KABARBURSA.COM - Menjelang akhir 2024, masyarakat Indonesia mendapat angin segar dari serangkaian kebijakan ekonomi yang diumumkan oleh pemerintah. Presiden Prabowo Subianto, dalam upaya menjaga daya beli dan mendorong pertumbuhan ekonomi, mengambil keputusan strategis dengan membatasi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen hanya untuk barang mewah bernilai di atas Rp30 miliar. Kebijakan ini menandai keberpihakan pemerintah terhadap kebutuhan mayoritas rakyat yang rentan terhadap gejolak harga.
Keputusan ini memberikan sinyal positif kepada dunia usaha, terutama sektor konsumsi, yang khawatir akan dampak kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat. Dengan tetap mempertahankan tarif PPN umum di angka 11 persen dan memberikan subsidi untuk beberapa komoditas, pemerintah menunjukkan komitmen untuk menjaga stabilitas harga barang dan jasa. Bahkan, pemerintah tetap memberlakukan insentif berupa diskon 50 persen pembelian daya listrik bagi pelanggan 2.200 VA ke bawah. Ini adalah langkah konkret yang langsung dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah.
Namun, kebijakan fiskal pemerintah tidak berhenti pada isu PPN semata. Di sektor usaha kecil dan menengah, pemerintah meluncurkan program pemutihan utang bagi sejuta pelaku UMKM. Langkah ini merupakan solusi krusial bagi UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional, tetapi terdampak berat oleh pandemi dan perlambatan ekonomi global. Dengan memutihkan utang mereka, pemerintah tidak hanya memberikan kesempatan baru bagi UMKM untuk bangkit, tetapi juga membuka jalan bagi mereka untuk mendapatkan akses pembiayaan yang lebih baik di masa mendatang.
Program lain yang patut mendapat perhatian adalah penyediaan makan siang bergizi gratis bagi anak-anak sekolah. Program ini diluncurkan serentak pada awal Januari 2025 di seluruh wilayah Indonesia. Hampir seluruh jajaran Kabinet Merah Putih dikerahkan untukmemastikan kelancaran pelaksanaan program ini. Dengan alokasi anggaran mencapai Rp71 triliun, program makan bergizi gratis diharapkan dapat meningkatkan kualitas gizi anak-anak dan mendukung pertumbuhan generasi penerus yang sehat dan cerdas.
Dari ketiga kebijakan besar ini, total anggaran yang disiapkan pemerintah mencapai ratusan triliun rupiah. Rinciannya, Rp265,6 triliun dialokasikan sebagai insentif atas kenaikan tarif PPN, Rp71 triliun untuk program makan bergizi gratis, dan sisanya Rp14 triliun untukmendukung program pemutihan utang UMKM. Anggaran yang sangat besar ini tentu memunculkan kekhawatiran akan potensi defisit fiskal. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menegaskan bahwa pemerintah bersama DPR telah memperhitungkan dampaknya dengan matang. APBN 2025 dirancang untuk menampung kehilangan pendapatan hingga Rp616,2 triliun atau sekitar 2,5 persen dari total pendapatan negara.
Meski demikian, tantangan terbesar dari kebijakan ini adalah implementasinya di lapangan. Pemerintah harus memastikan bahwa program-program tersebut berjalan sesuai rencana tanpa hambatan birokrasi yang berlebihan. Transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran menjadi kunci utama keberhasilan program ini. Selain itu, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah sangat diperlukan agar pelaksanaan program, terutama makan bergizi gratis dan pemutihan utang UMKM, dapat tepat sasaran.
Dari sudut pandang ekonomi, kebijakan ini juga berpotensi memberikan stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan daya beli masyarakat yang tetap terjaga, sektor konsumsi diprediksi akan terus tumbuh. Emiten-emiten di sektor makanan dan minuman, seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR), diperkirakan akan mendapat sentimen positif dari kebijakan ini. Selain itu, keterlibatan ribuan UMKM dalam rantai pasok program makan bergizi gratis akan memberikan dampak berganda terhadap perekonomian lokal.
Namun, ada beberapa hal yang patut diwaspadai. Jika pelaku usaha tidak segera menyesuaikan harga jual mereka sesuai kebijakan PPN terbaru, daya beli masyarakat tetap berisiko tertekan. Pemerintah perlu mengawasi dan memberikan sosialisasi yang masif kepada pelaku usaha untuk memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar efektif dalam menjaga stabilitas harga.
Dalam konteks global, kebijakan fiskal Indonesia yang cenderung ekspansif ini sejalan dengan langkah beberapa negara Asia lainnya yang berani mengambil risiko demi menjaga pertumbuhan ekonomi. Di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat fluktuasi politik dan geopolitik, langkah Indonesia yang fokus pada peningkatan daya beli domestik merupakan strategi yang layak diapresiasi. Meski berisiko menambah defisit anggaran, kebijakan ini berpotensi memberikan dampak jangka panjang yang positif bagi perekonomian nasional.
Apakah kebijakan populis ini akan memberikan hasil optimal? Waktu yang akan menjawab. Namun, satu hal yang pasti, strategi ini menunjukkan keberanian pemerintah dalam menghadapi tantangan ekonomi sekaligus merespons kebutuhan rakyat. Jika diimplementasikan dengan baik, kebijakan ini tidak hanya akan menjaga stabilitas ekonomi, tetapi juga menciptakan fondasi yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada eksekusi di lapangan. Pemerintah perlu menjaga transparansi, memastikan program tepat sasaran, serta terus mengevaluasi dampaknya terhadap perekonomian nasional. Dengan demikian, kebijakan ini dapat menjadi katalisator bagi Indonesia untuk menghadapi tantangan ekonomi global dengan lebih percaya diri. (*)
https://youtu.be/lGltRsqa72o?si=dmgPDjX27vazgViM