KABARBURSA.COM – Setahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sejak dilantik pada Oktober 2024, sektor energi mencatat serangkaian indikator kinerja, terutama di semester I 2025.
Data resmi Kementerian ESDM dan rilis RUPTL menunjukkan kinerja positif sektor energi meliputi percepatan investasi, bertambahnya kapasitas Energi Baru Terbarukan (EBT) , kenaikan konsumsi listrik per kapita, hingga bergulirnya program B40.
EBT sendiri mengalami kenaikan setelah menembus 15,2 gigawatt (GGW) pada semester I 2025, atau 14,5 persen dari total pembangkit nasional. Selain itu, penambahan kapasitas pembangkit EBT mencapai 876,5 MW (lebih tinggi dibanding penambahan sepanjang 2024).
Rinciannya: PLTA 492 MW, PLTP 105 MW, PLTS 233 MW, PLTBm 38 MW, PLTM 8 MW. Adapun total kapasitas EBT kini setara 14,5 persen dari kapasitas pembangkit nasional.
Di sisi lain, ESDM telah mengesahkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) dari Pembangkit Tenaga Listrik yang memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan.
Regulasi ini diundangkan pada 4 Maret 2025 sebagai langkah strategis untuk mendukung target energi bersih nasional secara lebih efektif dan berkelanjutan.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM kala itu, Dadan Kusdiana menjelaskan bahwa regulasi ini merupakan tindak lanjut dari visi pemerintah dalam mewujudkan ketahanan energi nasional.
“Presiden telah berulang kali menekankan pentingnya Asta Cita, yang salah satunya mencakup ketahanan energi. Pak Menteri kemudian menerjemahkan konsep ini ke dalam kebijakan yang memastikan sumber energi berasal dari dalam negeri. Ketahanan energi pada dasarnya bertumpu pada prinsip keekonomian,” kata Dadan dalam keterangannya, Selasa, 11 Maret 2025.
Dadan menambahkan bahwa regulasi ini bertujuan untuk menjadi acuan bagi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan pengembang pembangkit listrik independen (Independent Power Producer/IPP) dalam menyusun perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL).
Selain itu, aturan ini memberikan kepastian hukum dalam mekanisme jual beli listrik, termasuk kejelasan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, skema pembayaran, alokasi risiko, serta ketentuan lainnya.
Pindah ke bagian kelistrikan, pada semester I 2025, konsumsi listrik per kapita mengalami peningkatan setelah menyentuh 1.448 kWh, atau 98,9 persen dari target 2025 (1.464 kWh). Kinerja ini mengindikasikan akselerasi elektrifikasi dan pemanfaatan energi oleh rumah tangga dan industri.

Di sisi lain, ESDM telah menetapkan bahwa tarif tenaga listrik untuk pelanggan PT PLN (Persero) pada kuartal IV (Oktober-Desember) Tahun 2025 tetap. Hal tersebut disampaikan oleh Plt. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Tri Winarno di Jakarta, Rabu, 24 September 2025.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2024 tentang Tarif Tenaga Listrik (Tariff Adjustment) yang Disediakan oleh PT PLN (Persero), bahwa penyesuaian tarif tenaga listrik bagi pelanggan nonsubsidi dilakukan setiap tiga bulan mengacu pada perubahan terhadap realisasi parameter ekonomi makro, yakni: kurs, Indonesian Crude Price (ICP), inflasi, serta Harga Batubara Acuan (HBA).
“Dengan menggunakan realisasi ekonomi makro untuk Tariff Adjustment Triwulan IV Tahun 2025 dimana secara akumulasi pengaruh perubahan ekonomi makro tersebut seharusnya menyebabkan kenaikan tarif listrik. Namun untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah memutuskan tarif listrik tetap atau tidak naik,” ujar Tri dalam keterangannya.
Tarif tenaga listrik untuk pelanggan bersubsidi juga tidak mengalami perubahan dan tetap diberikan subsidi listrik. Termasuk di dalamnya pelanggan sosial, rumah tangga miskin, industri kecil, dan pelanggan yang peruntukan listriknya bagi usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM.
“Pemerintah berkomitmen menghadirkan listrik yang andal, terjangkau, dan berkeadilan. Dengan mempertahankan tarif listrik hingga akhir tahun ini, kami ingin memberikan kepastian dan menjaga stabilitas bagi masyarakat serta dunia usaha,” ungkap Tri.
Seperti diketahui, Penerapan Tariff Adjustment terakhir dilakukan pada kuartal III 2022 untuk pelanggan Rumah Tangga 3.500 VA ke atas (R2 dan R3) dan Pemerintah (P1, P2, dan P3). Untuk golongan pelanggan lainnya terakhir diterapkan penyesuaian tarif pada tahun 2020.
