendorong skema pertanian berbasis koperasi atau sistem kemitraan yang lebih adil, di mana petani mendapatkan akses yang lebih luas terhadap lahan dan dukungan dalam produksi.

    Pemerintah juga harus menindak tegas segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat negara dalam konflik agraria. Sudah terlalu banyak kasus di mana petani, aktivis agraria, dan masyarakat adat mengalami kriminalisasi ketika memperjuangkan hak mereka atas tanah. Aparat keamanan sering kali digunakan sebagai alat oleh pemilik modal untuk menekan perlawanan rakyat. Jika Presiden Prabowo benar-benar ingin menunjukkan keberpihakannya pada rakyat, maka reformasi di sektor keamanan juga harus dilakukan untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan tidak berat sebelah.

    Dalam konteks pemagaran laut di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten, pemerintah harus transparan dalam menjelaskan urgensi proyek tersebut. DPR harus benar-benar menjadi wakil rakyat. Dan bekerja untuk rakyat. Sekaligus memastikan bahwa kepentingan masyarakat pesisir tidak dikorbankan demi keuntungan segelintir pihak.

    Jika memang terbukti ada permainan kotor antara pengusaha dan oknum pejabat dalam proyek ini, maka tindakan hukum harus segera diambil. Secara adil, jujur dan transparan. Siapapun yang terlibat harus dilibas tuntas. Jangan sampai proyek yang seharusnya bertujuan untuk mitigasi bencana, malah menjadi alat eksploitasi sumber daya yang merugikan nelayan dan masyarakat sekitar.

    Reforma agraria adalah pertarungan antara keadilan dan keserakahan. Jika negara tidak berpihak pada rakyat, maka sejarah akan mencatatnya sebagai rezim yang membiarkan ketimpangan ini terus berlangsung. Rakyat menunggu tindakan nyata. Bukan sekadar janji kosong! Pemerintahan Prabowo harus membuktikan bahwa mereka benar-benar berdiri di pihak rakyat dengan menegakkan keadilan agraria tanpa kompromi terhadap kepentingan oligarki.

    Saatnya reformasi agraria yang sejati, diwujudkan! Negara tidak boleh kalah dan tunduk pada oligarki. Reformasi agraria harus tegas dan memihak rakyat. Jangan sekadar janji dan retorika belaka. Saatnya bertindak nyata. Sebelum amarah rakyat meledak, menghanguskan bumi pertiwi. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Uslimin Usle

    Jurnalis jenjang utama (November 2012) dan penguji nasional pada Aliansi Jurnalistik Independen sejak 2013. 
    Aktif sebagai jurnalis pertama kali pada Desember 1993 di koran kampus PROFESI IKIP Ujungpandang (kini Universitas Negeri Makassar). 
    Bergabung sebagai reporter Majalah Dwi Mingguan WARTA SULSEL pada 1996-1997. Hijrah ke majalah DUNIA PENDIDIKAN (1997-1998) dan Tabloid PANCASILA (1998), lalu bergabung ke Harian Fajar sebagai reporter pada Maret 1999. 
    Di grup media yang tergabung Jawa Pos Grup, meniti karier secara lengkap dan berjenjang (reporter-redaktur-koordinator liputan-redaktur pelaksana-wakil pemimpin redaksi hingga posisi terakhir sebagai Pemimpin Redaksi  pada Januari 2015 hingga Agustus 2016).
    Selepas dari Fajar Grup, bergabung ke Kabar Grup Indonesia sebagai Direktur Pemberitaan pada November 2017-Mei 2018, dan Juni 2023 hingga sekarang, merangkap sebagai Pemimpin Redaksi KabarBursa.Com (Januari 2024) dan KabarMakassar.Com (Juni 2023). (*)