KABARBURSA.COM – Rupiah berisiko jatuh ke rekor terendah karena kekhawatiran berkepanjangan terhadap independensi bank sentral yang mulai menggerogoti kepercayaan investor pada kuartal terakhir.
Wakil kepala ekonom Capital Economics, Jason Tuvey, mengatakan bahwa rupiah mungkin melemah hingga Rp17.000 per USD tahun ini, melampaui level terendah sepanjang masa, yang tercatat pada April 2025.
Adapun pada Senin, 20 Oktober 2025, rupiah ditutup pada level Rp16.575 per USD.
Tuvey mengungkapkan, kekhawatiran tarif yang diperparah oleh keraguan atas disiplin fiskal pemerintah telah menjadikan rupiah sebagai mata uang dengan kinerja terburuk di Asia tahun ini.
Ia menambahkan, ekspektasi penurunan suku bunga acuan lebih lanjut oleh Bank Indonesia (BI) dapat menambah tekanan pada mata uang di tengah arus keluar ekuitas.
Ekspektasi penurunan suku bunga lebih lanjut oleh Bank Indonesia dapat menambah tekanan pada mata uang di tengah arus keluar ekuitas.
"Lingkungan pembuatan kebijakan masih akan menjadi pendorong utama di sini," ujar Tuvey kepada Bloomberg Europe, dikutip Selasa, 21 Oktober 2025.
Upaya lebih lanjut untuk melemahkan aturan fiskal atau menekan bank sentral agar melonggarkan kebijakan moneter, ujarnya, dapat membuat investor khawatir.
Sebagaimana diketahui, BI melakukan pemangkasan suku bunga kejutan yang ketiga kalinya secara berturut-turut pada bulan September, dengan Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa keputusan tersebut sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendorong perekonomian.
Menurut ekonom tersebut, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang independensi bank sentral.
Tuvey memperkirakan BI akan menurunkan biaya pinjaman pada masing-masing dari tiga rapat yang tersisa tahun ini hingga mencapai suku bunga terminal 4 persen, menjadi suku bunga di bawah level tersebut mungkin akan mulai mengkhawatirkan investor.
Bank sentral akan melakukan pertemuan pada hari Rabu, 22 Oktober 2025.
“Jika BI menurunkan suku bunga ke level yang dianggap terlalu stimulatif oleh investor dan mempertahankan suku bunga acuan di level tersebut untuk jangka waktu yang lama, kemungkinan akan ada efek penurunan dalam beberapa bulan hingga dua tahun mendatang,” ujar Tuvey.
Pelaku pasar juga mencermati apakah pemerintah akan menghapus atau mengubah batas defisit anggaran karena berupaya meningkatkan pengeluaran di tahun-tahun mendatang untuk menghidupkan kembali perekonomian.
"Ini tentu berisiko," kata ekonom Capital Economics, seraya mengingat pesan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
"Kekhawatiran bahwa mereka akan mengabaikan aturan fiskal tanpa alternatif, misalnya, akan menjadi kekhawatiran besar bagi investor," pungkas Tuvey. (*)