Tri menegaskan meskipun tarif listrik tetap, upaya untuk meningkatkan keandalan pasokan listrik, memperluas akses, dan mendorong transisi energi tetap berjalan. Pemerintah bersama PT PLN (Persero) akan terus memperkuat infrastruktur kelistrikan serta mendorong penggunaan EBT dalam bauran energi nasional.
Sementara di hilir, pemerintah mencatat pemanfaatan biodiesel domestik mencapai 6,8 juta kiloliter (kL) sepanjang Januari–Juni 2025. Angka ini setara ±50,4 persen dari target pemanfaatan biodiesel tahun ini yang dipatok 13,5 juta kL.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia dalam paparan kinerja Semester I 2025. Capaian 6,8 juta kL itu memperlihatkan daya serap industri dan sektor transportasi yang tetap tinggi meski awal 2025 diwarnai masa transisi teknis menuju B40.

Dibanding rancangan alokasi yang ditetapkan pemerintah sebesar 15,6 juta kL—terbagi untuk segmen PSO (penugasan) dan non-PSO, realisasi semester I menempatkan program pada jalur konservatif namun masih on track apabila distribusi dan kesiapan pasokan bergerak optimal di semester II.
Ke depan, pemerintah menyiapkan eskalasi bauran melalui studi B50 pada 2026 dan pengembangan bioavtur skala awal. Skema pembiayaan mandatori—antara lain melalui dukungan BPDPKS—tetap diproyeksikan menopang distribusi biodiesel tahun berjalan.
Pengamat energi, Komaidi Notonegoro mengatakan jika dibandingkan dengan era sebelumnya, pemerintahan Prabowo-Gibran telah memberikan fokus terhadap sektor energi.
“Kalau pemerintahan sebelumnya relatif sulit hadir di acara-acara di sektor energi, sedangkan Pak Prabowo saya kira memberikan warna yang berbeda. Salah satunya hadir di forum Indonesian Petroleum Association (IPA Convex),” ujar dia kepada Kabarbursa.com beberapa waktu lalu.
Komaidi menilai kehadiran Prabowo di forum tersebut bisa memberikan pesan kepada pasar, industri, dan pelaku usaha bahwa pemerintah memberikan perhatian yang lebih di sektor energi.
“Dan kebetulan kan memang sektor energi adalah merupakan bagian dari yang telah ditetapkan oleh Pak Presiden,” ungkapnya.
Akan tetapi jika berbicara EBT, Komaidi memandang EBT pada pemerintahan Prabowo lebih moderat dibanding era kepemimpinan Joko Widodo atau Jokowi.
Menurutnya di era Jokowi, prospek EBT ada harapan. Terlebih, Indonesia kala itu pernah menjadi presidensi G20 yang tema besarnya ke arah EBT.
“Tapi di era Prabowo ini agak berbeda, yang diusung adalah ketahanan dan kemandirian energi. Kalau dari aspek rasionalnya yang dikedepankan tentu bukan EBT,” ujar dia.
Komaidi mengakui jika fokus EBT di pemerintahan Prabowo tidak sekencang kepemimpinan sebelumnya. Ia bilang, energi fosil masih menjadi fokus pemerintah saat ini.
“Misalnya pengelolaan sumur tua, peningkatan lifting, kebijakan harga energi, yang terakhir pengadaan BBM impor. Itu saya kira masih menjadi bagian dari paket fosil,” jelasnya.
Rapor Merah Sektor Energi
Di sisi lain, satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming di sektor energi diwarnai sejumlah catatan kurang memuaskan. Hal pertama yang menjadi sorotan masyarakat ialah pemadaman massal di Bali.
Pada Jumat, 2 Mei 2025 sekitar pukul 16.00 WITA, Bali mengalami pemadaman listrik skala pulau. Dikabarkan, insiden ini terjadi karena gangguan pada kabel transmisi bawah laut Jawa–Bali—urat nadi penyaluran daya ke Pulau Dewata. Dampaknya meluas ke pariwisata, ritel, dan layanan publik.
Sejumlah wilayah terdampak pemadaman listrik tersebut. Di antaranya ialah Kota Denpasar, Buleleng, Jembrana, Kabupaten Badung, Karangasem, Tabanan, Gianyar, dan Klungkung.
Listrik di Pulau Dewata kembali pulih kurang dari 12 jam pada Sabtu, 3 Mei 2025. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan indikasi pemadaman listrik di Bali akibat gangguan pada sistem penyaluran listrik.
