KABARBURSA.COM - Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmen besar terhadap dua program andalannya: Makan Bergizi Gratis (MBG) dan swasembada pangan serta energi (SPE). Demi merealisasikan visi tersebut, pada 22 Januari 2025, ia menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 yang memerintahkan efisiensi alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Instruksi ini mengguncang hampir seluruh kementerian dan lembaga. Pemerintah memangkas dan mengalihkan anggaran hingga Rp306,69 triliun dalam APBN 2025, dengan rincian Rp256,1 triliun dari belanja kementerian/lembaga dan Rp50,59 triliun dari transfer ke daerah.
Langkah ambisius ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah pemangkasan ini merupakan strategi yang matang atau justru manuver politik yang berisiko terhadap stabilitas ekonomi nasional? Dengan kondisi fiskal yang menantang dan utang yang membengkak, implikasi kebijakan ini tak bisa dianggap remeh. Soliditas kabinet dan stabilitas ekonomi nasional pun menjadi taruhannya.
Ketimpangan Prioritas dan Beban Utang
Janji kampanye Prabowo mengenai MBG dan SPE menarik perhatian publik, tetapi pendanaannya melalui pemangkasan anggaran skala besar menimbulkan kekhawatiran. Pengurangan Rp306,69 triliun bukan angka kecil dan bisa berdampak luas terhadap program-program yang menopang ekonomi nasional.
Di saat yang sama, Indonesia menghadapi beban utang yang kian berat. Pada 2025, utang jatuh tempo mencapai Rp800,33 triliun, sementara pemerintah berencana menarik utang baru sebesar Rp775 triliun. Jika pemangkasan anggaran ini tidak diiringi strategi pengelolaan utang dan peningkatan penerimaan negara, risiko fiskal Indonesia akan semakin besar.
Pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga pada APBN 2025 bukan keputusan mendadak. Sejak penyusunan RAPBN 2025 pada September 2024, pemerintah telah mengisyaratkan pergeseran prioritas belanja negara untuk mendukung program unggulan pemerintah baru hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Namun, distribusi pemangkasan tidak merata. Sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan mengalami pemotongan signifikan, sementara beberapa lembaga tetap mendapat anggaran stabil.
Menariknya, beberapa institusi seperti Kementerian Pertahanan, Polri, BIN, Mahkamah Agung, Kejaksaan, DPR, dan BPK tidak mengalami pemangkasan. Ini menimbulkan pertanyaan apakah kebijakan ini benar-benar berbasis efisiensi atau ada faktor politik yang bermain?
Inpres No. 1/2025 menargetkan efisiensi pada pengeluaran seremonial seperti halalbihalal, seminar, rapat, dan perjalanan dinas. Namun, Menteri Keuangan memperluas cakupannya hingga pemangkasan biaya pemeliharaan dan perawatan. Pertanyaannya, apakah strategi ini cukup efektif tanpa mengganggu program vital lainnya?
Ironi Kabinet Gemuk
Keputusan efisiensi ini kontras dengan pembentukan kabinet terbesar dalam sejarah Reformasi, yang mencakup lebih dari 100 menteri, wakil menteri, dan kepala badan. Struktur pemerintahan yang besar tentu menyedot anggaran signifikan. Jika efisiensi menjadi prioritas, bukankah lebih logis untuk merampingkan kabinet sebelum memangkas anggaran kementerian dan lembaga?
Dampak utama pemangkasan besar ini adalah potensi degradasi layanan publik. Jika sektor kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur terkena pemotongan besar, daya saing ekonomi nasional bisa tergerus. Selain itu, belanja modal yang penting untuk investasi jangka panjang juga bisa terdampak, memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Transparansi alokasi dana hasil pemangkasan ini menjadi isu krusial. Apakah Rp306,69 triliun benar-benar cukup untuk membiayai MBG dan SPE secara berkelanjutan? Ataukah pemerintah akan tetap mengandalkan utang baru, memperburuk defisit anggaran?
Dampak terhadap Investasi
Salah satu konsekuensi dari pemangkasan anggaran yang besar adalah berkurangnya belanja modal pemerintah. Dalam kondisi ekonomi yang masih mengalami tantangan global, investasi pemerintah di sektor infrastruktur, teknologi, dan pendidikan sangat diperlukan untuk menjaga daya saing nasional.
Dengan berkurangnya belanja modal, potensi pertumbuhan ekonomi juga ikut melemah. Investor, baik dalam maupun luar negeri, cenderung berhati-hati terhadap kebijakan fiskal yang tidak konsisten. Jika pemangkasan anggaran ini menyebabkan ketidakpastian dalam proyek-proyek pemerintah, maka aliran investasi pun bisa terganggu.
Selain itu, pemotongan transfer ke daerah sebesar Rp50,59 triliun berisiko menghambat pembangunan daerah. Banyak proyek infrastruktur dan layanan publik di tingkat daerah yang bergantung pada transfer dana dari pusat. Tanpa perencanaan yang jelas, ketimpangan antara daerah maju dan tertinggal bisa semakin lebar.
Alternatif Strategi Efisiensi
Alih-alih memangkas anggaran kementerian secara masif, pemerintah seharusnya mempertimbangkan reformasi perpajakan guna meningkatkan penerimaan negara. Peningkatan kepatuhan pajak, pajak progresif, serta pengurangan kebocoran anggaran dapat menjadi solusi lebih berkelanjutan dibanding pemotongan belanja negara.
Efisiensi birokrasi juga perlu diutamakan. Restrukturisasi kelembagaan dan pemangkasan pos anggaran yang kurang produktif dapat menciptakan ruang fiskal tanpa mengorbankan layanan publik. Kebijakan efisiensi seharusnya tidak menjadi solusi instan untuk membiayai program populis tanpa kajian matang.
Salah satu contoh dampak buruk pemangkasan tanpa koordinasi adalah yang dialami Mahkamah Konstitusi. Sekjen MK, Heru Setiawan, mengungkapkan bahwa lembaganya hanya mampu membayar gaji pegawai hingga Mei 2025 akibat pemotongan Rp226,1 miliar dari total pagu Rp611,4 miliar. Ini menunjukkan risiko besar jika pemangkasan dilakukan tanpa strategi yang jelas.
Efisiensi atau Sekadar Manuver?
Pemangkasan anggaran dalam skala besar semestinya dilakukan dengan perhitungan yang matang. Jika tujuan utama adalah menata fiskal secara berkelanjutan, maka kebijakan ini harus diiringi dengan langkah-langkah yang lebih menyeluruh, seperti reformasi pajak, peningkatan efisiensi birokrasi, dan optimalisasi belanja negara.
Presiden Prabowo memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa kebijakan ini bukan sekadar janji politik atau langkah coba-coba, melainkan strategi yang benar-benar mampu menata ekonomi nasional secara berkelanjutan. Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini justru dapat menjadi bumerang yang menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. (*)