KABARBURSA.COM - Pemerintah telah mengambil langkah berani dengan menghapus utang 67 ribu pelaku usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM). Pada tahap awal, program penghapusan utang menghapus buku utang UMKM senilai Rp 2,4 triliun. Kebijakan ini diklaim sebagai bentuk keberpihakan kepada sektor usaha kecil yang terpuruk akibat pandemi dan ketidakstabilan ekonomi global. Namun, di balik kebijakan populis ini, terdapat realitas fiskal yang jauh lebih kompleks dan mengkhawatirkan.
Per 2025, Indonesia menghadapi tantangan berat dalam menjaga keseimbangan fiskal. Pendapatan negara terus menurun drastis. Hingga Februari 2025, realisasi pendapatan negara baru mencapai Rp316,9 triliun, atau 10,5 persen dari target APBN. Turun signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada Januari 2025, pendapatan negara tercatat Rp157,3 triliun atau merosot 27 persen secara tahunan (YoY), dan Februari Rp159,6 triliun turun 13,7 persen YoY. Angka-angka ini mencerminkan tekanan besar terhadap kas negara. Diperparah dengan kebutuhan belanja yang terus meningkat.
Berdasarkan laporan APBNKita yang dipaparkan Menteri Keuangan pekan kedua Maret, belanja negara tetap tinggi. Mencapai Rp348,1 triliun atau 9,6 persen dari APBN 2025. Di Januari 2025, belanja negara mencapai Rp180,8 triliun, turun tipis 1,8 persen YoY. Sementara pada Februari tercatat Rp167,3 triliun. Turun 12 persen YoY.
Dari laporan tersebut terungkap bahwa meski ada upaya efisiensi gila-gilaan, pengeluaran masih melampaui pemasukan. Defisit anggaran pun semakin melebar. Dalam dua bulan pertama 2025, defisit APBN mencapai Rp31,2 triliun (0,13 persen dari PDB).
Ironisnya, di tengah pengeluaran yang terus meningkat, penerimaan negara dari sektor strategis justru mengalami penurunan. Lifting minyak yang menjadi andalan penerimaan migas, terus merosot. Berdampak pada semakin berkurangnya pemasukan negara. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan efisiensi super ketat di berbagai sektor, tetapi langkah-langkah ini masih jauh dari cukup untuk menutup celah fiskal yang semakin melebar.
Di sisi lain, pemerintah tetap ngotot menjalankan program-program dengan beban fiskal tinggi. Program Makan Bergizi Gratis yang digadang-gadang sebagai solusi atas permasalahan gizi anak, membutuhkan alokasi anggaran besar yang belum sepenuhnya terukur efektivitasnya. Tahun ini MBG ditarget menyerap anggaran hingga Rp71 triliun. Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) juga terus dipaksakan berjalan dengan anggaran triliunan rupiah. Cilakanya, semuanya masih membebani APBN lantaran realisasi investasi swasta masih jauh dari ekspektasi. Ditambah lagi, pembentukan Lembaga Investasi Danantara yang digadang-gadang mampu mengelola dana investasi negara. Namun, kehadiran Danantara ini justru menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitasnya dalam jangka panjang.
Yang lebih mengkhawatirkan, beban utang pemerintah tahun ini semakin berat. Utang jatuh tempo mencapai Rp1.258 triliun. Untuk menutup defisit serta kebutuhan pembiayaan sebesar itu, pemerintah telah merealisasikan pembiayaan sebesar Rp220,1 triliun. Angka itu setara 35,7 persen dari target APBN 2025. Itu hanya untuk dua bulan pertama. Ini menjadi alarm super nyaring, cenderung meraung-raung bak sirene mobil pemadam kebakaran di tengah malam buta. Sinyal terang dan lampu merah bahwa strategi fiskal pemerintah berada dalam tekanan luar biasa.
Koperasi Desa (Bukan) Solusi?
Di tengah euforia penghapusan utang UMKM dan beban APBN yang teramat berat itu, pemerintah lagi-lagi bersiap meluncurkan satu program ambisius. Membentuk Koperasi Desa Merah Putih pada 12 Juli 2025, bertepatan dengan Hari Koperasi. Program ini akan mendapatkan suntikan modal sebesar Rp3-5 miliar per koperasi, dengan harapan menjadi sumber pembiayaan baru bagi pelaku UMKM yang sebelumnya terbebani utang. Dengan 83.731 jumlah desa/kelurahan saat ini, setidaknya dibutuhkan biaya antara Rp251,193-418,655 triliun.
