KABARBURSA.COM - Setahun perjalanan pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka merekam babak awal penataan ulang arah ekonomi nasional. Langkah-langkah strategis, dari penghapusan piutang macet UMKM, disiplin defisit fiskal, hingga peluncuran RPJMN 2025–2029, menandai upaya mencari keseimbangan antara menjaga stabilitas dan memperluas inklusi.
Namun, di balik angka pertumbuhan dan defisit yang terjaga, ujian sesungguhnya terletak pada satu hal. Kepercayaan. Mulai petani yang diselamatkan dari kredit macet, hingga pelaku pasar yang menanti kepastian kebijakan. Tahun pertama telah menegakkan fondasi, tapi tahun-tahun berikutnya akan menentukan apakah fondasi itu mampu menopang janji kemakmuran yang inklusif.
Strategi Membangun Kepercayaan
Satu tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjadi ajang pembuktian arah baru ekonomi Indonesia. Di tengah tekanan geopolitik, fluktuasi harga komoditas, dan arus modal global yang belum pulih sepenuhnya, pemerintah berupaya menata ulang fondasi kebijakan fiskal dan keuangan nasional. Tujuannya jelas, meneguhkan stabilitas tanpa mematikan ruang inklusi.

Langkah-langkah kebijakan yang diluncurkan sejak akhir 2024 memperlihatkan pola yang konsisten. Mulai dari PP 47/2024 tentang Penghapusan Piutang Macet UMKM, UU APBN 2025, hingga Perpres 12/2025 tentang RPJMN 2025–2029, semuanya diarahkan untuk memulihkan daya tahan ekonomi rakyat sekaligus memperkuat ketertiban fiskal negara. Strategi ini menegaskan upaya pemerintah menjaga dua hal yang kerap berseberangan; kecepatan pertumbuhan dan pemerataan hasilnya.
Namun, kebijakan ekonomi bukan sekadar soal angka. Ia adalah soal kepercayaan. Di tingkat mikro, ribuan pelaku UMKM merasakan napas baru dari penghapusan utang macet yang selama ini menjerat produktivitas. Di tingkat makro, disiplin fiskal dan koordinasi otoritas keuangan (BI, OJK, dan LPS), menjadi jangkar stabilitas di tengah badai eksternal. Pemerintah tampak berusaha membangun keseimbangan antara kehati-hatian dan keberanian, sebuah seni menata ulang ekonomi di masa penuh ketidakpastian.
Rekonstruksi Moral Ekonomi dn Asta Cita Nasional
Di ruang fiskal, APBN 2025 menjadi batu uji pertama dari janji kehati-hatian pemerintah baru. Dengan total belanja negara mencapai Rp3.613 triliun, defisit tetap dijaga di 1,25 persen terhadap PDB hingga kuartal ketiga. Angka ini lebih rendah dari batas yang ditetapkan, menandakan disiplin fiskal masih menjadi pegangan utama. Di sisi lain, penerimaan pajak yang solid, terutama dari PPh nonmigas dan PPN, menjadi bantalan penting ketika harga ekspor batu bara dan CPO mengalami tekanan.
Namun di balik kestabilan angka, risiko tetap mengintai. Restitusi pajak dan subsidi energi yang mencapai Rp192,2 triliun menunjukkan beban sosial ekonomi yang belum benar-benar pulih. Pemerintah menghadapi dilema klasik, yakni menjaga daya beli rakyat tanpa menggerus ruang fiskal yang terbatas.
Sementara itu, di sektor keuangan rakyat kecil, PP 47/2024 menjadi sinyal politik ekonomi yang kuat. Negara seakan menegaskan, produktivitas tidak boleh mati karena gagal bayar masa lalu. Realisasi penghapusan piutang macet hingga April 2025 mencapai Rp486,1 miliar, membebaskan 19.375 debitur dari jerat utang lama. Sektor yang paling banyak terselamatkan adalah pertanian, perdagangan kecil, dan perikanan. Denyut ekonomi yang kerap luput dari radar statistik nasional.
Langkah ini bukan sekadar keringanan, melainkan upaya rekonstruksi moral ekonomi. Yaitu, memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan dan negara yang hadir nyata.