“Secara teknis, indikasi gangguan terpantau terjadi pada sistem penyaluran kabel laut, namun kepastian penyebabnya masih terus ditelusuri dan bukan akibat dari serangan siber atau yang lainnya,” ujar dia dalam keterangan pers pada 3 Mei 2025.
Pemadaman memukul aktivitas warga, layanan publik, dan pelaku usaha wisata pada jam sibuk menjelang malam.
Tak lama berselang, atau tepatnya pada September 2025, giliran wilayah Aceh yang mengalami pemadaman listrik hebat. Pemadaman ini terjadi selama tiga hari.
PLN Unit Induk Distribusi (UID) Aceh dalam keterangannya menyampaikan listrik telah normal kembali pada Kamis, 2 Oktober 2025.
General Manager PLN UID Aceh, Mundhakir mengatakan pihaknya telah bekerja keras selama 24 jam untuk mengatasi pemadaman ini.
Pengamat BUMN sekaligus Direktur NEXT Indonesia Center, Herry Gunawan mengatakan pemadaman di Bali dan Aceh tersebut disebabkan tidak adanya mitigasi risiko operasional yang baik dari PLN.
"Kalau dilakukan mitigasi dengan baik, tentu potensi masalah bisa diantisipasi," ujar dia kepada Kabarbursa.com, Selasa, 14 Oktober 2025.
Herry mengakui jika kasus pemadaman di Bali sangat berbahaya, karena yang terkena pemadaman adalah bandara, yang merupakan pintu gerbang Indonesia.
"Dampak buruknya bukan hanya soal reputasi, tetapi juga keselamatan dan ekonomi," ungkapnya.
Herry menilai kejadian pemadaman di dua wilayah berbeda itu sepenuhnya masalah PLN karena tidak dikelola dengan baik. Kalau ada bencana alam pun, sekiranya analisis dan pengelolaan risikonya memadai, lebih mudah diatasi.
"Jadi, jangan cari kambing hitam' seperti sabotase atau lainnya. PLN sendiri yang harus tanggung jawab," ungkapnya.

Sementara itu kinerja pemerintah dalam penjualan gas LPG 3kg juga menuai sorotan. Pada 1 Februari 2025, pemerintah melarang penjualan LPG 3kg di pengecer/warung demi penyaluran tepat sasaran.
Mulai tanggal itu, pembelian hanya boleh melalui pangkalan resmi Pertamina atau subpenyalur yang terdaftar. Kebijakan ini memicu keluhan sulit akses dan antrean di berbagai daerah di Indonesia.
Kementerian ESDM menyebut langkah ini untuk memangkas rantai distribusi, menutup celah permainan harga, dan memastikan subsidi tepat sasaran.
Bahlil Lahadalia menjelaskan pelarangan pengecer muncul karena laporan penyaluran yang kerap tidak tepat sasaran dan adanya praktik mark-up harga di lapangan. Ia juga menampik isu pemangkasan subsidi—menurutnya kebijakan ini bukan pembatasan kuota melainkan penertiban saluran distribusi.
Di lapangan, perubahan mendadak menimbulkan antrean dan keluhan akses, terutama bagi rumah tangga dan pelaku UMKM yang terbiasa membeli di warung terdekat.
BPKN menyoroti lonjakan pengaduan pada awal Februari dan menilai implementasi kebijakan merugikan konsumen kecil karena jarak ke pangkalan lebih jauh serta jam layanan terbatas. BPKN meminta pemerintah menyiapkan masa transisi, memperbanyak titik pangkalan, dan memperkuat pengawasan harga tebus.
Terbaru, polemik antara Pertamina dan SPBU Swasta mencuat. Hal ini didahului oleh minat masyarakat yang tinggi menggunakan BBM swasta.
Namun seiring berjalannya waktu, stok BBM swasta perlahan menipis. Kelangkaan bensin di jaringan swasta seperti Shell, BP-AKR, Vivo) terjadi. Sebagian SPBU hanya menjual solar, mengatur ulang jam operasional, dan menghadapi antrean.
Pemerintah pun membuka opsi “beli via Pertamina”. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa Pemerintah bersama Badan Usaha (BU) Minyak dan Gas Bumi yang menjalankan bisnis Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak Umum (SPBU), baik PT Pertamina (Persero) maupun swasta, telah menyepakati skema pengaturan impor Bahan Bakar Minyak (BBM).
Hal ini dilakukan guna menjaga keseimbangan neraca perdagangan sekaligus mengatur pemenuhan kebutuhan bahan bakar bagi masyarakat.