Konsep koperasi seperti dipaparkan pemerintah, tampak menjanjikan. Yakni, akan menjadi sumbu pergerakan ekonomi di tingkat desa. Unit simpan pinjam koperasi diharapkan membebaskan masyarakat dari jeratan rentenir dan pinjaman online. Puluhan ribu koperasi tersebut ditargetkan sebagai stabilisator harga pertanian, pemutus rantai distribusi yang panjang, serta pencipta lapangan kerja di tingkat desa/kelurahan lewat beragam unit usaha. Antara lain, gerai sembako, apotek, cold storage, hingga distribusi logistik.
Secara konsep, kampanye membumikan kembali koperasi di seantero nusantara, sangat menarik dan menjanjikan. Akan tetapi, tanpa regulasi yang ketat dan pengawasan yang jelas, program ini berisiko menjadi lingkaran utang baru yang justru membebani negara dalam jangka panjang.
Pengalaman menunjukkan bahwa banyak koperasi di Indonesia yang gagal berkembang akibat buruknya manajemen dan lemahnya pengawasan. Tak jarang koperasi digunakan sebagai alat politik atau menjadi sarang korupsi yang menguntungkan segelintir pihak. Jika koperasi desa ini tidak dibangun dengan sistem akuntabilitas yang kuat, maka modal yang disuntikkan hanya akan menjadi dana yang mudah disalahgunakan. Alih-alih sebagai solusi bagi pembiayaan UMKM.
Dengan kondisi seperti itu, wajar jika muncul kekhawatiran bahwa penghapusan utang UMKM dan program koperasi desa justru akan semakin membebani APBN yang sudah terbebani kewajiban pembayaran utang. Jika tidak ada sumber pendapatan baru yang signifikan, program-program ini berisiko menambah defisit fiskal dan memaksa pemerintah untuk kembali berutang guna menutup kebutuhan anggaran.
Tetap di Jalur Populis atau Reformasi
Realitas itu menimbulkan pertanyaan besar: apakah pemerintah benar-benar memiliki strategi fiskal yang matang. Atau, hanya mengandalkan langkah populis yang memberikan keuntungan politik jangka pendek namun membahayakan stabilitas ekonomi jangka panjang? Penghapusan utang UMKM memang terdengar seperti kebijakan yang mulia, tetapi tanpa mekanisme kontrol yang jelas, langkah ini bisa menciptakan preseden buruk—di mana para debitur lain merasa tidak perlu lagi bertanggung jawab atas kewajiban finansial mereka.
Yang dibutuhkan UMKM sejatinya bukan sekadar penghapusan utang. Tapi, sistem keuangan yang lebih inklusif dan sehat. Pemerintah harus memastikan bahwa akses pembiayaan bagi UMKM menjadi lebih mudah dengan bunga yang lebih kompetitif dan mekanisme pendampingan usaha yang memadai. Selain itu, penguatan literasi keuangan bagi pelaku usaha kecil harus menjadi prioritas agar mereka tidak kembali terjebak dalam siklus utang yang sama.
Penghapusan utang seharusnya hanya menjadi langkah awal untuk membersihkan neraca keuangan UMKM yang terpuruk. Bukan menjadi instrumen populis yang dapat menciptakan dampak jangka panjang yang lebih buruk. Jika kebijakan ini tidak diikuti dengan strategi keberlanjutan yang jelas, maka Indonesia hanya akan terjebak dalam lingkaran utang dan bailout yang berulang.
Tanpa langkah nyata untuk mengatasi persoalan struktural ini, yakin deh kebijakan fiskal pemerintah akan terus terjebak dalam pusaran krisis. APBN juga tidak selamanya bergantung pada pembiayaan utang yang semakin besar, sementara sektor penerimaan terus tertekan. Jika tidak ada strategi komprehensif yang dilakukan segera, bukan tidak mungkin Indonesia akan menghadapi krisis fiskal yang lebih besar dalam beberapa waktu mendatang.
Karena itu, pemerintahan Prabowo-Gibran harus memilih pada dua simpang bertolak punggung. Tetap berpegang pada kebijakan populis yang berisiko tinggi, atau mengambil langkah-langkah reformasi ekonomi yang lebih fundamental dan berkelanjutan? Rakyat tentu berharap yang kedua. Namun, apakah pemerintah siap, mau, dan sanggup? (*)