Dorongan inklusi juga terlihat dari ekspansi Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang mencapai Rp118,8 triliun hingga pertengahan tahun, dengan porsi terbesar mengalir ke sektor produktif. Pemerintah berupaya menyeimbangkan semangat inklusi dengan disiplin subsidi bunga, agar tidak menciptakan ketergantungan fiskal yang berkepanjangan. “Kredit harus melahirkan produksi, bukan konsumsi,” ujar seorang pejabat Kemenkeu dalam forum kebijakan di Jakarta.
Di sisi makrostrategis, peluncuran RPJMN 2025–2029 menjadi peta jalan pembangunan paling ambisius dalam dua dekade terakhir. Melalui konsep Asta Cita Pembangunan Nasional, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029, kemiskinan di bawah 5 persen, dan rasio utang tetap stabil di kisaran 39 persen PDB.
Delapan prioritas nasional, mulai dari ketahanan pangan, hilirisasi industri, hingga pembangunan desa dan digitalisasi, menjadi arah baru menuju ekonomi berbasis nilai tambah. Namun, para ekonom mengingatkan bahwa target ambisius tanpa disiplin pelaksanaan bisa menjelma menjadi ilusi kebijakan.
Koordinasi antarotoritas keuangan juga menjadi penopang penting. OJK mencatat pertumbuhan kredit 9,3 persen (yoy) hingga Mei 2025, dengan tingkat inklusi keuangan naik ke 91,4 persen. Meski begitu, rasio kredit bermasalah (NPL) meningkat ke 2,56 persen, mengindikasikan tekanan di sektor mikro. LPS merespons dengan menyesuaikan Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) secara adaptif, menjaga stabilitas dana pihak ketiga yang tumbuh moderat di kisaran 6–7 persen.
Sinergi BI–OJK–LPS menjadi benteng kepercayaan sistem keuangan, fondasi krusial yang akan menentukan arah ekonomi tahun-tahun mendatang.
Stabilitas Dijaga, Inklusi Diuji
Setahun pemerintahan Prabowo–Gibran memperlihatkan pola konsolidasi ekonomi yang berhati-hati namun terukur. Pemerintah memilih jalur Tengah, yakni tidak terburu-buru mengejar pertumbuhan tinggi, tetapi memastikan setiap kebijakan berdiri di atas fondasi fiskal yang aman. Dalam lanskap global yang sarat ketidakpastian, kehati-hatian itu menjadi nilai sekaligus risiko. Nilai, karena menjaga stabilitas. Risiko, karena berpotensi memperlambat momentum transformasi yang dibutuhkan.
Namun, di balik seluruh angka, indeks, dan target, kebijakan ekonomi sejatinya berbicara tentang rasa percaya bahwa negara hadir, adil, dan memberi ruang bagi semua lapisan untuk tumbuh. Penghapusan piutang UMKM, restrukturisasi subsidi, serta sinergi otoritas keuangan menunjukkan arah baru. Bahwa negara tidak lagi menjadi penonton, melainkan memosisikan diri sebagai penjaga keseimbangan antara pasar dan masyarakat.

Tantangan ke depan jelas tidak ringan. Perlambatan ekonomi China, perubahan iklim yang mengancam rantai pasok pangan dan energi, serta tekanan inflasi global masih membayangi horizon 2026. Di dalam negeri, pemerintah perlu memastikan agar ambisi hilirisasi tidak mengabaikan sektor dasar seperti pertanian dan perikanan sebagai sumber penghidupan mayoritas rakyat kecil.
Sebagaimana diingatkan seorang ekonom senior di Jakarta, “Masalah terbesar bukan pada defisit atau utang, melainkan pada konsistensi dan kepercayaan. Ketika rakyat percaya, angka akan mengikuti.”
Satu tahun pertama telah menegakkan fondasi. Tetapi perjalanan menuju ekonomi yang benar-benar inklusif baru saja dimulai. Di titik ini, stabilitas bukan lagi tujuan akhir, melainkan prasyarat untuk membangun keadilan ekonomi yang sesungguhnya. (*)

Catatan Redaksi
Tulisan ini merupakan rangkuman analisis redaksi dari enam kebijakan ekonomi utama yang dijalankan selama tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran (2024–2025), berdasarkan dokumen resmi pemerintah dan data keuangan publik per September 2025.