“Mereka setuju untuk kolaborasi dengan Pertamina, syaratnya adalah harus berbasis base fuel, artinya belum bercampur-campur. Jadi produknya saja nanti dicampur di masing-masing, tangki di SPBU masing-masing. Ini juga sudah disetujui, ini solusi,” kata Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di Jakarta, Jumat, 19 September 2025.
Terkait dengan kualitas BBM, telah disetujui pula untuk melakukan survei bersama (joint survey)sebelum pengiriman BBM. Menyangkut dengan harga beli BBM, Pemerintah meminta supaya dilakukan secara transparan dan tidak ada pihak yang dirugikan. Bahlil juga mendorong agar dalam tujuh hari ke depan, BBM yang diimpor sudah sampai di Indonesia dan siap diedarkan ke masyarakat.
“Dan kalau ditanya mulai kapan ini berjalan, mulai hari ini sudah dibicarakan. Habis ini dilanjutkan dengan rapat teknis stoknya. Dan kemudian Insya Allah paling lambat 7 hari barang sudah bisa masuk di Indonesia,” jelasnya.

Adapun pengaturan impor BBM adalah jalan tengah menjaga stabilitas perdagangan nasional dengan mengurangi tekanan defisit akibat impor migas, sekaligus memastikan ketersediaan pasokan BBM di dalam negeri tetap aman. Kebijakan ini, mengacu pada Pasal 14 ayat (1) Perpres Nomor 61 Tahun 2024 tentang Neraca Komoditas. Aturan tersebut memberikan kewenangan kepada Menteri atau Kepala Lembaga sebagai pembina sektor untuk menetapkan rencana kebutuhan komoditas.
Kendati demikian, rencana penyaluran bensin Pertamina ke SPBU swasta kandas. Vivo Energy Indonesia dan BP-AKR membatalkan rencana pembelian dengan alasan teknis—terutama kandungan etanol sekitar 3,5 persen pada kargo bensin Pertamina serta ketiadaan certificate of origin (COO) yang dibutuhkan untuk kepatuhan dagang.
Pembatalan ini terjadi di tengah kelangkaan bensin di banyak SPBU swasta sejak akhir Agustus.
Vivo semula menyetujui menyerap sekitar 40.000 barel dari kargo Pertamina, namun kemudian membatalkan karena isu spesifikasi (etanol ±3,5 persen) pada base fuel impor yang ditawarkan.
BP-AKR juga urung membeli karena dokumen COO belum tersedia dan masih menunggu kejelasan spesifikasi teknis, termasuk soal etanol.
Kebijakan pemerintah dalam menyepakati pembelian bahan bakar minyak (BBM) Badan Usaha SPBU Swasta ke PT Pertamina (Persero) dianggap menganggu daya saing dalam berdagang.
Pengamat BUMN sekaligus Direktur NEXT Indonesia Center, Herry Gunawan mengatakan publik akan melihat kebijakan ini terkait erat dengan upaya perlindungan bisnis Pertamina.
“Sebab seperti disampaikan oleh pejabat Kementerian ESDM, kekhawatirannya adalah pangsa pasar SPBU swasta yang terus naik, dari 11 persen pada tahun 2024, sudah menjadi 15 persen per Juli 2025,” kata dia kepada Kabarbursa.com, Jumat, 10 Oktober 2025.
Herry menyatakan perlindungan bagi Pertamina dalam persaingan ini merupakan tindakan yang tidak sehat, karena membatasi hak konsumen untuk mendapatkan pilihan.
“Ini sekaligus membuat Pertamina menjadi manja, karena mendapatkan perlindungan dari pemerintah di era persaingan terbuka,” katanya.
Di samping itu, Herry menilai dengan membuka persaingan yang sehat antara Pertamina dengan SPBU swasta, pasar akan menjadi lebih efisien. Dengan ini, para pelaku bisnis sektor ini akan berbenah, baik dari sisi layanan, kualitas produk, maupun harga.
Herry berpendapat masalah yang ingin dijaga dari kebijakan ini agar pasar Indonesia tidak dikuasai oleh asing, dalam hal ini tertuju kepada SPBU swasta.
Namun ia menegaskan cara ini kurang tepat, karena pasar akan terus berkembang dan konsumen punya preferensi sendiri dalam menentukan pilihan.
“Pasar tidak dapat didikte oleh pemerintah, termasuk harus beli dari Pertamina. Seharusnya Pertamina memperbaiki diri, terutama dari reputasinya agar konsumen percaya,” tutur dia.
Saat ini, lanjut Herry, yang terjadi adalah pemerintah dan Pertamina berhadapan dengan hak konsumen untuk mendapatkan akses ke pasar yang lebih sehat.(*)